Kontak dan komunikasi antara Bangsa Cina dengan penduduk di Kepulauan Maluku sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu melalui perdagangan pala dan cengkih dengan cara yang damai. Menurut A.B.Lapian (1965) dalam artikelnya "Beberapa Jalan Dagang ke Maluku Sebelum Abad XVI" menyebutkan bahwa data dari Dinasti Tang di Cina memberi petunjuk bahwa istilah Maluku telah dikenal oleh orang-orang Cina sekurang-kurangnya antara abad VII dan IX.
Hal ini karena ada perdagangan Cengkeh antara Cina dengan Ternate dan beberapa kerajaan lainnya disana. Â Pendapat ini sejalan dengan hasil Studi Arkeologi di Banda Neira tahun 1997 yang dilakukan oleh Peter Lape, diketahui bahwa kontak antara Banda Neira dengan Cina telah ada sejak era Neolitikum, ini juga karena adanya perdagangan Pala antara masayarakat Banda dengan para pedagang Cina.
Pada saat Fransisco Serrao dan Antonio de'Abreau (Pelaut Portugis) yang berlayar dari Malaka tiba di Banda Neira bulan Februari 1512, terkejut ketika melihat bangsa Moor (sebutan untuk orang Arab) sudah berdagang di Banda 100 tahun yang lalu sedangkan orang Cina sudah berdagang di Banda sejak 600 tahun sebelumnya atau pada permulaan abad X.
Kondisi ini mengisyaratkan bahwa interaksi yang terbangun antara orang Banda dengan para pedagang Cina, Arab, Melayu dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat sehingga bisa bertahan dalam waktu yang lama, berbeda dengan bangsa Eropa seperti Portugis, Belanda, Spanyol dan Inggris yang dalam proses perdagangan sering menimbulkan masalah dan benturan dengan penduduk lokal karena keserakahan dan  menerapkan praktek monopoli.
Pada tanggal 27 Nopember-2 Desember 2013 Pulau Neira dan tiga pulau di sekitarnya menjadi ajang studi banding kegiatan "Field Study for Conservation" yang diselenggarakan oleh Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, para arkeolog menjumpai beberapa nisan kuno beraksara Tiongkok kuno beserta ornamennya tergeletak di pinggir jalan. Menurut bacaan arkeolog yang juga sinolog, Eddy Prabowo Witanto, salah satu nisan berasal dari masa kekaisaran Qianlong (1735-1796), tertulis yang meninggal bermarga Chen (Indonesia: Tan), berasal dari kota/desa Baishi, Ia meninggal di pertengahan musim semi 1775. Â Tahun-tahun itu jalur Banda sudah ramai dengan para pedagang dari Tiongkok Selatan. Mereka menyusur lewat jalur Timur, yakni Kepulauan Filipina, Mindanao, Laut Sulu, lalu ke Halmahera, dan seterusnya. Selain rempah-rempah, mereka juga mencari teripang dan komoditas laut lainnya (Djulianto Susantio dalam Majalah Arkeologi Indonesia).
Jika dilihat dari tahun yang tertera dalam nisan kuno tersebut, mengindikasikan bahwa Banda Neira masih dalam kekuasaan VOC, hal ini sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut karena dengan sistim kekuasaan yang otoriter dan serakah VOC masih memberikan ruang kepada orang Cina untuk melakukan aktivitas di Banda Neira.
Seiring dengan berjalan waktu, pasca runtuhnya VOC, pemerintahan diambil alih oleh Kerajaan Belanda, interaksi sosial yang terbangun antara pedagang Cina dengan penduduk lokal Banda Neira semakin berkembang dan menjadi satu Komunitas dalam suatu pemukiman yang sampai saat ini masih ada di Kota Neira. Â Komunitas Cina semakin berkembang karena terjadinya perkawinan campuran disaat itu dengan bangsa/suku lain yang bermukim maupun yang melakukan aktifitas perdagangan dan aktifitas lainnya di Banda Neira.
Dalam Regering Reglement tahun 1854, seperti wilayah-wilayah lain di Hindia Belanda, pemerintah Kolonial membagi masyarakat dalam  Tiga Strata Sosial, di antaranya :
1. Kelas Atas yang terdiri dari orang-orang Eropa (termasuk Indo Eropa)
2. Kelas Menengah meliputi Vremde Oosterlingen atau orang-orang timur asing seperti : Arab, Cina, dan India
3. Kelas Bawah terdiri dari warga pribumi atau biasa disebut dengan sebutan Inlander atau Bumiputera
Di era itu juga, dalam tata kota Neira, Belanda membagi 3 area besar yaitu :
1. Dutch Colonial Town (pusat pemerintahan Kolonial) kawasan ini merupakan pemukiman pejabat serta warga berkebangsaan Belanda - Kawasan ini terletak di Desa Dwiwarna,
2. Chinesse Quarter (kawasan Pecinan/ pemukiman warga keturunan Cina) kawasan ini terletak di Desa Nusantara, dan
3. Arabian Quarter (pemukiman warga keturunan Arab), kawasan ini terletak di Desa Kampung Baru
Untuk mempermudah koordinasi dan kontrol atas aktivitas yang dilakukan, Â maka pemerintah Kolonial Belanda mengangkat pemimpin di masing-masing komunitas Cina dan Arab yang dikenal dengan istilah "Kapitein Cina" dan "Kapitein der Arabieren". Â Pada awal Abad ke-20 di Banda Neira yang menjadi Kapitan Cina yaitu dari marga Kok sedangkan Kapitan Arab adalah Syech Said bin Abdullah Baadilla.
Sebagai informasi tambahan bahwa Sarjana Hukum pertama dari Hindia Belanda yang mengenyam pendidikan di Universitas Leiden adalah "Oei Jan Lee" seorang keturunan Tionghoa yang berasal dari Banda Neira.  Oei Jan Lee lahir di Banda Neira pada tahun 1863, ayahnya seorang Letnan Tionghoa yang membantu Kapitan Tionghoa sebagai pemimpin komunitas mereka di Banda Neira.  Setamat pendidikan dasar di sekolah Belanda di Banda Neira beliau melanjutkan pendidikan dan pelatihan swasta di Banda untuk persiapan masuk HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia.
Setelah lulus HBS pada tahun 1882, beliau mengikuti pendidikan Gymnasium selama 2 tahun dan melanjutkan  kuliah di Universitas Leiden dan Lulus pada Januari 1889. Oei Jan Lee kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1892 dan diusia 29 tahun dia diangkat menjadi Pengacara dan Penasihat di Mahkamah Agung Hindia Belanda, salah satu jabatan tertinggi dalam peradilan kolonial. Oei Jan Lee kemudian meninggal pada 31 Januari 1918 di usia 54 tahun. Sumber : (https://historia.id/politik/articles/sarjana-hukum-pertama-indonesia-lulusan-belanda-DBKJk/page/1).
Proses difusi, asimilasi dan akulturasi yang terjadi akibat adanya Interaksi dengan Bangsa Cina yang sudah berlangsung ratusan tahun sampai hari ini sangat memberikan andil dalam keunikan dan keberagaman budaya serta pembentukan generasi baru Banda Neira. Banyak peninggalan fisik maupun non fisik yang sampai hari ini masih terlihat, beberapa di antaranya:
- Kawasan Pecinan (Kampung Cina) - Desa Nusantara.
- Klenteng Tua Sun Tien Kong di Kampung Cina - Desa Nusantara yang berusia kurang lebih 400 tahun.
- Simbol Naga pada Bendera dan Hiasan di Kora-Kora (perahu perang) Namasawar, Pulau Ay, dan Kampung Ratu.
- Rumah Kapitan Cina di Desa Nusantara.
- Tarian Topeng dan Macan.
- Kompleks Pekuburan Cina di Desa Merdeka
- Porselin/ Keramik dari zaman Dinasti Ming, Koin beraksara Cina, dan atribut/peralatan yang bernuansa Cina, dan lain-lain.
Saat ini jumlah warga keturunan Cina yang bermukim di Banda Neira semakin berkurang, tersisa (-/+) 10 Kepala Keluarga dengan sumber mata pencaharian sebagai Pedagang yang sudah menjadi keahlian dan warisan turun temurun dari para leluhur mereka. Salah satu penyebab berkurangnya jumlah warga keturunan Cina yang bermukim di Banda Neira yaitu karena melanjutkan pendidikan, menikah dan bermukim diluar daerah seperti Ambon, Pulau jawa, Makassar, dan lain-lain, serta mengembangkan usaha perdagangan yang lebih menjanjikan di luar Banda.
Satu hal bijak yang penting dan perlu diingat oleh Kita yang mengaku sebagai Orang Banda dengan berbagai alasan baik itu karena lahir di Banda, bermukim di Banda, menikah dengan orang Banda, memiliki leluhur dari Banda, Â dan memberi sumbangsih untuk kemajuan Banda dari berbagai aspek maka dia adalah "ORANG BANDA". Â Tidak ada istilah orang Cina-Banda, orang Arab-Banda, orang Melayu-Banda, orang Buton-Banda, orang Jawa-Banda, orang Kei-Banda dan lain-lain.
Teringat akan satu Petuah :
"Pelangi terbentuk dari kombinasi matahari dan hujan, keduanya  berbeda unsur, tapi kenapa bisa terbentuk Pelangi ? ....... Karena pada hakikatnya perbedaanlah yang membuat semua itu indah, perbedaanlah yang membuat Pelangi menjadi Indah dipandang walaupun berbeda warna saat bersanding".
Banda Neira -- Rabu 29 Januari 2025 - Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili
Oleh : Isra Amin Ali
Pemerhati Sejarah dan Budaya Banda
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI