Mohon tunggu...
Isnaini Khomarudin
Isnaini Khomarudin Mohon Tunggu... Full Time Blogger - penggemar kopi | pemburu buku bekas

peminat bahasa daerah | penggemar kopi | pemburu buku bekas

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Jangan GR Berjumpa Ramadan Lagi: Berani Memaknai dengan Hati

1 April 2023   22:20 Diperbarui: 1 April 2023   22:26 928
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DALAM KULTUM atau ceramah singkat selepas tarawih, kita mungkin kerap mendengar penceramah mengatakan, "Sungguh beruntung kita masih menjumpai Ramadan tahun ini. Betapa banyak saudara atau teman kita yang berpulang sebelum Ramadan datang. Jadi jangan sampai menyia-nyiakan kesempatan langka ini." 

Pernyataan ambivalens

Kalimat ini dapat dibaca dengan dua penfasiran. Pertama, kita dipertemukan lagi dengan Ramadan sebagai keberuntungan luar biasa yang menyiratkan bahwa kita di-"istimewa"-kan oleh Allah SWT. Ini jika bandingkan dengan saudara atau teman yang lebih dulu meninggal dunia sebelum sempat menikmati berbagai fasilitas Ramadan: panen pahala, dapat pengampunan dosa, memperoleh tiket surga, dan doa-doa diijabah.

Penafsiran ini, dalam kadar tertentu, berpotensi menciptakan perasaan eksklusif tentang diri kita--atau setidaknya mengenai diri saya sendiri. Ketika mendengar penuturan peceramah tersebut, saya mendadak merasa istimewa lantaran dapat privilese hidup lebih lama hingga Ramadan tuntas.

Dalam diri seketika muncul superioritas sebab ketemu Ramadan lagi padahal tak ada garansi untuk mengisinya dengan cergas dan hati puas. Kepuasan yang saya rasakan sebatas sensasi unggul karena seolah dipilih Tuhan untuk melalui Ramadan sekali lagi tanpa ikhtiar untuk melecut diri agar lebih optimal memanfaatkannya untuk beribadah.

Butuh beberapa Ramadan untuk menyadari bahwa kalimat itu sebenarnya ambivalens, mengandung lapisan makna yang berbeda--tergantung dari mana memandangnya.  

Makna Ramadan sesungguhnya

Setelah merenung, saya sampai pada kesimpulan bahwa kalimat populer penceramah di awal Ramadan itu mestinya jadi motor penggerak kesadaran. Harusnya jadi energi yang mendorong kita untuk berubah dengan optimisme mutlak. Bagaimana logikanya?

Alih-alih merasa diistimewakan lantaran ketemu Ramadan lagi, saya perlu memandangnya dari kacamata berbeda. Bahwa saya sampai pada Ramadan tahun ini dibandingkan mereka yang dipanggil ke hadirat Ilahi adalah karena saya masih bergelimang dosa sehingga butuh pembersihan.

Dengan kata lain, mereka yang berpulang duluan sebelum Ramadan barangkali telah dibersihkan dari segala dosa sehingga tak perlu melalui Ramadan lagi. Ketemu Ramadan lagi adalah peluang untuk memahami kebodohan, merontokkan kesalahan, dan membilas dosa-khilaf melalui Ramadan.

Dalam hal ini, Ramadan menjadi katarsis yang menyucikan diri saya dari segala anasir negatif--termasuk perasaan ujub sebab telah dipanjangkan usia hingga Ramadan sekarang dibanding mereka yang tak sempat menjelang.

Pesona Ramadan lewat menara masjid, bukan sekadar simbol. (Foto: dok. pri)
Pesona Ramadan lewat menara masjid, bukan sekadar simbol. (Foto: dok. pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun