PERCAYA TIDAK bahwa karunia Tuhan sering kali justru kita rasakan lebih banyak saat kita dalam kondisi tidak punya ketimbang sebaliknya? Saya ingin menjawab pertanyaan ini melalui ulasan pendek film yang pernah saya tonton berjudul The Willow Tree.
Namun sebelum mengulas film tersebut, ada sebuah fragmen pada suatu sore yang tak mungkin saya lupakan. Saya duduk di pojok serambi Masjid Namira, tengah menunggu si bungsu yang mengaji di dalam.
Baru sekian menit membuka ponsel pintar, saya terhenyak oleh suara merdu yang menyenandungkan shalawat. Harmoni irama terdengar dari beberapa pemilik suara yang berbeda. Saya melirik ke kiri dan tampaklah di sana sekelompok jemaah perempuan muda terduduk dengan santai.
Mereka melantunkan shalawat secara bergantian, sambung menyambung dengan nada-nada indah yang memukau. Saya kian terpesona saat seorang di antara mereka mengakhiri sesi shalawat dengan langgam tilawah khas mujawwad sebagaimana kerap dibawakan oleh qari kondang Muammar ZA.
Nikmat penglihatan
Setelah itu, mereka bangkit dan bergerak bergandengan menuju ruang utama shalat wanita dari pintu timur. Dibantu seorang pemandu. Entah dari kota mana rombongan mereka. Namun, siapa pun langsung tahu bahwa selain pemandu, seluruh perempuan dalam kelompok tersebut adalah penyandang tunanetra.
Begitu mereka hilang dari pandangan, saya pun memejamkan mata selama beberapa saat. Hanya gelap yang tertangkap, mungkin ada seberkas cahaya di serambi timur karena ditimpa matahari sore. Selebihnya, hanya kendaraan yang lalu lalang terdengar. Mesin berderum bersahutan, ditingkahi percakapan orang-orang dari berbagai arah.
Ketika membuka mata, saya bersyukur sejadi-jadinya. Allah SWT bisa saja merampas kenikmatan berupa mata, tapi tanpa bayar sepeser pun penglihatan berpijar sejak kanak sampai kini dengan kemampuan luar biasa mengakses berbagai informasi penting di dunia. Warna-warni semesta menjadi mungkin dinikmati berkat kedua mata kita.
Sepenggal fragmen itu lantas memanggil memori saat menonton film produksi Iran yang judulnya saya sebutkan di awal tulisan. Kalau harus menyebut film yang bikin saya tobat, The Willow Tree atau beed-e majnoon adalah salah satunya. Tobat dalam pengertian seluas-luasnya, yakni kembali kepada pemahaman yang benar mengenai agama dan karunia Allah SWT yang sesungguhnya.
Yang hilang dan yang datang
Film yang disutradarai oleh Majid Majidi ini mengisahkan perjalanan Youssef, seorang profesor yang mengajar sastra di universitas meskipun ia seorang tunanetra. Secara khusus Youssef mengajarkan puisi-puisi klasik, termasuk karya masterpiece Jalaluddin Rumi berjudul Matsnawi.
Film dibuka dengan Youssef yang menyisipkan secarik surat ke dalam salah satu jilid Matsnawi berbahasa Persia sebelum ia bertolak ke Prancis untuk menjalani operasi mata. Matanya buta karena kecelakan saat berusia delapan tahun dan kini ditemukan tumor jinak yang mesti diangkat dari balik matanya.
Begini bunyi surat Youssef.
"Ada yang ingin kusampaikan. Apakah Engkau sudah melupakanku? Namaku Youssef. Akulah orang yang telah kau rampas untuk bisa menikmati keindahan dunia tapi aku tak pernah mengeluh.
Alih-alih cahaya dan terang benderang, selama ini aku hidup dalam kegelapan dan kesuraman tetapi aku tidak protes. Aku justru menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam surga kecil ini.
Apakah tahun-tahun penuh penderitaan itu belum cukup sehingga sekarang Engkau ingin membuatku lebih menderita? Akankah aku bisa kembali ke keluargaku tercinta selepas perjalanan ini? Apakah penyakit ini akan membuatku bertekuk lutut? Kepada siapa aku harus mengadu tentang apa yang Kau perbauat padaku?
Kumohon pada-Mu untuk lebih menyayangiku. Jangan renggut nyawaku."
Singkat kata, operasi Youssef berjalan lancar. Bukan hanya tumor jinak yang berhasil diambil, tetapi juga dilakukan transplantasi kornea yang membuatnya bisa melihat kembali. Bayangkan betapa girang dirinya saat menatap seekor semut yang berjalan terseok menggotong makanan di jendela kamarnya. Sekian puluh tahun hidup dalam kegelapan mendadak pecah oleh pendar cahaya yang membelalakkan kedua matanya.
Jika penglihatan Youssef berhasil dipulihkan seperti sedia kala, kasus berbeda terjadi pada Morteza. Kenalan baru selama berada di RS Prancis tersebut justru beranjak mengalami kebutaan akibat serpihan peluru yang memasuki matanya saat terlibat dalam Perang Irak-Iran. Namun, Morteza menganggap kasusnya biasa saja dan ia malah memutuskan pergi tanpa terlebih dahulu dioperasi.
Bukankah ironis hidup ini ketika ada seseorang yang baru saja mendapatkan penglihatannya kembali sementara ada orang lain yang baru akan mengalami kebutaan? Sebagaimana sulit diterima saat ada orang kaya menjadi semakin kaya sedangkan kaum miskin kian meronta tak berdaya? Apakah kita hendak menyebut ini kontroversi, paradoks, atau malah ketidakadilan Tuhan lantaran tidak sejalan dengan yang kita paham?
Yang diharapkan belum tentu menyenangkan
Suasana meriah terlihat di bandara tempat Youssef tinggal dan mengajar. Ia tertegun menatap orang-orang yang ada di hadapannya. Tak satu kata pun terlecut saat ia berusaha mengenali wajah-wajah yang entah kapan kali terakhir ia lihat dengan mata kepalanya. Tentunya perubahan telah terjadi.
Di antara kerumunan itu, ada satu sosok yang membuat pandangan Youssef tercekat. “Ibu….” Ujarnya sembari menatap perempuan tua yang rambutnya beruban. Ini salah satu adegan memilukan, tanpa banyak kata—hanya permainan kamera dan mimik muka, terutama anggukan ringan sang ibu saat Youssef mengeluarkan semacam kartu doa yang dibuat ibunya sebelum ia terbang ke Prancis.
Nyatanya hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Bahkan ketika yang kita doakan akhirnya menjadi kenyataan, dampaknya belum tentu kita sukai secara permanen. Bukti bahwa kita ini daif, terbatas, dan sebenarnya tak berdaya tanpa bantuan orang dan terutama kemurahan Tuhan.
Sebagaimana Youssef yang akhirnya malah didera keterasingan baru padahal kedua bola matanya bisa berfungsi dengan normal. Masalahnya ternyata terletak pada persepsi. Seorang tunanetra punya persepsi berbeda tentang keindahan dan kedamaian yang ada di dunianya dan yang ditemukan di dunia baru ketika ia bisa melihat lagi.
Saat Youssef masih buta, dunianya begitu indah. Ia membaca berjilid-jilid buku dalam aksara Braille dan menjalani peran sebagai profesor perguruan tinggi secara memuaskan. Surga itu terletak di dalam pikirannya, juga hatinya.
Selama ini ia sudah merasa hidup di surga kecil dengan mendengarkan kerisik angin di balkon rumah saat ia membaca, atau kecipak air di dekat pepohonan saat ia bermain dengan putri tercintanya, juga kepedulian keluarganya yang luar biasa.
Namun begitu tabir kebutaan itu tersingkap, yaitu saat matanya bisa melihat, dunia visual ternyata mengecewakan. Mulailah muncul konsep bagus, cantik, jelek, buruk, yang malah memusingkan. Ia terasing di dunia yang baru, dunia yang pernah ia lihat puluhan tahun silam yang jelas telah banyak berubah.
Lebih parahnya lagi, kemampuan melihat Youssef kini justru membuatnya merasa mandiri sehingga tak perlu lagi bantuan sang istri. Bahkan saat Roya istrinya bertanya dari mana Youssef karena pergi mendadak tanpa pamit pun, ia bisa naik pitam. Ia merasa tak butuh siapa pun lagi lantaran kemampuannya melihat yang membuat tak perlu bergantung pada orang lain.
Sang istri akhirnya pergi, termasuk ibunya yang dirundung kekecewaan. Rasa tertekan dan ketidakpuasan terhadap dunia nyata kian memuncak ketika mata Youssef bereaksi yang disebut oleh dokter sebagai adanya penolakan dalam transplantasi kornea sebelumnya.
Yang diharapkan ternyata tak selamanya menyenangkan. Youssef membayangkan dunia sebagai surga yang menawan, tetapi surga kecilnya saat ia masih tunanetra rupanya tetap yang terbaik. Dengan plot yang linier, akting para pemain yang sangat ciamik—terutama Parvis Parastui yang sangat jempolan—The Willow Tree atau beed-e majnoon bisa menjadi pilihan film spiritual untuk ditonton selama bulan Ramadan.
Bukan bermaksud menyelami dunia sufi atau semacamnya, tetapi sebagai ikhtiar untuk memahami bahwa apa yang terjadi ternyata menjadi keputusan terbaik dalam kacamata Tuhan. Rasa syukur dan ikhtiar dalam menjalani perubahan, serta kepasrahan kepada Allah SWT adalah pekerjaan tiada akhir yang mestinya kita ulang-ulang dengan penuh kesabaran.
Dalam konteks inilah film ini bisa mendorong kita untuk melakukan pertobatan. Yaitu menyadari dan menyesali bahwa selama ini kita lebih sering salah sangka terhadap ketetapan Tuhan. Lantaran berkutat pada apa yang kita mau, surga mini yang mestinya kita rasakan akhirnya berubah menjadi lingkaran neraka yang mengungkung kita dalam keluhan demi keluhan tanpa pernah merasa salah sehingga perlu ada yang diubah. Bukannya manfaat, malah mudarat yang kita terima padahal kita merasa mendapatkan segalanya. Innaa lillaah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H