Istilah Revolusi Industri
European Parliamentary Research Service dalam Davies (2015) menyebutkan bahwa revolusi industri terjadi selama empat kali. Revolusi pertama ditandai dengan penemuan mesin uap dan mekanisasi menggantikan pekerjaan manusia. Revolusi industri kedua terjadi pada abad ke-19 yang ditandai dengan penemuan mesin-mesin produksi yang dikendalikan oleh listrik dalam kegiatan produksi massal. Pada revolusi industri ketiga ditandai dengan penggunaan reknologi otomasi manufuktur yang dimulai pada tahun 1970. Selanjutnya, perkembangan yang semakin pesat dari teknologi sensor interkoneksi, dan analisis data memunculkan gagasan bahwa semua teknologi tersebut ke dalam berbagai bidang industri. Gagasan inilah yang diprediksi menjadi revolusi industri 4.0 (Prasetyo & Sutopo, 2018).
Revolusi indsutri 4.0 secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat diadakan Hannover Fair pada tahun 2011. Jerman merupakan negara yang memiliki kepentingan yang besar terkait Industri 4.0 dan menjadi bagian dari kebijakan rencana pembangunan yang disebut Hight-Tech Strategy 2020. Revolusi industri 4.0 juga diwujudkan oleh beberapa negara lain di dunia. Hal tersebut disebabkan oleh pesatnya perkembangan pemanfaatan teknologi digital di berbagai bidang. Industri 4.0 diprediksi memiliki manfaat yang besar mengenai perbaikan kecepatan fleksibilitas produksi, peningkatan layanan kepada pelanggam dan peningkatan pendapatan. Industri 4.0 menawarkan beragam manfaat, tetapi juga memiliki tantangan yang harus dihadapi. Implementasi revolusi Industri 4.0 menjadi sebuah tantangan yang dihadapi oleh negara. Tantangan yang dimaksud yaitu munculnya resistansi terhadap perubahan demografi dan aspek sosial (Drath & Horch, 2014), ketidakstabilan kondisi politik, keterbatasan sumber daya, risiko bencana alam dan tuntutan penerapan teknologi yang ramah lingkungan (Prasetyo & Sutopo, 2018).
Revolusi Industri 4.0 dengan Penyakit Tidak Menular di Tempat Kerja
Perkembangan teknologi industri 4.0 menghimpun antara mekanisasi perkantoran dan proses bisnis dengan mekanisasi pabrik dan industri. Teknologi industri digital mempermudah pengerjaan kegiatan produksi. Segala bentuk pekerjaan dapat dikurangi bahayanya dengan mengubah pekerja dengan mesin, mesin dengan mesin, dan mesin dengan manusia. Dalam kecanggihan era teknologi, risiko bahaya ditempat kerja tidak bisa dihilangkan sepenuhnya (Laksana & Srisantyorini, 2020). Â Bahaya risiko yang ditimbulkan dari pengaruh revolusi industri 4.0 adalah gangguan sistem gerak tubuh (Musculoskeletal Disorders), Carpal Tunnel Syndrom, Cumulative Trauma Disorders.
Musculoskeletal Disorders (MSDs)
Musculoskeletal Disorders (MSDs) merupakan gangguan yang terjadi akibat kerusakan pada sistem gerak otot dan rangka tubuh manusia. Gangguan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan beban aktivitas terhadap kemampuan otot dan rangka secara langsung maupun tidak langsung dapat mengurangi produktifitas kerja (Laksana & Srisantyorini, 2020). MSDs membawa dampak gejala seperti nyeri akibat kerusakan pada nervus, dan pembuluh darah diberbagai lokasi tubuh seperti leher, bahu, pergelangan tangan, pinggul, lutut dan tumit. WHO menyatakan gangguan musculoskeletal disebabkan oleh kontribusi dari berbagai faktor risiko antara lain faktor individu, faktor pekerjaan atau biomekanik dan faktor psikososial (Mayasari & Saftarina, 2016).
Musculoskeletal Disorders (MSDs) diklasifikasikan menjadi beberapa stadium oleh Oliveira, sebagai berikut (Mayasari & Saftarina, 2016):
- Stadium I: Lelah, tidak nyaman, nyeri yang semakin memburuk saat bekerja dan membaik saat beristirahat.
- Stadium II: Nyeri persisten dan lebih intens, diikuti dengan parestia dan perasaan terbakar yang terus memburuk saat beraktivitas.
- Stadium III: Nyeri persisten yang diiringi dengan penurunan kekuatan otot dan kontrol pergerakan, penurunan edema dan paresthesia.
- Stadium IV: Nyeri kuat yang berlangsung secara terus menerus.
- Faktor risiko Musculoskeletal Disorders (MSDs) oleh Hernandez dan Peterson dikelompokkan dalam tiga kelompok besar yaitu faktor biomekanik, faktor individu dan fakor psikososial sebagai berikut (Mayasari & Saftarina, 2016):
- Faktor biomekanik
- Postur tubuh
- Posisi netral. yaitu postur tubuh berada dalam posisi sesuai anatomi tibuh, sehingga tidak terjadi kontraksi otot yang berlebihan.
- Posisi janggal, yaitu posisi tubuh menyimpang saat melakukan aktivitas yang disebabkan oleh keterbatasan tubuh dalam menghadapi beban yang lama.
- Postur kerja
- Postur statis, yaitu postur tubuh yang hanya terjadi sedikit pergerakan dalam jangka waktu yang lama.
- Postur dinamis, yaitu postur yang terjadi dimana sebagian besar anggota tubuh bergerak.
- Beban
Pada pekerjaan mengangkat beban, efisiensi kerja yang lebih diperhatikan adalah tulang belakang. Aktivitas pekerjaan dilakukan berulang-berulang dan berlebihan menimbulkan keluhan musculoskeletal karena otot menerima tekanan akibat kerja tanpa mendapat kesempatan untuk berelaksasi.
- Durasi
- Durasi adalah lama waktu pajanan terhadap faktor risiko. Durasi diklasifikasikan menjadi durasi pendek (<1 jam/hari), durasi sedang (<1-2 jam/hari), dan durasi panjang (>2 jam/hari).
- Pajanan dan getaran
- Getaran memungkinkan pertambahan kontraksi otot yang dapat menimbulkan gejala tidak lancarnya aliran darah, meningkatkan penimbunan asam laktat dan akhirnya menyebabkan nyeri otot.
- Faktor Individu
- Usia, mempengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengalami MSDs. Otot memiliki kekuatan maksimal pada saat usia 20-29 tahun dan mengalami penurunan pada usia 60 tahun.
- Jenis kelamin, gangguan musculoskeletal lebih berisiko pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor fisiologis kekuatan otot pada perempuan yang berkisar 2/3 kekuatan otot dari laki-laki.
- Indeks Massa Tubuh, keluhan MSDs umum terjadi pada individu yang mengalami berat badan lebih atau obesitas. Gangguan tersebut berlokasi pada area leher, tendinitis rotator, osteoarthritis pada lutut, nyeri kaki, dan cidera tendon.
- Kebiasaan merokok, nikotin yang terkandung pada rokok menyebabkan kurangnya aliran darah ke jaringan. Merokok dapat menyebabkan hilangnya kandungan mineral pada tulang sehingga menimbulkan nyeri akibat terjadi keretakan tulang.
- Kebiasaan olahraga, kesegaran jasmani yang rendah meningkatkan risiko terjadinya keluhan otot.
- Masa kerja, semakin lama waktu bekerja semakin besar pula risiko untuk mengalami keluhan  musculoskeletal.
- Faktor psikososial
- Faktor psikososial merupakan interaksi yang terjadi antara lingkungan kerja, pekerjaan, kondisi organisasi, kapasitas serta pemenuhan pekerja, budaya, dan pertimbangan pribadi dengan pekerjaan yang berlebih, melalui persepsi dan pengalama serta berpengaruh pada kesehatan, kinerja, dan kepuasan kerja.
Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Carpal Tunnel Syndrome merupakan suatu kelainan yang terjadi akibat saraf medianus yang mengalami tekanan pada karpal dengan gejala utama berupa rasa nyeri yang menjalar ke jari-jari disertai rasa kebas, kelelahan otot, kekakuan dan kemungkinan atrofi otot. Carpal Tunnel Syndrome salah satunya disebabkan oleh penggunaan komputer secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama (Nissa, Widjasena, & Suroto, 2015). CTDs disebabkan oleh lesi yang secara signifikan mengurangi ukuran canalis carpi atau menambah ukuran. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya gangguan CTDs yakni faktor intrinsik, faktor penggunaan tangan dan faktor trauma (Farhan & Kamrasyid, 2018).
Carpal Tunnel Syndrome (CTS) dapat dicegah dengan latihan untuk mengurangi risiko terjadinya gangguan CTS. Peregangan dan latihan dapat memperkuat otot pergelangan tangan sehingga memperbaiki aliran darah pada daerah tersebut. Selain itu, penggunaan alat pelindung diri seperti penggunaan sarung tangan khusus yang terbuat dari karet elastis agar dapat menyangka dan membatasi pergerakan tangan dan menghindari terjadnya penekanan secara langsung terhadap nervus medianus (Farhan & Kamrasyid, 2018).
Â
Cumulative Trauma Disorder (CTDs)
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) adalah gangguan sistem musculoskeletal, ditandai dengan cidera pada syaraf, otot, tendon, ligament, tulang dan persendian pada titik-titik ekstrim tubuh dan tulang belakang. Gangguan CTDs berhubungan dengan bagian tubuh yang berbeda sesuai dengan jenis pekerjaan. Gangguan yang timbul di punggung bagian bawah dihubungkan dengan kegiatan mengangkan dan membawa beban disertai dengan getaran. Gangguan pada anggota tubuh bagian atas diakibatkan oleh pengerahan tenaga yang berulang dan statis dalam waktu yang lama (Desriani, Jayanti, & Wahyuni, 2017).
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) disebabkan oleh penggunaan alat-alat yang menekan tajam ke telapak tangan dan menimbulkan iritasi pada tendon. Kesalahan cara dalam memegang alat atau benda dengan menekan jari-jari ke ibu jari atau membawa benda dengan posisi pegangan pada titik jauh dari pusat gravitasi juga bisa menimbulkan CTDs (Rahmawati & Sugiharto, 2011). Gangguan CTDs dapat dicegah melalui (Desriani et al., 2017):
- Olahraga teratur untuk memperkuat tulang dan otot.
- Memperhatikan posisi tubuh saat bekerja agar terhindar dari risiko ergonomic. Untuk pekerja yang bekerja dalam waktu duduk yang lama dapat menambahkan bantalan pada kursi, agar sudut pada tungkai kaki tidak terlalu besar.
- Melakukan peregangan sebelum dan sesudah dan disela-sela waktu bekerja.
Â
DAFTAR PUSTAKA
Desriani, P., Jayanti, S., & Wahyuni, I. (2017). Hubungan sikap kerja dan karakteristik individu dengan gejala cumulative trauma disorders (ctds) pada pekerja bagian pencetakan kulit lumpia di Kelurahan Kranggan Semarang Tengah. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 5(5), 299--311.
Farhan, F. S., & Kamrasyid, A. A. (2018). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Carpal Tunnel Syndrome pada Pengendara Ojek. Jurnal Manajemen Kesehatan Yayasan RS. Dr. Soetomo, 4(2), 123--133.
Laksana, A. J., & Srisantyorini, T. (2020). Analisis risiko musculoskeletal disorders ( msds ) pada operator pengelasan ( welding ) bagian manufakturing di PT X Tahun 2019. AN-Nur: Jurnal Kajian Dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat, 1(1), 64--73.
Mayasari, D., & Saftarina, F. (2016). Ergonomi sebagai upaya pencegahan musculoskeletal disorders pada pekerja. Jurnal Kesehatan Unila, 1(1), 369--379.
Nissa, P. C., Widjasena, B., & Suroto. (2015). Hubungan gerakan repetitif dan lama kerja dengan keluhan carpal tunnel syndrome pada mahasiswa teknik arsitektur. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 3(3), 563--571.
Prasetyo, H., & Sutopo, W. (2018). Industri 4.0: telaah klasifikasi aspek dan arah perkembangan riset. Jurnal Teknik Industri, 13(1), 17--26.
Rahmawati, Y., & Sugiharto. (2011). Hubungan sikap kerja duduk dengan kejadian cumulative trauma disorder pekerja pengamplasan. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1), 8--14.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H