SETIAP JOGGINGÂ di pagi hari mengelilingi alun-alun kota, saya selalu melewati sebatang pohon trembesi besar di sudut taman. Letaknya tak jauh dari kandang merpati sehingga cabang dan ranting trembesi ini kerap jadi langganan kawanan burung bertengger sambil berkicau meriah.
Mungkin tak banyak pejalan atau pengguna jalan yang memperhatikan padahal pohon trembesi ini telah lama memberikan keteduhan, sekaligus rumah bagi aneka satwa--terutama burung-burung yang menyumbangkan kicauan merdunya meskipun harus bersaing dengan deru kendaraan yang berhenti sejenak di lampu merah.
Memori masa kecil
Saya mulai melirik keberadaan trembesi ini suatu pagi saat memungut polongnya yang terjatuh. Saya lihat polong-polong berwarna cokelat kehitaman berserakan di bawah, sebagian terhempas ke trotoar. Saya ambil satu dan segera mengendusnya.
Sungguh sedap saat pinggir polong dibuka dan merekah dengan menguarkan aroma harum. Seperti bau gula karamel, dan inilah yang saya biasa nikmati semasa kecil dulu. Bagian yang agak lengket itulah yang saya cecap bersama teman-teman di sela bermain. Dinikmati perlahan agar manis khasnya terasa.
Selain tumbuh di tepi jalan atau pinggir telaga desa, pohon trembesi biasanya ditanam di pematang sebagai peneduh saat terik atau tempat petani menyantap bekal makanan. Angin semilir berembus di sela cabang dan ranting, sungguh suasana yang menyenangkan--bahkan bagi kami anak-anak yang ikut membantu di sawah atau ladang.
Kala itu, penduduk juga memanfaatkan pohon trembesi sebagai bahan pembuatan perabotan atau bangunan. Karena pokoknya kokoh, tak sedikit lemari, dipan, rak hingga tiang rumah dibuat dari pohon trembesi. Tentunya ketika pohon berusia tertentu barulah bisa dipanen untuk berbagai kebutuhan.
Pohon trembesi penangkal polusi
Di luar pengetahuan saya, ternyata pohon trembesi bisa menjadi solusi atas masalah pencemaran udara alias polusi. Adalah Samsul Arifin Wijoyosukmo yang mengagas solusi ini. Pemuda asal Desa Sumberagung Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro ini memutuskan melakukan sesuatu untuk memulihkan kualitas oksigen di daerahnya sekaligus menghidupkan sumber air bersih yang banyak menghilang.
"Tanaman untuk mengatasi perbaikan oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan punya daya simpan air yang bagus salah satunya adalah trembesi."
Menyadari begitu besar manfaat pohon trembesi, Samsul pun membentuk komunitas Green Star Nusantara (GSN) agar gerakan lebih terstruktur dan lebih luwes. GSN didirikan tahun 2010 sebagai respons atas fakta memprihatinkan di lapangan, yakni banyak sumber air yang lama-lama mengering dan polusi udara yang mencemaskan.
Menurunnya kualitas udara di Bojonegoro, juga hilangnya sumber air bersih, merupakan dampak aktivitas penambangan migas yang begitu masif terjadi di Bumi Angling Dharma tersebut sejak tahun 2000-an.
Mengeringnya sumber mata air tak lain adalah akibat berkurangnya pohon-pohon penyangga yang selama ini berfungsi sebagai penyimpan cadangan air bersih untuk dimanfaatkan pada musim kekeringan.
"Ada pohon penyangga yang sudah tua, sudah lapuk sehingga banyak yang tumbang. Terus ada yang dibabat oleh manusia."
Sayangnya, fenomena negatif tersebut rupanya tak segera diimbangi dengan penanaman pohon-pohon kembali yang akan menghidupkan sumber mata air yang sudah hilang. Tak bisa dimungkiri, eksploitasi migas secara besar-besaran sangat berdampak pada pemanasan global dan gas rumah kaca sehingga kolaborasi perlu digalang untuk menangkalnya.
Aksi nyata untuk bumi
Samsul merasa prihatin dengan kondisi bumi yang semakin renta dan terus menderita akibat ulah manusia. Dalam kalimat Jawa, dia berujar, "Ibu Bumi wes maringi, aja dilarani!" yang menyiratkan betapa bumi telah banyak memberikan manfaat bagi kita tetapi justru terus mendapat beban berupa perusakan.
Itulah sebabnya ia kemudian meneliti khazanah lokal apa yang bisa dijadikan sebagai penangkal polusi dan memulihkan sumber air bersih, yang berujung pada trembesi sebagai solusi. Samsul mengingatkan, harus ada aksi nyata jika tidak ingin panas terus merajalela dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan berbagai tanaman yang sangat kita andalkan sebagai sumber pangan.
Namun, langkah GSN tidak mulus begitu saja tanpa hambatan. Kendala awal adalah soal bibit. Biji trembesi ternyata belum banyak tersedia sehingga mereka kemudian membelinya secara online dari Jawa Barat. Karena harganya cukup mahal, yaitu Rp200 ribu per kilogram, maka ia dan komunitasnya pun melakukan pembibitan sendiri untuk menekan biaya pengeluaran.
Sembari menunggu pembenihan, mereka giat mengumpulkan biji dari pohon-pohon trembesi yang telah tumbuh subur, yang biasanya menjatuhkan banyak polong di bawah sebagaimana yang pernah saya temukan di alun-alun kota.
Suku Samin menginspirasi Samsul Arifin
Benih yang berhasil dihimpun lantas ditanam di sejumlah titik di Bojonegoro yang dianggap membutuhkan penghijauan. Selain itu, Samsul juga mempersilakan komunitas atau desa untuk memperoleh benih tanpa harus membayar sepeser pun.
Siapa saja bisa memperoleh benih trembesi tanpa harus melalui proses yang rumit seperti pengajuan surat dan formalitas lainnya. GSN hanya meminta agar penerima berkomitmen untuk menjaga kelestarian lingkungan lewat penanaman trembesi di daerah masing-masing.
Lantas bagaimana dengan biaya operasional GSN? Selain iuran sukarela dari masing-masing anggota, komunitas yang dikomando Samsul memperoleh dana pengembangan dari keuntungan penjualan jamu serbuk berbahan aneka rimpang yang mereka produksi sendiri. Di sini jelas terdapat semangat kemandirian yang menjadi value berharga dalam aktivitas GSN.
"Ruh yang kita pakai untuk membesarkan lembaga ini adalah mengambil spirit dari Suku Samin," tegas Samsul.
Samsul Arifin memang terinspirasi oleh sikap hidup Suku Samin. Masyarakat adat yang hidup di Bojonegoro dan pedalaman Blora ini--sebagaimana Orang Kanekes (Baduy) di Banten--dikenal sebagai suku yang teguh memegang tradisi dan kearifan lokal.Â
Dalam memanfaatkan alam, mereka cukup mengambil sesuai kebutuhan, bukan keinginan tanpa batas. Alih-alih eksploitasi, mereka berkompromi dan bahkan terkoneksi dengan alam seperti halnya masyarakat adat di belahan dunia lain.Â
Selain itu, Suku Samin senantiasa menjunjung kejujuran dan tidak sombong. Termasuk dalam bidang sosial dan ekonomi, mereka dikenal sangat mandiri.
Dengan menjual jamu serbuk, GSN telah mengadopsi kearifan lokal yakni rempah sebagai kekayaan Nusantara yang telah teruji dan terbukti khasiatnya sejak lama. Lewat penjualan jamu tersebut, Samsul dan GSN juga menunjukkan sikap kemandirian tanpa menggantungkan diri pada pihak lain sehingga program bisa terus berjalan.
Semangat hari ini dan masa depan Indonesia
Lebih lanjut Samsul menuturkan bahwa Green Star Nusantara bukan sekadar sebuah lembaga. Ia lebih suka menganggap GSN adalah sebuah sistem untuk menghijaukan dunia kembali sebagai perlindungan bagi manusia dari ancaman pemanasan global.Â
Dalam konteks Bojonegoro tempat ia bermukim, ia berharap langkah yang ia gagas dan lakukan bersama GSN akan sanggup memulihkan kualitas oksigen dan mengembalikan sumber-sumber mata air bersih yang semakin lama semakin langka padahal sangat vital keberadaannya.
Atas kiprah positif dan jiwa kemandirian yang ditunjukkan Samsul Arifin bersama GSN, ia pun diapresiasi oleh PT Astra International melalui penghargaan Satu Indonesia Awards (SIA). Kerja keras dan perjuangannya mengantarkannya menjadi salah satu penerima SIA Tingkat Provinsi dalam SATU Indonesia Awards 2021 untuk kategori individu bidang lingkungan.
Semangatnya dalam pembibitan trembesi guna memperbaiki sumber mata air dan memulihkan oksigen dunia adalah teladan bagi kita untuk melakukan hal serupa sesuai kemampuan di tempat kita berada.Â
Dari Samsul dan GSN, kita belajar tentang andil yang mungkin tampak kecil tapi ternyata berdampak sangat besar bagi lingkungan. Bayangkan betapa dahsyat efeknya jika setiap daerah di seluruh Nusantara mengikuti jejaknya.
Kepedulian dan komitmen ini wajib kita tumbuh kembangkan dan kita rawat sebagai modal vital untuk menjaga keberlangsungan Indonesia. Bumi Pertiwi yang kita cintai tak akan tegak jika lingkungan rusak dan porak-poranda tanpa kita beraksi nyata. Dengan spirit kemandirian kita bisa menatap Indonesia menapaki masa depan lebih cerah melalui kerja bersama-sama tanpa memandang suku, agama, atau wilayah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H