Dan akhir pekan ini, saya sedikit disibukkan untuk memasang peribahasa itu di beberapa kelas dan papan mading dengan bantuan anak-anak. Ternyata, menggerakkan anak-anak untuk aktif justru lebih mudah daripada menggerakkan para guru. Entahlah, mungkin karena saya tergolong masih muda sedangkan guru-guru lainnya lebih banyak yang sepuh? Â
Bisa dikatakan, menggerakkan rekan guru itu gampang-gampang susah. Masih banyak guru akan melakukan sesuatu jika ada keuntungan materi. Jika tidak ada keuntungan materi langsung, mereka enggan melakukannya. Yang jelas, dengan pemasangan peribahasa di kelas-kelas anak-anak mulai terbiasa dengan nasihat lama. Pun, mereka bisa mempelajari bahwa peribahasa dalam bahasa daerah memiliki makna luar biasa yang bisa mengingatkan kita pada nilai-nilai positif dalam masyarakat.Â
Dengan memasang peribahasa itu, anak-anak akan membaca dan tergerak hatinya untuk mencari tahu artinya. Setelah tahu artinya, peribahasa tentu menjadi pengingat akan nilai-nilai mana yang boleh dilakukan dan sebaliknya. Bisa juga, secara khusus guru membahas makna peribahasa yang ada dengan para siswa. Dengan demikian, guru dan sekolah secara tidak langsung melakukan transfer budaya positif kepada siswa. Harapannya tentu saja bisa menjadi pedoman bagi siswa dan warga sekolah lainnya untuk bertindak dalam hidupnya. Tentu saja, hal ini sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantoro bahwa guru dan sekolah sudah seharusnya tidak meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam pembelajaran yang dilakukan, tetapi mendidik anak sesuai kodrat alam dan zamannya.Â
Maka, dari urutan peristiwa yang ada dapat kita simpulkan bahwa guru sebagai pendidik harus bisa menjadi penuntun sekaligus pemimpin pembelajaran dengan tetap menumbuhkan kepemimpinan pada diri siswa melalui pembiasaan nilai-nilai positif dalam setiap pembelajaran yang ada.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H