Kuliah bukan solusi satu-satunya
Berkaca dari kisah Kang Funas, yakni senior si sulung, maka sebagai orangtua kita mestinya arif menentukan pilihan pendidikan anak dengan tidak melulu mengagungkan perguruan tinggi (PT) yang belum tentu berguna bagi anak kelak. Sudahlah pendidikan tinggi mahal, malah ending-nya bisa terhimpit kesulitan finansial sebab harus berutang misalnya.
Tanpa mengecilkan PT, kita bisa melihat opsi-opsi lain yang lebih logis terutama dikaitkan dengan minat atau tujuan jangka panjang anak. Percuma memaksa anak kuliah kalau minatnya bukan di sana. Alih-alih produktif, malah uang terbuang dan anak tidak bersemangat menjalaninya.
Kesempatan kuliah bisa ditempuh kapan saja, apalagi saat anak punya penghasilan sendiri. Saya pun tetap akan mendorong si sulung untuk mengenyam pendidikan tinggi, apa pun bentuknya saat ia lulus pesantren nanti. Kalaupun tidak, skill harus benar-benar kuat. Asalkan solid dan relevan, keterampilan tertentu (ditambah jam terbang) bisa digunakan untuk bekerja di luar negeri.Â
Menutup tulisan ini, saya ingin menurunkan status seorang warganet yang mencuit di Twitter sebagai berikut. Ini menarik karena kalangan low class terbilang banyak, bahkan mayoritas di negara kita sehingga memancing perdebatan.Â
Namun perlu diingat, baik tulisan saya maupun kutipannya tentu tidak harus dipandang sebagai pilihan mutlak. Ini sebuah pendapat atau sudut pandang yang boleh jadi tidak selalu cocok untuk semua orang. Apa pun pilihan sobat Kompasianer, jangan patah arang dan teruslah belajar bahkan di luar bangku kuliah!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H