Mohon tunggu...
Dian Farida Ismyama
Dian Farida Ismyama Mohon Tunggu... Apoteker - Ibu 3 anak, Pharmacist, Parenting and Lifestyle Blogger

Ibu 2 anak, Pharmacist, Parenting and Lifestyle Blogger di www.ismyama.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Makna Sebuah Perjalanan, Tak Sekedar Menyegarkan Diri

22 November 2017   18:45 Diperbarui: 22 November 2017   18:53 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telaga Merdada, Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah

Pablo Neruda, Spanish poet, Nobel Prize for Literature in 1971:

"You start dying slowly"

You start dying slowly;

if you do not travel,

if you do not read,

If you do not listen to the sounds of life,

If you do not appreciate yourself.

You start dying slowly:

When you kill your self-esteem,

When you do not let others help you.

You start dying slowly;

If you become a slave of your habits,

Walking everyday on the same paths,

If you do not change your routine,

If you do not wear different colours,

Or you do not speak to those you don't know,

You start dying slowly;

If you avoid to feel passion

And their turbulent emotions;

Those which make your eyes glisten

And your heart beat fast.

You start dying slowly;

If you do not risk what is safe for the uncertain,

If you do not go after a dream,

If you do not allow yourself,

At least once in your lifetime,

To run away,

You start dying Slowly...!

Sepenggal puisi karya Pablo Neruda dikirim oleh seorang teman di salah satu grup penulis yang saya ikuti. Saya baca kata demi kata, larik demi larik, dan puisi tersebut berhasil membuat saya tersenyum. Bagaimana bisa puisi ini saya baca tatkala sedang mengikuti famtrip ke Banjarnegara, 141 km dari Jogja. Selama 72 jam  di Banjarnegara, terhitung lebih dari 30 orang baru yang saya temui. Dari 30 orang tersebut, lebih dari setengahnya pernah berbicara dengan saya. Dan kira-kira 5-7 teman baru tadi, benar-benar saya dalami siapa mereka dengan mengobrol lebih intensif dibanding lainnya. Apa yang saya lakukan? Saya mencari kelebihan dari orang tersebut, lalu mengambil apa yang baik dan ilmu yang ia punyai.

Sebagai contoh, ketika saya berkenalan dengan Kak Ojo, seorang guru TK di Jogja, saya menemukan kecintaannya pada dunia pendidikan, khususnya anak. Saya bahkan membaca buku "Teach Like Finland" karya Timothy D. Walker, milik Kak Ojo. Isinya bagus, kayaknya hari ini saya mau nyari bukunya di Togamas ah. Kak ojo juga seorang pendongeng. Ia mengatakan bahwa travelingtak hanya menyegarkan dirinya, tapi juga membantunya mendapat ide-ide baru dalam menulis cerita dongeng. Kata-katanya persis dengan buku yang baru saya baca, bahwa jeda sejenak dari rutinitas, akan memunculkan ide segar, bahkan mengembalikan konsentrasi kerja.

Ada lagi Yugo dan Imawan, yang ahli fotografi. Dari mereka saya bertanya cara menggunakan mirrorless, cara mengedit, hingga memilih dan mencari angle terbaik untuk sebuah foto. Itu baru dari dua orang lho. Jadi benar kata Pablo, bicaralah dengan orang baru supaya pengetahuanmu bertambah. Atau setidaknya supaya pandanganmu mengenai kehidupan itu meluas.

Sungguh, seperti puisi "You start dying slowly", tiga hari di Banjarnegara membuat saya merasa lebih hidup. Enggak hanya traveling dan merasakan kebesaran Allah terhadap ciptaan-Nya yang indah, tapi saya sempat membaca buku beberapa halaman (Makasih buat Kak Ojo yang sudah membawa buku sebagai teman perjalanan). Dimana buku itu membuat saya manggut-manggut karena enggak hanya dapat diterapkan oleh guru, tapi juga oleh pekerja atau ibu rumah tangga. Saya juga mendengar suara kehidupan, dari para pengrajin keramik Klampok, dari pembuat manisan carica, pembatik Gumelem, hingga suara merdu dari pemusik Gumbeng, Banjarnegara. Beberapa kearifan lokal dan budaya yang dilestarikan oleh masyarakat Banjarnegara, menggugah batin saya hingga dapat terdengar bagaimana kehidupan orang-orang yang saya kagumi tersebut, mereka berkarya untuk negeri kita, khususnya dari segi budaya dan pariwisata.

Pernah enggak, ketemu sama orang yang merendahkan orang lain? Baik dari pekerjaannya, atau dari materi yang dimilikinya? Saya sendiri pernah diejek karena jualan. Atau disindir karena jalan-jalan terus (padahal itu kerja ciinn). Sampai sekarang masih inget dong kalimat yang dilontarkan oleh mereka. Sebal dan kesal tentunya, tapi sekarang saya lebih legowo. Mungkin mereka belum tahu bahwa berdagang itu halal dan jauh lebih baik daripada meminta-minta. Mungkin mereka belum tahu bahwa kini pariwisata menjadi penyumbang perekonomian terbesar di Indonesia, mengalahkan minyak dan gas. Makanya saya sarankan untuk mengenal orang lain lebih dekat, orang yang kehidupannya jauh berbeda denganmu.

Kalau kamu pernah melihat bagaimana sebuah keramik diciptakan, maka kamu tak hanya akan mengagumi keindahan keramik saja, tapi juga takjub pada prosesnya. Keramik harus mengalami proses pembakaran dengan panas 900-1100 derajat celcius selama 15 jam. Pembuatan keramik enggak hanya melibatkan satu dua orang, tapi banyak orang. Ada yang memilih tanahnya, ada yang bertugas membuat keramik, baik dengan teknik pilin, teknik putar ataupun teknik cetak. 

Ada yang membakar, mengukir dan mewarnai. Dari kisah itu saja saya belajar dua hal. Untuk menjadi sesuatu yang indah dan bernilai tinggi, proses yang dilalui tidak mudah. Harus tahan dengan pembakaran, harus tahan dengan penjemuran, dan sebagainya. Artinya, lihatlah proses, hargailah proses, maka hasil akan mengikuti. Pelajaran yang kedua adalah dibalik kesuksesan seseorang, atau dibalik kualitas sebuah produk, enggak hanya seseorang tersebut saja, atau pemilik produk saja yang perlu diapresiasi. Keberadaan para pengrajin keramik adalah nadi dari terus lestarinya keramik Klampok. 

Maka pekerjaan sebagai pengrajin pun jangan dipandang dengan sebelah mata. Kalau tidak ada mereka, mana bisa kamu memiliki keramik yang kecantikannya layak di unggah di instagram sebagai latar food fotografimu. Kalau tidak ada petani kopi, mana bisa kamu merasakan nikmatnya kopi yang menemanimu begadang saat harus menyelesaikan tenggat pekerjaan. Dengan memahami hal di atas, tidak akan muncul sikap merendahkan orang lain.

Mengubah rutinitas, mengubah kebiasaan, bahkan memakai sesuatu yang berbeda dari biasanya itu awalnya tidak mudah. Kenapa? Mungkin sebagian besar dari kita lebih memilih di zona nyaman. Mengendarai motor atau mobil di rute yang sama setiap hari. Memakai baju kerja yang paling kita sukai. Makan masakan yang kita gemari. Semua memberi kesempurnaan dengan hasil yang memuaskan. Tapi tahukah teman-teman, bahwa semua kenyamanan tersebut dapat melenakan and you start dying slowly.

Sesekali, ambillah rute yang berbeda saat berangkat atau pulang kerja, dan kamu akan menemukan pengalaman yang beda, yang mungkin saja akan mengubah cara pandangmu terhadap suatu hal. Sesekali, cicipilah makanan yang belum pernah kamu makan. Entah pada akhirnya rasanya tidak sesuai seleramu, atau melebihi ekspektasimu, setidaknya kamu belajar hal baru.

Beranjak dari zona nyaman itu memang mengerikan. Risiko yang muncul di depan mata, menampakkan ketidakpastian. Dan rata-rata dari kita tidak menyukai ketidakpastian. Masalahnya, hanya itu satu-satunya cara, agar diri kita berkembang. Mengejar impian, melarikan diri sesekali dari rutinitas yang membosankan. 

Karena seharusnya sebuah pekerjaan itu tidak membosankan. Karena semestinya pergi ke sekolah untuk menuntut ilmu itu tidak membosankan. Karena sejatinya, mengurus anak dan keluarga itu tidak membosankan. Bila iya, mungkin kamu perlu mengubah sesuatu, atau perlu memberi ruang untuk keseimbangan hidup.

Percaya atau tidak, semua yang terjadi di Banjarnegara menjadikan saya lebih bersyukur dan mengapresiasi diri saya sendiri, karena telah konsisten menulis dan belajar untuk menulis dengan lebih baik. Buah dari yang saya tanam pun dapat saya rasakan (Makasih ya Kak Indah Juli atas kesempatannya). 

Rasakanlah dan kejarlah minat atau passion. Maka kamu akan menemukan makna kehidupan, hakikat kehidupan, yaitu bahwa keseimbangan itu diperlukan, karena kita hanya mampir "ngombe" di dunia. Jangan sampai mengejar dunia, untuk menjadi yang terbaik, hingga lupa akhirat. Hingga lupa kebesaran Tuhan, hanya karena kita merasa sudah besar, hanya karena kita merasa sempurna. Padahal, yang sempurna hanyalah Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun