Begini bunyi surat Youssef.
"Ada yang ingin kusampaikan. Apakah Engkau sudah melupakanku? Namaku Youssef. Akulah orang yang telah kau rampas untuk bisa menikmati keindahan dunia tapi aku tak pernah mengeluh.
Alih-alih cahaya dan terang benderang, selama ini aku hidup dalam kegelapan dan kesuraman tetapi aku tidak protes. Aku justru menemukan kebahagiaan dan kedamaian dalam surga kecil ini.
Apakah tahun-tahun penuh penderitaan itu belum cukup sehingga sekarang Engkau ingin membuatku lebih menderita? Akankah aku bisa kembali ke keluargaku tercinta selepas perjalanan ini? Apakah penyakit ini akan membuatku bertekuk lutut? Kepada siapa aku harus mengadu tentang apa yang Kau perbauat padaku?
Kumohon pada-Mu untuk lebih menyayangiku. Jangan renggut nyawaku."
Singkat kata, operasi Youssef berjalan lancar. Bukan hanya tumor jinak yang berhasil diambil, tetapi juga dilakukan transplantasi kornea yang membuatnya bisa melihat kembali. Bayangkan betapa girang dirinya saat menatap seekor semut yang berjalan terseok menggotong makanan di jendela kamarnya. Sekian puluh tahun hidup dalam kegelapan mendadak pecah oleh pendar cahaya yang membelalakkan kedua matanya.
Jika penglihatan Youssef berhasil dipulihkan seperti sedia kala, kasus berbeda terjadi pada Morteza. Kenalan baru selama berada di RS Prancis tersebut justru beranjak mengalami kebutaan akibat serpihan peluru yang memasuki matanya saat terlibat dalam Perang Irak-Iran. Namun, Morteza menganggap kasusnya biasa saja dan ia malah memutuskan pergi tanpa terlebih dahulu dioperasi.
Bukankah ironis hidup ini ketika ada seseorang yang baru saja mendapatkan penglihatannya kembali sementara ada orang lain yang baru akan mengalami kebutaan? Sebagaimana sulit diterima saat ada orang kaya menjadi semakin kaya sedangkan kaum miskin kian meronta tak berdaya? Apakah kita hendak menyebut ini kontroversi, paradoks, atau malah ketidakadilan Tuhan lantaran tidak sejalan dengan yang kita paham?
Yang diharapkan belum tentu menyenangkan
Suasana meriah terlihat di bandara tempat Youssef tinggal dan mengajar. Ia tertegun menatap orang-orang yang ada di hadapannya. Tak satu kata pun terlecut saat ia berusaha mengenali wajah-wajah yang entah kapan kali terakhir ia lihat dengan mata kepalanya. Tentunya perubahan telah terjadi.
Di antara kerumunan itu, ada satu sosok yang membuat pandangan Youssef tercekat. “Ibu….” Ujarnya sembari menatap perempuan tua yang rambutnya beruban. Ini salah satu adegan memilukan, tanpa banyak kata—hanya permainan kamera dan mimik muka, terutama anggukan ringan sang ibu saat Youssef mengeluarkan semacam kartu doa yang dibuat ibunya sebelum ia terbang ke Prancis.
Nyatanya hidup tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan. Bahkan ketika yang kita doakan akhirnya menjadi kenyataan, dampaknya belum tentu kita sukai secara permanen. Bukti bahwa kita ini daif, terbatas, dan sebenarnya tak berdaya tanpa bantuan orang dan terutama kemurahan Tuhan.