Saat-saat padat beribadat // Tak terhingga nilai mahalnya, oh sungguh ini kalimat bernas yang menyimpulkan bahwa kerinduan punya esensi---bahwa melewatkan kesempatan sedetik pun tanpa berbuat kebaikan adalah kebodohan yang memalukan. Ketiadaan jaminan bahwa kesempatan berjumpa Ramadan akan kembali datang bukan lagi sebuah perasaan takut, melainkan diktum yang mengafirmasi keterbatasan saya, kita, sebagai manusia. Terima kasih, Bimbo! Memang ketika Ramadan pergi, hanya keharuan yang mengisi diri.
Monitor diri
Saya bisa saja menyanyikan lagu itu diam-diam, secara lirih atau bergumam. Atau mengumandangkan kencang-kencang agar orang lain ikut membisikkan liriknya yang dalam.Â
Namun satu hal yang jelas: tak ada jaminan orang menangkap maksud lewat lagu yang saya suarakan. Saya bukan Acil dengan suara bariton yang empuk dan merdu---sangat tepat untuk menuturkan teguran secara bersahabat. Pun bukan Sam yang suaranya melengking tinggi dan mencapai nada-nada memukau, sangat pas untuk menyampaikan ledakan pesan.
Saya hanyalah seorang manusia yang selalu gembira ketika Ramadan tiba walau selalu takut bahwa setiap habis Ramadan tak ada ampunan yang saya raih, tak ada soliditas ibadah yang saya capai. Maka saya harus merapatkan kening ke bumi, merendahkan ego dan emosi, untuk menemukan keberanian bahwa saya selalu butuh cermin untuk menaksir kebanggaan atau menafsir kealpaan yang selama ini saya kira sebagai kesuksesan.
"Setiap habis Ramadhan..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H