Kami tiba dengan selamat di depan gereja. Pagar gereja sudah terbuka dan lampu-lampu terlihat menyala, ia bergegas masuk setelah mengucapkan terima kasih.Â
Aku segera memutar arah dan tancap gas. Â Tepat di alun-alun kota mulailah terdengar azan Subuh berkumandang, menggantikan suara tarhim yang sebelumnya sayup-sayup merebak dari berbagai corong masjid.
Segelas kopi penenang hati
Kesempatan qiyamullail berjemaah jelas pupus sudah. Namun, saya bersyukur karena setiba di Namira masih tersisa waktu untuk menunaikan dua rakaat shalat fajar yang menurut Nabi jauh lebih baik daripada dunia dan seisinya. Serasa kaya tanpa harta berlimpah ruah.
"Masih ada kesempatan lain—insyaallah, untuk ikut qiyamullail di Namira." Begitu gumamku ringan sambil menyeruput segelas kopi sangit khas Namira selepas kajian Subuh.Â
Itulah sepenggal kisah pada Ahad pagi yang singkat dan tak terduga. Apakah itu cerita toleransi? Entahlah. Bisa jadi aku serasa melihat budheku sendiri yang dulu berjualan telur dan harus berjalan dari kampung menuju stasiun kecamatan agar bisa menumpang KRD sampai Pasar Turi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H