Melihat pro dan kontra kewajiban tugas akhir berupa skripsi, ingatan saya mendadak terlempar ke tahun 2011. Suatu siang saya menerima telepon dari Amerika Serikat.Â
Meskipun saya sudah menunggu panggilan in, tapi saya tetap grogi. Apalagi harus bercakap dalam bahasa Inggris. Sinyal sesekali byar pet, membuat percakapan kurang luwes.
Tak lama berselang, lelaki di ujung sana meminta saya mengirimkan sepucuk tulisan melalui email. Saya menyanggupinya karena ini berhubungan dengan cuan, hehe.
Penerjemah kudu bisa menulis
Lelaki paruh baya tersebut adalah seorang penulis yang bukunya akan saya terjemahkan. Setelah menerima CV saya dari penerbit, ia meminta kesempatan bercakap lewat telepon meskipun singkat.
Sebelum tahap penerjemahan dimulai, ia terlebih dahulu ingin membaca tulisan yang pernah saya gubah dalam bahasa Inggris. Ini sungguh kebiasaan yang tak lumrah.
Sebelumnya saya pernah menerjemahkan buku karya penulis dari Inggris dan New Zealand, keduanya tak sekali pun berkomunikasi--apalagi meminta hasil tulisan saya untuk dibaca.
Semula bapak tua itu tertarik membaca tulisan berjudul "What Is Literature?" yang pernah dimuat di majalah kampus dan saya cantumkan sebagai portofolio.
Karena tulisan itu tak tahu rimbanya, saya pun mengusulkan agar dia membaca tulisan saya yang lain, juga dalam bahasa Inggris, bertajuk "On Happiness: Living With or Without Money".Â
Begitu tuntas saya email, singkat kata penulis tersebut membacanya dan memberikan lampu hijau bahwa saya patut melanjutkan tugas sebagai penerjemah bukunya.
Dugaan saya, dengan membaca tulisan yang saya hasilkan, maka penulis tersebut mengetahui cara saya bernalar atau memahami sesuatu sehingga bisa ditentukan apakah layak atau tidak untuk mengalihkan pesan dalam bukunya ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam kadar tertentu, menerjemahkan buku sebenarnya melibatkan proses 'penafsiran' maksud penulis agar bisa dipahami oleh pembaca bahasa target. Sebab menerjemahkan, secara hakikat, adalah mengawetkan pesan dari bahasa sumber.
Kemampuan menulis membuka peluang
Â
Sepenggal fragmen masa lalu ini ingin saya tekankan sebagai pengalaman tentang pentingnya keterampilan menulis. Berkat menulis, banyak peluang terbuka. Bahkan ketika menjadi penerjemah atau editor, kemampuan menulis harus mumpuni--tentunya ditunjang dengan rakus membaca.
Terserah penulisan skripsi diwajibkan atau dibuat opsional, yang jelas mahasiswa harus mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk berlatih dan menempa diri dalam mengekspresikan ide dalam bentuk tulisan.
Saya yakin profesi apa pun yang mereka kelak tekuni, kemampuan menulis akan menjadi nilai tambah atau bahkan faktor penentu kesuksesan dalam persaingan. Menulis akan menjadi skill set yang sangat vital.
Kebijakan yang tidak mewajibkan penulisan skripsi jangan sampai menjadi pilihan eskapis mahasiswa dalam meneguhkan preferensi yang antimenulis. Sebaliknya, harus jadi tantangan untuk mencari wadah lain agar kemampuan menulis tetap dilatih dan dilestarikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H