"Bumi semakin panas. Jangan cuma bisa kipas-kipas!"Â
Begitu tulisan pendek yang tergurat sebagai grafiti pada dinding Kampung Merbabu Asih, Kec. Harjamukti, Cirebon.
Saya berkesempatan mengunjungi RW inspiratif ini pada penghujung 2018 untuk menelisik tentang penanggulangan dampak perubahan iklim ekstrem dan praktik positif ketahanan pangan di lingkup terkecil.
Isu pemanasan global akibat emisi karbon yang berlebihan agaknya tidak disambut sebagai kebenaran. Tak sedikit yang menganggapnya sebagai gorengan isu demi keuntungan segelintir pihak saja.
Atau ada juga yang mempercayainya, tetapi enggan melakukan hal-hal antisipatif untuk mencegah dampak serius emisi karbon yang mengancam keberlangsungan masa depan umat manusia. Mereka yakin, bakal ada orang lain yang akan peduli pada isu itu.
Jebakan antroposentrisme
Tanggal 5 Juni yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Lingkungan Hidup dunia mestinya jadi momen tepat untuk merenungkan sejauh mana manusia modern sudah bertindak terhadap kelestarian lingkungan.
Boleh jadi selama ini kita cenderung antroposentris sehingga menganggap bahwa lingkungan beserta isinya semata-mata harus melayani kebutuhan kita sebagai pusat dari sistem alam semesta.
Antroposentrisme berlebihan akhirnya mendorong eksplorasi dan eksploitasi alam secara masif atas nama kebutuhan yang boleh jadi manipulatif.Â
Hal ini misalnya tampak dari penggunaan energi berbasis fosil yang persediaannya kian menipis sementara  populasi dunia terus meningkat. Hanya soal waktu ketika supplay dan demand tak lagi seimbang sehingga kita mesti beralih ke sumber energi terbarukan.
Energi surya, terbarukan dan berlimpahÂ
Salah satu sumber energi terbarukan yang bisa dimanfaatkan secara optimal adalah matahari atau surya. Negara kita terletak di garis khatulistiwa sehingga pasokan matahari kita dapatkan sepanjang tahun secara berlimpah.Â
Kuncinya adalah kemauan dan kesadaran untuk memanfaatkan sumber energi baru dan terbarukan, salah satunya adalah energi surya. PLTS (pembangkit listrik tenaga surya) bisa menjadi alternatif pemasok energi yang ekonomis.
Opsinya pun beragam: ada PLTS atap, di atas tanah (grounding), dan PLTS terapung (floating). Dengan teknologi solar panel terbaik, seperti persembahan Utomo SolaRUV, kita optimistis bisa menghemat pengeluaran energi yang ramah lingkungan.
Penerapan PLTS atap juga sangat fleksibel, baik dipasang di atas rumah (residensial) maupun kawasan pabrik (industrial). Apa pun pilihannya, penghematan bisa dilakukan, misalnya untuk segmen industri yang bisa dipangkas hingga 30%. Tentunya ini optimasi energi yang menguntungkan.
Pijar energi untuk santri dan biarawatiÂ
Kisah menarik saya dapatkan ketika menghadiri blogger gathering di Surabaya tanggal 3 Juni 2024. Acara ini digelar di kantor Utomodeck sebagai partisipasi untuk menyambut hari lingkungan hidup sedunia.
Bloger Kompasiana Cak Kaji diajak menonton sepotong video tentang pemanfaatan PLTS atap di sebuah asrama biarawati di pedalaman Kalimantan tepatnya di Penajam Paser Utara. Karena sulit dijangkau energi listrik konvensional, pengelola akhirnya memutuskan memasang solar panel untuk memanen listrik dari matahari Kalimantan yang berpijar.
"Saya pikir lampunya agak redup, ternyata enggak," ujar seorang biarawati menanggapi nyala lampu yang sama terangnya dengan energi konvensional.
Beberapa pesantren di Jawa, misalnya Ponpes Tahfidhil Qur’an Sirojul ‘Ulum di Kediri-Jawa Timur dan Ponpes Dhiyaul Fatihin di Pekalongan-Jawa Tengah, juga berkomitmen mendukung transisi energi lewat energi hijau demi mewujudkan Indonesia bebas emisi.
Pemasangan PLTS atap di pesantren terbilang keputusan tepat sebab mampu menghemat energi hingga 40-50%. Jika institusi pendidikan memilih beralih ke energi terbarukan, niscaya lingkungan bisa terjaga dan target Indonesia mencapai net zero emission tahun 2050 bisa tercapai.
"Saya salut ada kepala sekolah SD negeri di Lowokwaru, Malang, yang pakai panel surya untuk kebutuhan mereka," ujar Krismaya selaku manajer RnD yang didapuk sebagai pemateri.
Manfaatkan waduk dan lahan bekas tambang
Lebih lanjut Krismaya menuturkan bahwa PLTS floating bisa dilirik sebagai solusi pemanfaatan energi surya karena lebih efisien soal tempat. Dibanding grounding yang menuntut bidang tanah tertentu, PLTS terapung bisa dipasang di atas perairan seperti danau atau waduk.
Kita tak perlu mengkhawatirkan biota di dalam perairan karena sebelum PLTS floating dipasang, biota yang ada di dalam waduk atau danau diteliti terlebih dahulu untuk memastikan bahwa panel surya aman dipasang di atasnya.
Penggunaannya pun mengikuti aturan kementerian terkait. Artinya, tidak bisa menggunakan seluruh wilayah perairan untuk ditutup dengan panel surya. Ada kajian terlebih dahulu seputar kandungan waduk dan manajemen di dalamnya.
Yang lebih menarik PLTS terapung bisa dipasang di atas cekungan lahan bekas tambang yang biasanya teronggok begitu saja tanpa dimanfaatkan. Dengan cara seperti itu, maka lahan bekas tambang yang terbengkalai bisa diberdayakan untuk mendukung penyerapan energi terbarukan, yaitu matahari.
Momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia bisa kita gunakan untuk  merefleksikan perjalanan kita dalam menggunakan energi, baik yang berbasis fosil maupun energi terbarukan yang belum banyak dimanfaatkan.Â
Dengan kesadaran dan kemauan, kita bisa melakukan hal-hal positif untuk lebih memikirkan alam sebagai bagian dari diri kita, bukan semata-mata untuk melayani kita.Â
Memilih energi terbarukan berarti memuliakan kehidupan yang berkualitas sebagai cara bersyukur atas rahmat Tuhan, sekaligus ikhtiar untuk meraih kedaulatan energi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H