SARUNG SUDAH menjadi bagian istimewa dalam tradisi Nusantara. Di kalangan masyarakat Melayu, termasuk Indonesia, sarung bukan hanya dipakai untuk mendukung aktivitas keseharian, melainkan juga untuk ritual budaya dan bahkan acara kenegaraan.
Tren sarung batik belakangan ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Munculnya dai muda seperti Gus Iqdam dan Gus Kautsar membuat pamor sarung bermotif batik semakin moncer.
Bukan cuma motifnya yang beragam, dinamis, dan segar, tetapi harganya juga semakin terjangkau seiring dengan hadirnya berbagai merek yang menawarkan aneka kain sebagai bahan utama.
Potensi sarung batik
Saya pernah mewawancarai seorang pengusaha sarung batik muda asal Pekalongan yang mengakui justru mendapatkan hasil signifikan selama pandemi COVID19.
Edo, nama pebisnis ini, menggandeng para perajin batik cap lokal yang terdampak PHK akibat pandemi. Ternyata sarung batiknya mendapat sambutan hangat di pasaran.
Selain Indonesia, Sarung Tentrem yang ia produksi mampu menembus pasar Malaysia dan Singapura. Harganya berkisar dari 60 ribu rupiah hingga 400 ribuan.
Kreasi outfit harian
Saking populernya sarung, terutama sarung batik, masyarakat modern kemudian menggunakan sarung bukan hanya untuk ibadah, tetapi juga seremoni acara.Â
Misalnya peluncuran buku atau seminar, pembicara kadang didapati mengenakan sarung batik yang unik. Bentuk dan desainnya pun kian luwes dan terus berkembang.
Adapun saya sendiri jujur tak banyak tahu seputar outfit berbasis sarung. Selama ini sarung paling cukup dibebat untuk menjalankan shalat di rumah atau masjid.
Alternatif lain, sarung cukup disampirkan atau dikalungkan layaknya serban. Tinggal pilih bahan dan motif sarung yang sesuai. Tentunya bahannya jangan terlalu tebal.
Atau bisa juga dilapiskan pada celana layaknya kain dagang ala Melayu pada adat Upin Ipin. Menunjukkan gengsi tersendiri dan kepercayaan diri.
Bagaimana dengan pemakaian kasual? Semasa kecil sarung lazim dipakai untuk tidur di surau atau masjid. Bisa juga digunakan untuk main petak umpet dengan cara menebak peserta di dalam kerubungan sarung.
Puncaknya tentu saja buat main slepet atau perang sarung. Begitu sederhana tapi bermakna, kala itu. Sarung war, kenapa tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H