Mohon tunggu...
ismu chandra Kurniawati
ismu chandra Kurniawati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sehari-hari berpraktik sebagai Psikolog Associate di Unit Konsultasi Psikologi, UGM dan Biro Psikologi Intuisi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bagaimana Kondisi Psikologis Anak-anak di Masa Pandemi?

16 Maret 2021   21:28 Diperbarui: 16 Maret 2021   21:47 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Media Kit_Kiprah Psikolog Klinis untuk Indonesia di Masa Pandemi.

Sumber: Diseminasi Hasil Penelitian Satgas Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia
Sumber: Diseminasi Hasil Penelitian Satgas Covid-19 Ikatan Psikolog Klinis Indonesia

Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga menemukan bahwa faktor psikologis memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan faktor sosial terhadap kemunculan masalah kesehatan mental. Faktor psikologis yang dimaksud antara lain tingkat kegelisahan dan kesejahteraan psikologis. Semakin tinggi tingkat kegelisahan, semakin berisiko siswa mengalami kemunculan masalah kesehatan mental. Selain itu, semakin rendah tingkat kesejahteraan psikologis, semakin berisiko siswa mengalami kemunculan masalah kesehatan mental.

Hasil penelitian ini dapat dianalisa dengan menggunakan salah satu teori perkembangan, yaitu teori sistem Bioekologi. Teori yang dikemukakan oleh Urie Brofenbrenner ini menjelaskan bahwa tumbuh kembang anak merupakan hasil interaksi antara anak dengan lingkungan. Situasi interaksi yang terjadi di lingkungan anak, secara langsung atau tidak, akan berdampak pada tumbuh kembang dan kondisi psikologis anak.  Kalau diterapkan pada hasil penelitian ini, tingginya intensitas dan prevalensi masalah psikologis yang dialami oleh orag dewasa (dalam hal ini, orangtua dan guru) dapat berpotensi menyebabkan tingginya risiko kemunculan masalah kesehatan mental pada anak. Hal ini dikarenakan orangtua dan guru adalah lingkungan terdekat yang berinteraksi langsung dengan anak.

Orangtua dan guru, sebagai lingkungan yang langsung berinteraksi dengan anak dapat ‘menularkan’ kegelisahan yang dirasakan pada anak. Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Edward Tronick, Phd berjudul Still-face experiment, menemukan bahwa anak-anak usia 2 atau 3 bulan saja sudah dapat merasakan dampak dari perubahan emosi orangtuanya. Meskipun belum dapat berkomunikasi secara verbal, anak-anak dapat mengenali emosi orangtua melalui tatapan mata, ekspresi wajah, intonasi suara, gesture, postur, tindakan orang lain. Artinya, meskipun orangtua maupun guru tidak mengungkapkan kegelisahannya secara verbal, anak tetap dapat merasakan kegelisahan itu.

Kita bayangkan, anak yang mengikuti pembelajaran tatap muka di masa pandemi ini justru akan lebih banyak berhadapan dengan kegelisahan, baik itu yang dirasakan dirinya sendiri, yang dirasakan guru dan orangtua. Menjalankan protokol kesehatan di sekolah, tentunya berpotensi menimbulkan ketegangan psikologis bagi guru dan seluruh warga sekolah. Bagi anak itu sendiri, tentunya butuh beradaptasi untuk mengingat dan menjalankan protokol kesehatan. Artinya ia pun perlu beradaptasi ketika bermain bersama teman. Mungkin anak tidak lagi dapat memainkan beberapa permainan sebebas sebelum pandemi karena pertimbangan harus menjaga jarak. Mungkin juga waktu istirahat atau bermain di sekolah pun dikurangi untuk mencegah risiko penularan. Akibat perubahan-perubahan ini, sangat mungkin anak kemudian memunculkan perilaku menantang yang tidak jarang akan menguji kesabaran guru. Padahal di sisi lain, guru pun mengalami kegelisahannya sendiri. Selain memimpin kegiatan belajar mengajar, guru juga akan memiliki peran tambahan untuk memonitor sejauh mana protokol kesehatan benar-benar diterapkan di kelas atau ketika anak bermain bersama teman. Tanggung jawab ini bukanlah hal yang mudah kalau mengingat fakta bahwa sebelum pandemi saja kemungkinan anak-anak saling menularkan batuk pilek itu sangat besar. Selain itu, tidak dipungkiri, orangtua pun berpotensi untuk merasakan kekuatiran akan penularan di sekolah. Sebelum pandemi, tentunya orangtua pernah mengalami bagaimana repotnya ketika seorang anak yang influensa dapat menularkan penyakitnya pada seluruh kelas.

Lalu bagaimana kita perlu menyikapi tingginya prevalensi masalah kesehatan mental pada anak di masa pandemi ini?

Salah satu penelitian tentang regulasi emosi menyimpulkan bahwa anak-anak menunjukkan kemampuan regulasi emosi yang lebih baik ketika orangtua menerapkan praktik pengasuhan suportif. Bentuk konkrit pengasuhan ini misalnya ketika orangtua mendampingi anak untuk memperoleh kenyamanan ketika mengalami emosi negatif, mengajak anak mendiskusikan strategi penyelesaian masalah, dan memberi ruang untuk mendiskusikan beragam pengalaman emosional dalam keseharian. Berbagai praktik pengasuhan suportif ini akan dapat diterapkan ketika orangtua pertama-tama berupaya untuk melatih keterampilannya dalam meregulasi emosinya sendiri.

Untuk dapat melatih regulasi emosi sebagai orangtua/ guru, kita perlu mengubah cara pandang kita. Kita perlu menerima bahwa meningkatnya emosi negatif ataupun resiko masalah kesehatan mental yang dialami anak-anak di masa pandemi ini menunjukkan bahwa anak-anak terpengaruh pada kondisi psikologis sekitarnya. Anak-anak terpengaruh dengan kegelisahan dan masalah emosi yang kita alami sebagai orang dewasa. Adalah hal yang wajar bahwa di masa pandemi yang adalah masa-masa abnormal ini kita mengalami peningkatan intensitas emosi negatif. It’s a normal reaction to abnormal situation. 

Meningkatnya emosi negatif yang dialami anak-anak bukan menunjukkan bahwa anak-anak sekarang ini adalah anak yang nakal. Bukan pula menunjukkan bahwa anak-anak ini adalah anak-anak yang memiliki karakter lemah. Kita perlu melihat bahwa ketika anak menangis atau menunjukkan emosi negatif itu adalah hal yang natural. Itu bukan karena dia nakal. Begitu juga angka ini tidak menunjukkan bahwa orangtua saat ini adalah orangtua yang gagal mengasuh ataupun para guru gagal mendidik.

Sebagai orangtua dan guru, kita perlu melepaskan ekspektasi bahwa anak harus selalu bahagia. Dalam kenyataannya, terutama di masa pandemi ini, anak tidak selalu harus merasa bahagia. Melainkan, anak butuh merasakan emosi negatif dan belajar meregulasinya. Dan anak-anak akan mempelajari hal ini terutama dari kita para orang tua, guru dan orang dewasa di sekitar anak. Jadi mari kita gunakan masa pandemi ini sebagai waktu untuk belajar bersama.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun