RAMADAN BACA buku, sungguh kegiatan yang seru. Bahkan sebenarnya bukan cuma selama bulan penuh berkah ini, tapi juga di bulan-bulan lain. Bagi saya buku bukan sekadar pemasok hiburan secara instan, atau cuma sekadar pencitraan, melainkan tempat pelarian dari hidup yang kian mengecewakan.
Jujur, ketika meninggalkan Bogor untuk menetap di Lamongan tahun 2017 silam, hati berkecamuk tak keruan. Melepaskan diri dari kenyamanan kota besar dengan berbagai fasilitas jelas bukan perkara mudah. Ketersediaan peluang berlimpah dalam mendulang kesuksesan ekonomi jadi salah satu faktor pemberat hati.
Hilangnya peluang
Sebut saja wingko, misalnya. Kala itu kami memproduksi wingko--camilan manis khas Babat Lamngan--secara kontinu setiap hari. Selain menitipkan di sejumlah lapak kecil di beberapa sudut kota, kami juga menerima pesanan teratur setiap bulan dari sebuah sekolah dengan asrama. Jumlahnya bahkan cukup fantastis, mulai 500 hingga 1.000 buah. Duitnya segurih rasa wingko!
Kesempatan itu tak bisa kami ulangi sebab di Lamongan produsen wingko menjamur. Pun serapan kue ini tak semasif di kota besar seperti Bogor. Hampir setiap rumah bisa bikin kudapan berbahan dasar kelapa dan tepung ketan ini. Tak jauh berbeda dengan soto yang juga jadi hidangan populer di banyak acara, baik skala besar maupun rumahan.
Akhirnya saya kembali melirik dunia penulisan--dalam hal ini blogging dan sesekali penyuntingan. Awal-awal pindah lomba blog masih kerap dihelat, dengan iming-iming hadiah yang menggiurkan. Baik kuantitas maupun kualitas hadiah tak perlu diragukan. Kenyataan berkebalikan saat ini ketika kompetisi menulis sepi yang bedampak pada menurunnya pendapatan.
Literasi sebagai pelarian diri
Di tengah kecamuk dan nano-nano hati, akhirnya saya mendapati buku sebagai semacam sanctuary. Di sinilah saya berdiam untuk menemukan ketenangan. Saat memantau chat di grup WA (WAG) bapak-bapak kompleks yang kebanyakan nirfaedah, dalam bukulah saya mencari suaka. Di antara halaman berisi teks dan gambar itulah saya berlindung dan menumpang hidup sementara, sewaktu-waktu bisa saya kunjungi sebagai orang lain.
Jokes yang disebar di WAG rata-rata basi, klise, dan tidak relate dengan saya pribadi. Bukan berarti jelek, hanya saya tak bisa membangun relasi dengan percakapan yang terkesan monoton. Tertawa dan perang stiker sama membosankannya. Lalu kepada buku saya terbantu. Di sanalah saya menemukan kehidupan baru.
Buku sebagai bagian dari literasi telah memperkaya diri saya, baik secara intelektual, spiritual, dan bahkan finansial. Dalam beberapa lomba bertema buku, saya berhasil merebut hadiah berupa gawai maupun uang tunai. Menulis resensi menyalakan hidup saya kembali. Intinya, di dalam buku saya merasa merdeka dari belenggu keseragaman dan kemonotonan kota baru.
Dengan membaca saya tak peduli pada apa yang terjadi. Saya tak lagi terpengaruh oleh penilaian yang mungkin tak dikhendaki. Berkawan dengan buku bukan cuma memberi saya sepercik ilmu, tetapi juga secercah harapan untuk melanjutkan hidup dengan optimisme dalam ketetapan Allah SWT.
Empat buku selama Ramadan teduh
Ada lima judul buku yang telah mulai saya baca sejak sebelum Ramadan dan masih berlangsung hingga kini. Saya tak membatasi tema, kalau ada topik yang menarik saya pun memutuskan untuk membacanya. Begitu juga dengan jenis tampilan, bisa berupa buku cetak maupun buku digital--saya luwes memihnya kendati buku fisik tetap lebih seksi. Â Â Â