Menyadari begitu besar manfaat pohon trembesi, Samsul pun membentuk komunitas Green Star Nusantara (GSN) agar gerakan lebih terstruktur dan lebih luwes. GSN didirikan tahun 2010 sebagai respons atas fakta memprihatinkan di lapangan, yakni banyak sumber air yang lama-lama mengering dan polusi udara yang mencemaskan.
Menurunnya kualitas udara di Bojonegoro, juga hilangnya sumber air bersih, merupakan dampak aktivitas penambangan migas yang begitu masif terjadi di Bumi Angling Dharma tersebut sejak tahun 2000-an.
Mengeringnya sumber mata air tak lain adalah akibat berkurangnya pohon-pohon penyangga yang selama ini berfungsi sebagai penyimpan cadangan air bersih untuk dimanfaatkan pada musim kekeringan.
"Ada pohon penyangga yang sudah tua, sudah lapuk sehingga banyak yang tumbang. Terus ada yang dibabat oleh manusia."
Sayangnya, fenomena negatif tersebut rupanya tak segera diimbangi dengan penanaman pohon-pohon kembali yang akan menghidupkan sumber mata air yang sudah hilang. Tak bisa dimungkiri, eksploitasi migas secara besar-besaran sangat berdampak pada pemanasan global dan gas rumah kaca sehingga kolaborasi perlu digalang untuk menangkalnya.
Aksi nyata untuk bumi
Samsul merasa prihatin dengan kondisi bumi yang semakin renta dan terus menderita akibat ulah manusia. Dalam kalimat Jawa, dia berujar, "Ibu Bumi wes maringi, aja dilarani!" yang menyiratkan betapa bumi telah banyak memberikan manfaat bagi kita tetapi justru terus mendapat beban berupa perusakan.
Itulah sebabnya ia kemudian meneliti khazanah lokal apa yang bisa dijadikan sebagai penangkal polusi dan memulihkan sumber air bersih, yang berujung pada trembesi sebagai solusi. Samsul mengingatkan, harus ada aksi nyata jika tidak ingin panas terus merajalela dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan berbagai tanaman yang sangat kita andalkan sebagai sumber pangan.
Namun, langkah GSN tidak mulus begitu saja tanpa hambatan. Kendala awal adalah soal bibit. Biji trembesi ternyata belum banyak tersedia sehingga mereka kemudian membelinya secara online dari Jawa Barat. Karena harganya cukup mahal, yaitu Rp200 ribu per kilogram, maka ia dan komunitasnya pun melakukan pembibitan sendiri untuk menekan biaya pengeluaran.
Sembari menunggu pembenihan, mereka giat mengumpulkan biji dari pohon-pohon trembesi yang telah tumbuh subur, yang biasanya menjatuhkan banyak polong di bawah sebagaimana yang pernah saya temukan di alun-alun kota.