Pandemi covid-19 menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan yang paling terlihat adalah diberlakukannya pembatasan sosial di berbagai daerah. Toko, mall, sekolah, kantor, tempat ibadah, dan berbagai lokasi lain yang berpotensi menjadi tempat kerumunan dibatasi jam operasionalnya, bahkan ditutup. Di awal-awal masa pandemi, kita semua pernah mencicipi betapa mencekamnya kesunyian di sela-sela riuhnya berita tentang jumlah korban yang terus bertambah. Berdiam diri di dalam rumah, sambil terus waspada mengikuti perkembangan berita tak dipungkiri memunculkan ketegangan psikologis tersendiri di dalam diri kita masing-masing.
Ketika kembali beraktivitas ke luar rumah, kita pun harus menyesuaikan diri dengan berbagai protokol kesehatan untuk menghindari resiko penularan. Memakai masker, kerap mencuci tangan, dan jaga jarak didengungkan di setiap sudut lokasi. Disadari ataupun tidak, berusaha tertib membiasakan diri melakukan berbagai protokol kesehatan ini pun ternyata memunculkan ketegangan psikologis yang bervariasi pada masing-masing individu.
Entah kita berdiam diri di rumah, ataupun tetap beraktivitas di luar rumah dengan protokol yang ketat, kita semua tampaknya mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini. We are all in the same storm. Namun demikian, manifestasi ketegangan ini tentu berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang kemudian dapat mengelola ketegangan ini menjadi bentuk kewaspadaan yang sehat. Namun ada pula yang kewalahan hingga ketegangan ini muncul dalam bentuk berbagai masalah ataupun gangguan psikologis. Mungkin kita berpikir bahwa hanya orang dewasa yang merasakan ketegangan psikologis di masa pandemi. Karena menganggap dunia anak adalah dunia yang penuh kegembiraan, bisa jadi kita lalu berasumsi bahwa anak-anak tidak mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini. Tapi benarkah demikian?
Tim Satgas IPK Indonesia untuk Penanggulangan COVID-19 melakukan pendataan terkait layanan yang diberikan oleh psikolog klinis selama masa pandemi. Sebanyak 194 Psikolog Klinis yang tersebar di 27 wilayah melaporkan jumlah klien yang telah mengakses layanan dan memperoleh penanganan psikologis sesuai diagnosis.
Dari data yang berhasil dikumpulkan sepanjang bulan Maret hingga Agustus 2020, diketahui total jumlah klien individu yang mengakses layanan psikologis sebesar 14.619 orang. Dari jumlah total ini, sebanyak 4.690 orang termasuk dalam kategori usia anak/remaja, sebanyak 9.428 orang termasuk dalam kategori usia dewasa, dan sebanyak 501 orang termasuk dalam kategori usia lansia. Selain itu terdapat juga 927 klien keluarga dan 191 klien komunitas yang mengakses layanan psikologis. Data ini menunjukkan bahwa masalah psikologis ternyata tidak hanya dialami kelompok usia tertentu saja. Bukan hanya orang dewasa yang mengalami masalah psikologis. Anak-anak yang mungkin kita anggap tidak paham dengan berbagai masalah keseharian, ternyata juga mengalami masalah psikologis di masa pandemi ini. Meskipun data menunjukkan bahwa sebagian besar klien yang mengakses layanan psikologis adalah orang dewasa, namun berdasarkan periode layanan, jumlah klien anak/ remaja ternyata mengalami kenaikan di setiap periodenya. Lagi-lagi tidak dapat dipungkiri, anak-anak pun mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini.
Lebih lanjut, data yang dikumpulkan Tim Satgas IPK untuk penanganan covid juga mengkategorisasikan 6 masalah dengan jumlah klien terbanyak. Kategorisasi ini disusun berdasarkan hasil diagnosis oleh psikolog klinis, dan bukan hanya sekedar keluhan dari klien. Secara umum, hambatan terkait dengan pembelajaran merupakan hal yang paling banyak ditemukan, khususnya pada klien anak dan remaja (prevalensi 27,1%). Sedangkan masalah psikologis yang secara konsisten banyak ditemukan pada semua kelompok usia adalah masalah stres umum, masalah kecemasan, masalah mood, dan masalah somatis.
Dari data ini kita dapat menyimpulkan bahwa adaptasi dalam hal pembelajaran merupakan hal yang cukup menantang di masa pandemi ini. Anak-anak yang biasanya rutin berangkat sekolah di pagi hari dan melakukan berbagai aktivitas pembelajaran di sekolah, terpaksa harus membangun rutinitas yang baru di masa pandemi ini. Perubahan rutinitas ini bukan hanya sekedar dalam hal jam belajar, melainkan juga dalam bentuk penyesuaian metode belajar. Melihat tingginya prevalensi hambatan belajar yang dialami di masa pandemi, mungkin kita semua kemudian berasumsi seharusnya sekolah segera kembali dibuka demi kesehatan mental anak-anak kita. Hal ini tampak akan menjadi solusi bagi banyak masalah kaena tidak jarang saya menemukan guru dan orangtua pun cukup frustasi ketika harus mendampingi anak belajar di rumah. Bahkan sampai ada celetukan yang mengatakan, “anak sekolah daring, ortu dan guru darting (darah tinggi)”.
Tapi benarkah kesehatan mental anak-anak akan lebih baik ketika kembali bersekolah tatap muka di masa pandemi ini? Hasil penelitian lain yang dilakukan Tim Satgas IPK Indonesia untuk Penanggulangan COVID-19 ternyata menunjukkan fakta yang berbeda dengan dugaan kita.
Pada bulan november 2020, Tim satgas IPK melakukan pengambilan data melalui pengisian kuisioner online via Google Form. Sebanyak 15.304 siswa yang berasal dari 384 sekolah di 12 provinsi tercatat menjadi partisipan dalam penelitian ini. Range usia partisipan adalah 7 tahun hingga 21 tahun dengan proporsi sebanyak 40,2 % partisipan berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 59,8% partisipan berjenis kelamin perempuan. Salah satu tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran kondisi kesehatan mental siswa di masa pandemi.
Hasil penelitian ini menyimpulkan satu dari empat siswa (25%) ditemukan mengalami masalah kesehatan mental. Proporsi ini relatif serupa pada siswa dengan berbagai cara belajar dari semua jenjang dan provinsi yang berpartisipasi. Mencermati data yang ditampilkan dalam grafik Gambaran Kondisi Kesehatan Mental Antar Jenjang Pendidikan, kita dapat melihat bahwa di berbagai jenjang pendidikan dan di tiap metode/cara pembelajaran, ternyata anak pun tetap mengalami masalah kesehatan mental. Di grafik yang memuat data anak usia SD bahkan terlihat bahwa anak-anak yang mengikuti pembelajaran dengan cara tatap muka langsung di masa pandemi justru menunjukkan presentase terbesar mengalami masalah kesehatan mental.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa faktor psikologis memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan faktor sosial terhadap kemunculan masalah kesehatan mental. Faktor psikologis yang dimaksud antara lain tingkat kegelisahan dan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat kegelisahan, semakin berisiko siswa mengalami kemunculan masalah kesehatan mental. Selain itu, semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis, semakin berisiko siswa mengalami kemunculan masalah kesehatan mental.
Hasil penelitian ini dapat dianalisa dengan menggunakan salah satu teori perkembangan, yaitu teori sistem Bioekologi. Teori yang dikemukakan oleh Urie Brofenbrenner ini menjelaskan bahwa tumbuh kembang anak merupakan hasil interaksi antara anak dengan lingkungan. Situasi interaksi yang terjadi di lingkungan anak, secara langsung atau tidak, akan berdampak pada tumbuh kembang dan kondisi psikologis anak. Kalau diterapkan pada hasil penelitian ini, tingginya intensitas dan prevalensi masalah psikologis yang dialami oleh orag dewasa (dalam hal ini, orangtua dan guru) dapat berpotensi menyebabkan tingginya risiko kemunculan masalah kesehatan mental pada anak. Hal ini dikarenakan orangtua dan guru adalah lingkungan terdekat yang berinteraksi langsung dengan anak.
Orangtua dan guru, sebagai lingkungan yang langsung berinteraksi dengan anak dapat ‘menularkan’ kegelisahan yang dirasakan pada anak. Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Edward Tronick, Phd berjudul Still-face experiment, menemukan bahwa anak-anak usia 2 atau 3 bulan saja sudah dapat merasakan dampak dari perubahan emosi orangtuanya. Meskipun belum dapat berkomunikasi secara verbal, anak-anak dapat mengenali emosi orangtua melalui tatapan mata, ekspresi wajah, intonasi suara, gesture, postur, tindakan orang lain. Artinya, meskipun orangtua maupun guru tidak mengungkapkan kegelisahannya secara verbal, anak tetap dapat merasakan kegelisahan itu.
Kita bayangkan, anak yang mengikuti pembelajaran tatap muka di masa pandemi ini justru akan lebih banyak berhadapan dengan kegelisahan, baik itu yang dirasakan dirinya sendiri, yang dirasakan guru dan orangtua. Menjalankan protokol kesehatan di sekolah, tentunya berpotensi menimbulkan ketegangan psikologis bagi guru dan seluruh warga sekolah. Bagi anak itu sendiri, tentunya butuh beradaptasi untuk mengingat dan menjalankan protokol kesehatan. Artinya ia pun perlu beradaptasi ketika bermain bersama teman. Mungkin anak tidak lagi dapat memainkan beberapa permainan sebebas sebelum pandemi karena pertimbangan harus menjaga jarak. Mungkin juga waktu istirahat atau bermain di sekolah pun dikurangi untuk mencegah risiko penularan. Akibat perubahan-perubahan ini, sangat mungkin anak kemudian memunculkan perilaku menantang yang tidak jarang akan menguji kesabaran guru. Padahal di sisi lain, guru pun mengalami kegelisahannya sendiri. Selain memimpin kegiatan belajar mengajar, guru juga akan memiliki peran tambahan untuk memonitor sejauh mana protokol kesehatan benar-benar diterapkan di kelas atau ketika anak bermain bersama teman. Tanggung jawab ini bukanlah hal yang mudah kalau mengingat fakta bahwa sebelum pandemi saja kemungkinan anak-anak saling menularkan batuk pilek itu sangat besar. Selain itu, tidak dipungkiri, orangtua pun berpotensi untuk merasakan kekuatiran akan penularan di sekolah. Sebelum pandemi, tentunya orangtua pernah mengalami bagaimana repotnya ketika seorang anak yang influensa dapat menularkan penyakitnya pada seluruh kelas.
Lalu bagaimana kita perlu menyikapi tingginya prevalensi masalah kesehatan mental pada anak di masa pandemi ini?
Salah satu penelitian tentang regulasi emosi menyimpulkan bahwa anak-anak menunjukkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik ketika orangtua menerapkan praktik pengasuhan suportif. Bentuk konkrit pengasuhan ini misalnya ketika orangtua mendampingi anak untuk memperoleh kenyamanan ketika mengalami emosi negatif, mengajak anak mendiskusikan strategi penyelesaian masalah, dan memberi ruang untuk mendiskusikan beragam pengalaman emosional dalam keseharian. Berbagai praktik pengasuhan suportif ini akan dapat diterapkan ketika orangtua pertama-tama berupaya untuk melatih keterampilannya dalam meregulasi emosinya sendiri.
Untuk dapat melatih regulasi emosi sebagai orangtua/ guru, kita perlu mengubah cara pandang kita. Kita perlu menerima bahwa meningkatnya emosi negatif ataupun resiko masalah kesehatan mental yang dialami anak-anak di masa pandemi ini menunjukkan bahwa anak-anak terpengaruh pada kondisi psikologis sekitarnya. Anak-anak terpengaruh dengan kegelisahan dan masalah emosi yang kita alami sebagai orang dewasa. Adalah hal yang wajar bahwa di masa pandemi yang adalah masa-masa abnormal ini kita mengalami peningkatan intensitas emosi negatif. It’s a normal reaction to abnormal situation.
Meningkatnya emosi negatif yang dialami anak-anak bukan menunjukkan bahwa anak-anak sekarang ini adalah anak yang nakal. Bukan pula menunjukkan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang memiliki karakter lemah. Kita perlu melihat bahwa ketika anak menangis atau menunjukkan emosi negatif itu adalah hal yang natural. Itu bukan karena dia nakal. Begitu juga angka ini tidak menunjukkan bahwa orangtua saat ini adalah orangtua yang gagal mengasuh ataupun para guru gagal mendidik.
Sebagai orangtua dan guru, kita perlu melepaskan ekspektasi bahwa anak harus selalu bahagia. Dalam kenyataannya, terutama di masa pandemi ini, anak tidak selalu harus merasa bahagia. Melainkan, anak butuh merasakan emosi negatif dan belajar meregulasinya. Dan anak-anak akan mempelajari hal ini terutama dari kita para orang tua, guru dan orang dewasa di sekitar anak. Jadi mari kita gunakan masa pandemi ini sebagai waktu untuk belajar bersama.
Referensi:
Satgas Penanggulangan COVID-19 IPK Indonesia. (2020). Media Kit: Kiprah Psikolog Klinis untuk Indonesia di Masa Pandemi.
Satgas Penanggulangan COVID-19 IPK Indonesia. (2020). Diseminasi Hasil Penelitian Satgas Covid-19 IPK: Kondisi Kesehatan Mental Siswa pada Masa Pandemi COVID 19.
Sarah Cabecinha‐Alati, Hagit Malikin, Tina C. Montreuil. (2020). Emotion Regulation and Personality as Predictors of Mothers' Emotion Socialization Practices. Family Relations_Interdisciplinary Journal of Applied Family Science. Vol 69, issue 5. https://doi.org/10.1111/fare.12501
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Bioecological_model
Still-Face Experiment: Dr. Edward Tronick, Phd. Video diunduh dari https://www.youtube.com/watch?v=apzXGEbZht
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H