DALAM KULTUM atau ceramah singkat selepas tarawih, kita mungkin kerap mendengar penceramah mengatakan, "Sungguh beruntung kita masih menjumpai Ramadan tahun ini. Betapa banyak saudara atau teman kita yang berpulang sebelum Ramadan datang. Jadi jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan langka ini."Â
Pernyataan ambivalens
Kalimat ini dapat dibaca dengan dua penfasiran. Pertama, kita dipertemukan lagi dengan Ramadan sebagai keberuntungan luar biasa yang menyiratkan bahwa kita di-"istimewa"-kan oleh Allah SWT. Ini jika bandingkan dengan saudara atau teman yang lebih dulu meninggal dunia sebelum sempat menikmati berbagai fasilitas Ramadan: panen pahala, dapat pengampunan dosa, memperoleh tiket surga, dan doa-doa diijabah.
Penafsiran ini, dalam kadar tertentu, berpotensi menciptakan perasaan eksklusif tentang diri kita--atau setidaknya mengenai diri saya sendiri. Ketika mendengar penuturan peceramah tersebut, saya mendadak merasa istimewa lantaran dapat privilese hidup lebih lama hingga Ramadan tuntas.
Dalam diri seketika muncul superioritas sebab ketemu Ramadan lagi padahal tak ada garansi untuk mengisinya dengan cergas dan hati puas. Kepuasan yang saya rasakan sebatas sensasi unggul karena seolah dipilih Tuhan untuk melalui Ramadan sekali lagi tanpa ikhtiar untuk melecut diri agar lebih optimal memanfaatkannya untuk beribadah.
Butuh beberapa Ramadan untuk menyadari bahwa kalimat itu sebenarnya ambivalens, mengandung lapisan makna yang berbeda--tergantung dari mana memandangnya. Â
Makna Ramadan sesungguhnya
Setelah merenung, saya sampai pada kesimpulan bahwa kalimat populer penceramah di awal Ramadan itu mestinya jadi motor penggerak kesadaran. Harusnya jadi energi yang mendorong kita untuk berubah dengan optimisme mutlak. Bagaimana logikanya?
Alih-alih merasa diistimewakan lantaran ketemu Ramadan lagi, saya perlu memandangnya dari kacamata berbeda. Bahwa saya sampai pada Ramadan tahun ini dibandingkan mereka yang dipanggil ke hadirat Ilahi adalah karena saya masih bergelimang dosa sehingga butuh pembersihan.
Dengan kata lain, mereka yang berpulang duluan sebelum Ramadan barangkali telah dibersihkan dari segala dosa sehingga tak perlu melalui Ramadan lagi. Ketemu Ramadan lagi adalah peluang untuk memahami kebodohan, merontokkan kesalahan, dan membilas dosa-khilaf melalui Ramadan.
Dalam hal ini, Ramadan menjadi katarsis yang menyucikan diri saya dari segala anasir negatif--termasuk perasaan ujub sebab telah dipanjangkan usia hingga Ramadan sekarang dibanding mereka yang tak sempat menjelang.
Saya pikir inilah makna Ramadan yang sesungguhnya: bulan penyadaran bahwa saya selama ini terlalu GR atas tahun demi tahun yang penuh kenikmatan tapi berlalu tanpa kesyukuran. Ramadan demi Ramadan berlalu begitu saja tanpa aktivitas berarti yang semestinya membawa pembaruan ruhani.
Hanya dengan pemahaman seperti itu, saya kira Ramadan baru berhasil saya reguk spiritnya, bisa saya panen keberkahannya dan saya manfaatkan sebagai momentum untuk sadar diri, bukan pongah apalagi tinggi hati.Â
Ramadan adalah bulan untuk melongok pada nurani, mengorek cela dan bopeng yang selama ini saya sembunyikan. Cacat dan aib itu bukan berarti harus saya siarkan atau publikasi, tapi setidaknya saya akui sebagai titik tolak untuk mengukur apakah saya layak disebut hamba beriman yang mampu menerjemahkan spirit Ramadan dalam berbagai level kehidupan. Ataukah sebaliknya?
Pemahaman tentang makna Ramadan yang tepat akan mempermudah penyusunan agenda-agenda penting di dalamnya, mulai baca Quran dengan tedas, sedekah yang tangkas, hingga manajemen hati yang ikhlas.
Jadi, masihkah kita merasa GR sebab menangi Ramadan tahun ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H