Konsumsi daging anjing di Indonesia umumnya dikaitkan dengan suku tertentu yang menjadikan daging anjing sebagai hidangan istimewa pada saat pesta dan hari raya (festive dish). Beberapa nama hidangan cukup populer seperti "RW" (Rintek Wu'uk) dan "B1". Di Jawa secara eksplisit dikenal Sengsu (Tongseng Asu) maupun menggunakan bahasa yang diperhalus "Sate Jamu", atau Kambing Balap.
Konsumsi daging anjing sebenarnya dapat ditemukan di hampir semua belahan bumi sepanjang sejarah peradaban manusia. Bahkan di beberapa negara anjing jenis tertentu diternakkan khusus untuk menghasilkan daging. Saat ini telah terjadi pergeseran nilai dalam menyikapi konsumsi daging anjing. Masyarakat yang dulu menganggap konsumsi daging anjing merupakan bagian dari tradisi mereka, saat ini (terutama sebagian besar masyarakat barat) menganggap konsumsi daging anjing sebagai tindakan yang tercela.Kalangan yang menentang konsumsi daging anjing mungkin karena memiliki persepsi bahwa anjing sudah merupakan sahabat manusia sejak ribuan tahun yang lalu sehingga tidak pantas untuk dikonsumsi dan ada juga beralasan pemotongan anjing umumnya dilakukan dengan cara yang sangat menyakiti hewan.
Seperti di Indonesia, konsumsi daging anjing saat ini masih banyak ditemukan di Cina (daratan), Korea dan Vietnam. Bahkan pada tahun 2009, daging anjing dilaporkan menjadi media pembawa utama kuman Vibrio cholerae yang menyebabkan wabah kolera musim panas di Vietnam bagian utara.
Hong Kong, Taiwan dan Philipina: tradisi versus hukum
Seperti masyarakat Cina daratan, orang Hongkong juga memiliki tradisi mengkonsumsi daging anjing. Pemerintah kolonial Inggeris menerapkan the Dogs and Cats Ordinance pada 6 January 1950, melarang pemotongan anjing dan kucing untuk tujuan apa pun.
Masyarakat Taiwan menyebut daging anjing 狗肉 gǒu ròu atau kadang diperhalus menjadi "daging wangi" (香肉 xiāng ròu. Zaman dahulu anjing terutama anjing berbambut hitam dimakan pada musim dingin yang diyakini dapat menghangatkan tubuh. Pada tahun 2004, pemerintah Taiwan menerapkan pelarangan penjualan daging anjing karena tekanan kelompok penyayang binatang setempat serta untuk meningkatkan citra Taiwan di mata masyarakat internasional..
Secara umum the Philippine Animal Welfare Act 1998 melarang membunuh anjing kecuali untuk keperluan keagamaan, adat, keamanan masyarakat dan alasan kesehatan hewan. Kota Manila memberlakukan Metro Manila Commission Ordinance 82-05yang secara specifik melarang memotong dan menjual anjing untuk pangan. Sementara itu Provinsi Benguet secara spesifik membolehkan konsumsi daging anjing untuk adat di kalangan suku asli tetapi membatasi untuk komersial.
Walaupun Hong Kong, Taiwan dan Philipina melakukan pelarangan konsumsi daging anjing, penjualan daging anjing di restoran kadang masih dilaporkan. Namun demikian jumlahnya sudah jauh berkurang.
Konsumsi daging anjing: problem di Indonesia
Konsumsi daging anjing di Indonesia tidak dapat dipungkiri memiliki implikasi dalam pengendalian penyakit rabies yang dikenal sebagai penyakit yang sangat berbahaya.
Pertama. Anjing menjadi komoditi yang diperdagangkan mengikuti hukum "supply & demand". Anjing dikirim dari daerah penyedia ke daerah konsumen. Sebagai negara kepulauan tidak mudah untuk mengawasi lalu lintas anjing antar pulau apalagi bila pengeluaran/ pemasukan dilakukan di pelabuhan informal yang luput dari pengawasan aparatur pemerintah. Bukan tidak mungkin anjing dari daerah tertular rabies dikirim ke daerah bebas rabies, hal ini mungkin merupakan salah satu sebab rabies terus menyebar di Indonesia.
Kedua. Sebagai komoditi yang diperdagangkan, anjing liar (dan diliarkan) memiliki nilai ekonomi. Implikasinya, pengendalian populasi anjing liar (dan diliarkan) yang merupakan salah satu strategi pencegahan dan pemberantasan rabies mendapatkan penolakan di banyak daerah. Padahal populasi anjing liar (diliarkan) yang besar dan padat (high density) merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam penyebaran rabies.
Masalah sudah terang. Tetapi isu pembatasan konsumsi daging anjing mungkin bisa dipandang mengandung unsur SARA. Sehingga kebanyakan kita tidak nyaman membahasnya. Mari kita berpikir dalam konteks seperti berikut:
Pada masyarakat tertentu, konsumsi anjing memang merupakan bagian dari tradisi. Pada awalnya mungkin hanya hidangan khusus di tengah keluarga terutama saat pesta dan hari raya, tetapi saat ini telah berkembang luas menjadi usaha komersial. Di kota tertentu kita dengan mudah menemukan warung RW, B1, Sengsu atau Sate Jamu. Konsumsi daging anjing tidak lagi menjadi tradisi tetapi telah menjelma menjadi industri kuliner. Dalam konteks ini kita harus mulai berpikir membatasi konsumsi daging anjing seperti yang dilakukan oleh Philipina. Pembatasan itu tidak bermaksud menghapus tradisi yang sudah turun menurun dalam keluarga masyarakat tertentu, tetapi harus dipandang sebagai upaya mengeliminasi masalah yang ditimbulkan oleh penjualan daging anjing secara komersial.(*_*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H