Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Beasiswa ke Jepang Tanpa Kuliah, Pesantren Wirausaha Solusinya

30 Mei 2024   12:36 Diperbarui: 31 Mei 2024   07:53 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santripreneur di Ponpes Fathul Ulum mengelola peternakan kambing (Dk.o pri)

"Yah, tahu enggak Kang Funas dapat beasiswa ke Jepang loh!" ujar si sulung saat pulang belum lama ini.

"Ah yang benar? Kata siapa?" tanya saya ringan, seolah asal menanggapi. Bukan meremehkan, sebab pondok pesantren tempat dia belajar terbilang kecil di Jombang, setidaknya dibanding Tebuireng atau Tambakberas.

"Abi (kiai-pen) yang bilang waktu ngaji," jawabnya singkat.

"Wah, keren juga tuh! Semoga kesempatan itu diambil ya, Mas...." sambung saya, kali ini penuh pengharapan.

Alasan pilih ponpes salaf

Setahun lalu, ketika lulus sekolah dasar, si sulung menyatakan ketidaktertarikannya pada sekolah umum. Alasannya, dia malas mikir (pelajaran sekolah). 

Walau secara akademik di SD dia cukup bagus (selalu lima besar), saya tak ingin membebaninya. Apalagi setelah ia bercerita bahwa Gus Baha menjadi idolanya sehingga ke sanalah arah yang ia tuju.

Pesantren salaf yang jadi tujuannya. Kami setuju setidaknya dengan tiga alasan. Pertama, dia bisa fokus pada pelajaran agama secara mendalam. Pemahaman yang mumpuni akan menjadi bekal berharga saat dewasa kelak. Soal rezeki di masa depan, kami sepenuhnya serahkan kepada Tuhan. 

Selain pembekalan skill yang relevan pada saat yang tepat, di ponpes salaf dia akan mendapatkan suntikan bergizi, misalnya mantiq dan balaghah yang akan menyempurnakan 4C yang konon menjadi keterampilan wajib pada abad ke-21, yaitu Critical thinking, Creativity, Collaboration, Communication. Insyaallah di ponpes empat hal ini akan turut digarap.

Berpikir kritis dan kreatif juga diasah di pondok pesantren. (freepik)
Berpikir kritis dan kreatif juga diasah di pondok pesantren. (freepik)

Alasan kedua, pernah saya dengar bahwa jika ingin mengirimkan anak ke pesantren, maka kirimkanlah anak dengan otak yang encer. Maka, keyakinan ini membuat saya dan keluarga mantap mengantarnya ke Pondok Pesantren Al Anwar rintisan KH Maimoen Zubair yang telah melahirkan dai cemerlang seperti Gus Baha.

Alasan terakhir, dalam kadar tertentu saya agak 'kecewa' terhadap pendidikan umum. Jika kuliah adalah manifestasi pendidikan tinggi sebagai akselerasi taraf hidup seseorang, maka fenomena pengangguran yang terus berlimpah tampaknya bukan kabar menggembirakan. 

Di balik privilese seseorang bisa menjadi seorang mahasiswa, ternyata ada isu serius antara link and match, tentang apa yang dipelajari ternyata tak dibutuhkan industri.

Kegagapan lulusan PT untuk bekerja menunjukkan indikasi permasalahan laten pendidikan. Belum lagi mahalnya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang menjadi polemik nasional.

Sayangnya, si sulung tidak betah setelah sekitar 10 hari tinggal di sana. Rupanya para santri di sana kebanyakan sudah pernah mondok sebelumnya. Walhasil, si sulung agak tertinggal dari sisi pelajaran meskipun disediakan kelas adaptasi. Santri yang mondok tak jarang datang untuk lebih memperdalam ilmu tertentu atau berburu berkah/karomah Mbah Moen.

Melirik pesantren wirausaha

Di tengah tahun ajaran, kami harus segera mendapatkan pesantren baru tempat si sulung akan belajar. Karena terinspirasi oleh seorang saudagar di Lamongan yang telah membangun Masjid Namira begitu megah, si sulung kemudian menyatakan minat untuk bisa berproses sebagai seorang wirausaha.

Peternakan sapi di Ponpes Fathul Ulum, Jombang (Dok. pri)
Peternakan sapi di Ponpes Fathul Ulum, Jombang (Dok. pri)

Setelah menjelajah Internet, dapatlah sebuah pesantren di Jombang, lebih tepatnya di Desa Sanan, Puton. Pesantren ini berada di perbatasan tiga kecamatan, yaitu Diwek, Ngoro, dan Gudo. Setelah mempelajari keunikannya, kami pun meluncur ke lokasi dan berbincang dengan pengurus yang berjaga.

Ketika memastikan bahwa pesantren ini klop dengan visi misi kami sebagai orangtua, kami tak ragu mendaftarkan si sulung di sana. Selain mengikuti ajaran salaf (berdasarkan kitab-kitab yang dikaji), ponpes ini juga sesuai dengan ajaran Pancasila dan UUD 1945. Kami semakin mantap setelah tahu bahwa ponpes ini menjadi salah satu binaan CSR PT Astra International, Tbk sebagai Desa Sejahtera Astra (DSA).

Sebagaimana nama yang disandang, Fathul Ulum diharapkan penjadi pembuka ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, bukan hanya ilmu-ilmu agama yang mumpuni, melainkan pengalaman berwirausaha yang akan disebarkan di masyarakat kelak.

Pondok ini memang membekali santrinya dengan pengetahuan enterpreneurship berbasis pertanian, peternakan, dan perikanan. Tak salah jika kami melirik pondok pesantren ini sebagai tempat belajar si sulung yang ingin menguasai ilmu agama sekaligus menjadi pengusaha.

Target generasi Anfa'a

Satu hal yang kami sukai dari visi pondok ini adalah bahwa anak-anak yang lulus dari Fathul Ulum haruslah menjadi generasi anfa'a. Intinya, lulusan pondok haruslah mampu menebarkan manfaat bagi masyarakat. Dengan membekali keterampilan berwirausaha, KH Habibul Amin selaku pengasuh ingin agar para santri memiliki kemandirian secara ekonomi.

Dalam pengertian itu, jangan sampai terjadi ada santri jebolan Fathul Ulum yang menukar layanan agama dengan patokan rupiah, misalnya. 

“Jadi, jangan sekali-kali siapa pun mengajar agama secara transaksional, enggak boleh. Saya selalu pesankan ke anak-anak karena mengajar itu harus dengan ikhlas. Untuk bisa itu, maka harus memiliki keahlian, kalau tidak akan berat nantinya,” ujar kiai kepada kabarjombang.com. 

Selain menjaga integritas, kemandirian ekonomi bisa ditularkan kepada warga tempat santri berdomisili. Itulah inti anfa'a, implementasi dari hadis Nabi yang menganjurkan penciptaan manfaat, bukan mengharapkan atau sekadar menikmatinya.

Pada kata anfa'a terdapat spirit pemberdayaan. Menggerakkan warga untuk meraih akselerasi kehidupan, baik secara religius maupun sosial ekonomi. Pada kata anfa'a juga tersimpan energi untuk selalu berbagi, bukan memanipulasi.

Dengan prinsip ini, setiap kesempatan yang muncul harus dimanfaatkan santri untuk memproduksi dan menebarkan kebaikan, alih-alih peluang untuk semata menumpuk kekayaan.

Dalam sebuah kesempatan, kiai muda ini pernah menggagas sebuah ide yang menarik. Kali ini berkaitan dengan kepala desa terpilih yang kadang dianggap kurang efektif bekerja. 

Pembenihan pohon, baik untuk alam dan keuangan (Dok. pri)
Pembenihan pohon, baik untuk alam dan keuangan (Dok. pri)

"Kenapa tidak membagikan sekian benih pohon sengon? Dalam lima tahun, warga bisa panen dari kayu yang ditanam," ujarnya singkat kepada warga yang datang sowan di pondok tersebut.

Dengan begitu, bukan hanya penghijauan yang didapatkan, tetapi juga manfaat ekonomi yang signifikan sehingga masyarakat tidak tergiur serbuan amplop pada saat pemilihan.

Pengelolaan uang dan pemanfaatan sayuran

Keunikan lain di ponpes ini adalah larangan santri membawa banyak uang. Bahkan dianjurkan tidak pegang sama sekali. Demi mengajarkan tentang pengelolaan uang, santri hanya dibekali dengan semacam kartu ATM. Kartu ini bisa santri gunakan untuk membeli keperluan di kantin (makanan) maupun koperasi (kebutuhan harian dan kitab pelajaran). 

Jika ada keperluan dalam jumlah besar, misalnya beli sesuatu di luar kompleks pesantren, maka dia bisa mengajukan pencairan kepada bagian Tata Usaha yang ketat menyeleksi kebutuhan. Pengasuh ingin agar para santri belajar dan berlatih dalam mempergunakan uang sesuai kebutuhan, bukan menurut keinginan.

Suatu kali seorang teman jurnalis datang untuk meliput. Sudah lazim orangtua yang mengenal wali santri akan mengulurkan uang sekadar untuk jajan. Saat bertemu si sulung, dia pun mengangsurkan paket camilan. "Tadinya mau kukasih uang, tapi kiai tidak memperbolehkan," ujarnya kepada saya serampung berkunjung.

Kebun sayur di kompleks pesantren. (Dok. pri)
Kebun sayur di kompleks pesantren. (Dok. pri)

Demi mendukung kesehatan, ponpes pun memperhatikan makanan santri. Mereka sama sekali tidak menggunakan penyedap rasa atau bahan-bahan kimia dari pabrik. Semua berasal dari kebun, termasuk sayur dan ikan. 

Begitu juga dengan pengelolaan pertanian, peternakan, perikanan -- tak ada zat kimia yang dipakai, semua alami. Selain kebun sayur dengan insect net greenhouse, di lingkungan pondok memang terdapat peternakan sapi dan kambing serta perikanan dalam bentuk biflok. Pola peternakan dan perikanan ini juga ditularkan kepada kelompok petani di desa lain.

Pakan ternak yang dibuat sendiri dengan bahan alami (Dok. pri)
Pakan ternak yang dibuat sendiri dengan bahan alami (Dok. pri)

Tak harus menjadi kiai

Kiai Habibul Amin menandaskan bahwa pesantren berbasis wirausaha ia dirikan menyusul menurunnya kepercayaan publik terhadap lulusan pesantren. Dia berkomitmen bahwa santri modern haruslah memiliki keterampilan atau skill yang bisa diandalkan dan disebarkan minimal kepada masyarakat tempat santri tinggal. 

Keahlian tersebut akan menjadi sarana untuk berkomunikasi dengan umat dalam rangka menggembleng mereka secara ekonomi dan finansial. Masyarakat mungkin spontan menolak jika didaakwahi, tetapi menggunakan media bisnis mereka mungkin akan tertarik.

Bioflok tempat ikan diternak di Ponpes Fathul Ulum Jombang (Dok. pri)
Bioflok tempat ikan diternak di Ponpes Fathul Ulum Jombang (Dok. pri)

Itulah tujuan terselubung kiai. Kendati tidak mewajibkan santri nanti menjadi kiai, setidaknya skill itu menjadi ladang untuk masuk ke relung hati warga. Bahasa ekonomi akan relatif lebih mudah dipakai bersama-sama.

Dengan menjadi petani atau peternak -- yang merupakan profesi dominan di Tanah Air -- para santri lulusan Ponpes Fathul Ulum diharapkan bukan cuma piawai berbicara seputar pertanian, tetapi juga sesekali menyisipkan kajian tentang tauhid, fiqih, hingga tasawuf.

Barangkali spirit positif inilah yang ditangkap oleh perusahaan sebesar Astra, juga Bank Indonesia yang menggelontorkan bantuan kepada ponpes asuhan Habibul Amin baru-baru ini. Ada secercah harapan untuk memajukan negeri lewat kontribusi sporadis dari orang-orang kecil yang ingin tumbuh lewat karya.

Kunjungan Ibu Aida S. Budiman, Deputi Bank Indonesia saat meresmikan Green House di Ponpes Fathul Ulum (Dok. FU)
Kunjungan Ibu Aida S. Budiman, Deputi Bank Indonesia saat meresmikan Green House di Ponpes Fathul Ulum (Dok. FU)

Kuliah bukan solusi satu-satunya

Berkaca dari kisah Kang Funas, yakni senior si sulung, maka sebagai orangtua kita mestinya arif menentukan pilihan pendidikan anak dengan tidak melulu mengagungkan perguruan tinggi (PT) yang belum tentu berguna bagi anak kelak. Sudahlah pendidikan tinggi mahal, malah ending-nya bisa terhimpit kesulitan finansial sebab harus berutang misalnya.

Tanpa mengecilkan PT, kita bisa melihat opsi-opsi lain yang lebih logis terutama dikaitkan dengan minat atau tujuan jangka panjang anak. Percuma memaksa anak kuliah kalau minatnya bukan di sana. Alih-alih produktif, malah uang terbuang dan anak tidak bersemangat menjalaninya.

Kesempatan kuliah bisa ditempuh kapan saja, apalagi saat anak punya penghasilan sendiri. Saya pun tetap akan mendorong si sulung untuk mengenyam pendidikan tinggi, apa pun bentuknya saat ia lulus pesantren nanti. Kalaupun tidak, skill harus benar-benar kuat. Asalkan solid dan relevan, keterampilan tertentu (ditambah jam terbang) bisa digunakan untuk bekerja di luar negeri. 

Menutup tulisan ini, saya ingin menurunkan status seorang warganet yang mencuit di Twitter sebagai berikut. Ini menarik karena kalangan low class terbilang banyak, bahkan mayoritas di negara kita sehingga memancing perdebatan. 

Sebuah pandangan, bukan kebenaran./DOK. PRI
Sebuah pandangan, bukan kebenaran./DOK. PRI

Namun perlu diingat, baik tulisan saya maupun kutipannya tentu tidak harus dipandang sebagai pilihan mutlak. Ini sebuah pendapat atau sudut pandang yang boleh jadi tidak selalu cocok untuk semua orang. Apa pun pilihan sobat Kompasianer, jangan patah arang dan teruslah belajar bahkan di luar bangku kuliah! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun