Kedua. Sebagai komoditi yang diperdagangkan, anjing liar (dan diliarkan) memiliki nilai ekonomi. Implikasinya, pengendalian populasi anjing liar (dan diliarkan) yang merupakan salah satu strategi pencegahan dan pemberantasan rabies mendapatkan penolakan di banyak daerah. Padahal populasi anjing liar (diliarkan) yang besar dan padat (high density) merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam penyebaran rabies.
Masalah sudah terang. Tetapi isu pembatasan konsumsi daging anjing mungkin bisa dipandang mengandung unsur SARA. Sehingga kebanyakan kita tidak nyaman membahasnya. Mari kita berpikir dalam konteks seperti berikut:
Pada masyarakat tertentu, konsumsi anjing memang merupakan bagian dari tradisi. Pada awalnya mungkin hanya hidangan khusus di tengah keluarga terutama saat pesta dan hari raya, tetapi saat ini telah berkembang luas menjadi usaha komersial. Di kota tertentu kita dengan mudah menemukan warung RW, B1, Sengsu atau Sate Jamu. Konsumsi daging anjing tidak lagi menjadi tradisi tetapi telah menjelma menjadi industri kuliner. Dalam konteks ini kita harus mulai berpikir membatasi konsumsi daging anjing seperti yang dilakukan oleh Philipina. Pembatasan itu tidak bermaksud menghapus tradisi yang sudah turun menurun dalam keluarga masyarakat tertentu, tetapi harus dipandang sebagai upaya mengeliminasi masalah yang ditimbulkan oleh penjualan daging anjing secara komersial.(*_*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H