Masih hangat di ingatan kita, berita mengenai Karin Novilda, remaja yang membuat heboh jagat dunia maya khususnya instagram. Saya awalnya nggak tahu siapa itu Karin, dan apa yang dia lakukan hingga menjadi viral dan terkenal? Lalu ketika membaca beberapa status teman di facebook, otomatis kepo dong. Ternyata oh ternyata, perilaku Karin dianggap tabu oleh banyak orang, apalagi karena dipertontonkan di dunia maya.
Teman saya yang masih berusia muda, memperlihatkan instagram Karin kepada saya, berikut foto-foto dan video yang memang tidak sejalan dengan budaya ketimuran. Saya sendiri sebagai seorang ibu dari dua putri, jelas mengelus dada dan menarik nafas panjang sebagai wujud keprihatinan saya. Tapi bagi saya, Karin bisa jadi menggambarkan sosok rata-rata mental remaja Indonesia saat ini.
Mental sendiri mengandung pengertian cara berfikir dan berperasaan berdasar nurani yang tercermin dalam perilaku atau attitude seseorang. Jadi bila tingkah laku remaja kita sungguh membuat miris, maka pikiran dan perasaan mereka juga bisa jadi mengalami krisis. Pola hidup konsumtif, gegayaan, hedonisme, ingin diakui sebagai yang paling keren, adalah beberapa contoh tingkah laku yang hadir dari pola pikir yang kurang tepat.
Ada yang tahu arti semboyan Hippocrates “Men Sana In Corpore Sano”? Suatu pola hidup tertentu akan mempengaruhi kesehatan otak dan tubuh. Dengan kata lain, pola hidup ketika kecil ternyata mempengaruhi kualitas pikiran termasuk mental remaja.
Pertanyaannya, tanggung jawab siapakah bagus tidaknya mental remaja kita? Pertanyaan yang lebih jauh lagi, mau dibawa kemana kualitas mental remaja Indonesia?
Tanggung jawab kualitas mental remaja.
Dua pertanyaan yang jawabannya sudah kita ketahui. Tentu kesehatan mental remaja merupakan tanggung jawab kita bersama, khususnya orangtua. Tak hanya orangtua, tapi juga para guru sebagai pendidik, lingkungan rumah dan komunitas, bahkan tanggung jawab pemilik media cetak dan media elektronik. Bukan rahasia umum bahwa tontonan televisi sedikit banyak menjadi cikal bakal runtuhnya budaya ketimuran kita. Oleh karena itu, memang kita sebagai orangtua harus tegas soal tontonan ini. Jadilah orangtua yang tidak hanya bisa melarang, tetapi jadilah sahabat yang menjadi teman bicara sehingga anak-anak kita tidak merasa diceramahi.
Cara membangun mental remaja yang baik.
Mulai dari keluarga.
Memang tidak mudah untuk membentuk mental remaja kita, karena butuh niat dan konsistensi. Sejak kecil, sebaiknya orangtua menanamkan akhlak dan moral sebagai pondasi utama. Tak hanya itu, dalam proses menuju remaja, kita perlu mengembangkan kepercayaan dirinya dalam menghadapi tuntutan zaman, sehingga tidak tergerus arus modernisasi. Anak-anak perlu diberi contoh bagaimana cara beradaptasi, menghargai perbedaan pendapat, dan toleransi, serta selalu berpikir positif.
Tak hanya memastikan anak-anak terpenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papannya saja, tapi fungsi keluarga lebih dari itu. Anak-anak perlu merasa aman dan nyaman dari berbagai gangguan dan permasalahan di luar, bukan sebaliknya. Salah satu caranya adalah dengan mendekatkan diri pada anak-anak. Beri mereka perhatian, agar mereka mau bercerita apa saja pada kita. Sejak kecil, temani mereka bermain sembari menanamkan nilai-nilai keluarga, yang ingin Anda tanamkan.
Didukung oleh sekolah dan tenaga pendidik.
Anak-anak tak hanya meniru dari orangtua dan keluarga dekatnya saja, tetapi juga dari lingkungan di sekitarnya, termasuk di sekolahnya. Oleh karena itu, tugas para pendidik juga cukup besar. Zaman saya SMP dulu, saya merasakan bahwa berbagai ekstrakurikuler-lah yang sedikit banyak membangun kepercayaan diri dan sikap sosial saya. Dari ekskul teater, saya belajar bagaimana berinteraksi dengan banyak orang dengan beragam karakter (bahkan kami mendalami karakter yang berbeda dari sifat asli kami). Dari ekskul PMR, saya belajar untuk berempati dan menolong siapa saja tanpa memandang suku, ras dan agama.
Saya beruntung memiliki teman-teman yang baik perilakunya, kalau sebaliknya? Itulah fungsi pondasi dari keluarga. Saya beruntung memiliki orangtua yang tanpa banyak berkata-kata sudah mencontohkan dalam aktivitas sehari-harinya untuk senantiasa berbuat baik, nggak neko-neko dan menjaga nama keluarga.