Mohon tunggu...
ismu chandra Kurniawati
ismu chandra Kurniawati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Sehari-hari berpraktik sebagai Psikolog Associate di Unit Konsultasi Psikologi, UGM dan Biro Psikologi Intuisi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Memaknai Ulang Definisi Kesehatan Mental

19 Januari 2021   09:00 Diperbarui: 20 Januari 2021   10:12 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada tahun 1999, David Satcher dikenal sebagai “The first Surgeon General” yang mengangkat isu kesehatan dan penyakit mental dalam laporan nasional. Melalui statement-nya yang terkenal “There is no health without mental health”, beliau menekankan pentingnya penanganan terhadap penyakit mental mendapat perhatian yang sama seperti penyakit fisik (Bayer, 2013). Pendapat ini senada dengan definisi kesehatan yang disampaikan oleh WHO (The World Health Organization) yaitu: 

Health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or infirmity”. Lebih spesifik, WHO mendeskripsikan kesehatan mental sebagai “a state of well-being in which the individual realizes his or her own abilities, can cope with the normal stresses of life, can work productively and fruitfully, and is able to make a contributionto his or her community" (WHO, 2004).

Upaya kampanye kesehatan mental dengan menyebutkan definisi sehat ini, tentunya dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan. Penggunaan kata “complete” dalam definisi sehat yang disampaikan WHO dimaksudkan untuk mengajak kita tidak hanya melihat kesehatan dari ketiadaan penyakit fisik, melainkan lebih luas juga memperhatikan kesehatan mental. 

Tidak sakit saja belum tentu cukup untuk dapat mengatakan seseorang sehat. Lebih lanjut, dalam definisi WHO, sehat mental dicirikan dengan kondisi sejahtera (“state of well-being”) yang memungkinkan seseorang memiliki perasaan positif, produktif, dan mampu berkontribusi bagi komunitas/lingkungan.

Namun demikian, dalam pengalaman saya sebagai Psikolog, saya bertemu dengan individu- individu yang justru merasa terdiskriminasi atau terbebani karena kata “complete” dalam definisi WHO tersebut seolah tidak memungkinkan dirinya mencapai status sehat. Salah satu contoh, beberapa bulan yang lalu saya mendengar pertanyaan berikut dilontarkan dalam sebuah diskusi tentang kesehatan mental,

Bagaimana dengan saudara-saudara kita yang difable, apakah mungkin mereka dapat memenuhi syarat sehat yang disebutkan WHO? Bukankah kondisi fisik mereka yang tidak komplit saja sudah sangat membatasi mereka untuk dikatakan sehat? Apakah itu artinya semua orang difable adalah orang yang sakit?”.

Di sisi lain, saya juga mengamati tren usia klien yang mengakses layanan psikologi saat ini kebanyakan berada dalam rentang usia produktif. Kebanyakan klien ini memiliki latar belakang pendidikan yang cukup tinggi dan tidak jarang banyak yang sudah aktif berkontribusi bagi lingkungannya. Namun justru keinginan mereka untuk terus menerus produktif dan memberi kontribusi inilah yang kemudian menyebabkan munculnya berbagai permasalahan emosi. 

Misalnya ada yang kemudian tidak mengijinkan dirinya beristirahat karena selalu merasa terkejar oleh agenda untuk menunjukkan produktifitas dan kontribusi pada masyarakat. Di sisi lain, mereka juga jadi sibuk mendistraksi/menghibur diri karena tidak mengijinkan dirinya mengalami variasi pengalaman emosi yang tidak nyaman sehingga terbiasa memendam atau mengabaikan emosinya. 

Di kemudian hari, emosi yang tertumpuk ini justru menjadi bom waktu yang meledak dalam bentuk perilaku yang membahayakan diri maupun orang sekitarnya. Bahkan tidak jarang, emosi yang terpendam ini pun muncul dalam bentuk keluhan penyakit fisik.

Kritik terhadap definisi kesehatan mental WHO

Senada dengan pengalaman yang saya temui di lapangan, beberapa artikel ternyata juga mengkritisi definisi kesehatan mental yang diajukan oleh WHO. Salah satu kritik ditujukan pada penggunaan kata “complete”dalam definisi sehat. 

Syarat kesehatan sebagai “state of complete physical, mental and social well-being” ini justru mengklasifikasikan kebanyakan dari kita semua menjadi tidak sehat sepanjang waktu sehingga meningkatkan resiko ketergantungan pada obat atau intervensi medis. Definisi ini seolah mengecilkan kapasitas manusia untuk beradaptasi ketika menghadapi perubahan ataupun tantangan (Huber dkk, 2011).

Kritik lainnya adalah definisi kesehatan mental WHO dapat menimbulkan kerancuan karena hanya menggunakan perasaan positif dan keberfungsian sebagai faktor kunci yang menentukan kesehatan mental seseorang. Definisi WHO mensyaratkan kualitas emosi yang positif dan keberfungsian yang sempurna untuk menilai kondisi sehat mental. 

Padahal, dalam kehidupan nyata tentu ada peristiwa-peristiwa menantang yang sangat mungkin menyebabkan seseorang mengalami emosi negatif ataupun tidak berfungsi sempurna ketika berkontribusi bagi lingkungan. Bahkan tiap tahap perkembangan manusia pun menunjukkan adanya tantangan yang sangat mungkin akan mengusik kesejahteraan seseorang. Definisi dari WHO seolah mengabaikan kenyataan bahwa pengalaman tidak nyaman dan berbagai tantangan adalah hal yang manusiawi (Galderisi, 2015).

Meskipun WHO sudah mendefinisikan kesehatan tidak hanya sebagai kondisi ketiadaan penyakit, ternyata dibutuhkan definisi yang tidak hanya berpatokan pada norma ideal. Definisi kesehatan mental perlu didefinisikan menggunakan pendekatan inklusif, bebas budaya, serta memberi ruang bagi beragam kondisi emosi yang wajar dalam pengalaman keseharian manusia dan keberfungsian yang tidak harus sempurna (Huber dkk, 2011; Valiant, 2012; Galderisi, 2015).

Lebih lanjut, Galderisi (2015) mengusulkan definisi kesehatan mental sebagai berikut:

Mental health is a dynamic state of internal equilibrium which enables individuals to use their abilities in harmony with universal values of society. Basic cognitive and social skills; ability to recognize, express and modulate one’s own emotions, as well as empathize with others; flexibility and ability to cope with adverse life events and function in social roles; and harmonious relationship between body and mind represent important components of mental health which contribute, to varying degrees, to the state of internal equilibrium.

Definisi ini menggunakan istilah “dynamic state of internal equilibrium” sebagai konsep yang mengakui fakta bahwa tiap tahap perkembangan manusia membutuhkan adanya perubahan untuk mencapai titik keseimbangan yang baru. Misalnya ketika menghadapi krisis masa remaja, adaptasi perkawinan, menjadi orangtua atau memasuki masa pensiun, seseorang perlu aktif beradaptasi agar dapat mencapai keseimbangan mental yang baru. 

Artinya dalam tiap tahap perkembangan, adalah hal yang wajar jika seorang individu mengalami pengalaman emosional yang tidak menyenangkan (misalnya takut, marah, sedih, dan duka) dan di saat yang bersamaan sebenarnya ia terus mengupayakan ketahanan diri untuk memulihkan keseimbangan internalnya.

Dalam definisi ini juga disebutkan beberapa komponen psikologis sebagai acuan penilaian kesehatan mental. Semua komponen psikologis ini adalah aspek yang dianggap penting namun bukan aspek yang wajib ada sebagai syarat penilaian kesehatan mental. 

Dalam kenyataannya, tiap aspek dapat memberikan kontribusi dengan tingkatan yang berbeda-beda terhadap pencapaian titik keseimbangan, sehingga perkembangan optimal dari suatu aspek dapat mengimbangi aspek lain yang kurang berkembang optimal. 

Misalnya tingkat empati tinggi dan kesukaan seseorang untuk berbagi, mungkin adalah kompensasi dari aspek kognitifnya yang kurang, dan dengan kombinasi ini individu tetap dapat menemukan keseimbangan yang memuaskan dalam mengejar tujuan hidupnya (Galderisi, 2015).

Kesimpulan:

Tampaknya kita perlu mengubah mindset ketika mendengar kata “sehat” dan “sakit”. Kita seringkali mengungkapkan sakit itu adalah ketiadaan kondisi sehat. Keduanya kita posisikan dalam sisi yang berseberangan satu sama lain. Sehat itu positif, sakit itu negatif. Sehat itu sempurna, sakit itu penuh kelemahan. Sehat itu produktif, sakit itu tidak berdaya. Dengan mindset ini, tentu saja akan sulit membayangkan kesehatan mental disematkan bagi teman-teman difable ataupun ketika dalam kondisi kehidupan yang menantang seperti dalam bencana atau pandemi.

Kita perlu melihat sakit bukan sebagai lawan kata sehat, tapi sakit adalah upaya kita untuk menjadi sehat. Yang sering kita sebut sebagai sakit sebenarnya adalah kondisi ketika sinyal-sinyal tubuh memberitahukan ada sesuatu yang kurang beres dan sistem metabolisme kita sedang berupaya untuk kembali ke titik sehat/seimbang

Misalnya ketika kita makan sesuatu yang basi atau mengandung bakteri, kita akan merasakan sakit di perut kemudian diare. Kondisi diare ini adalah upaya dari perut atau sistem pencernaan kita untuk kembali menjadi sehat dengan mengeluarkan bakteri-bakteri yang ada dalam perut kita. 

Dari contoh ini kita melihat bahwa sakit adalah hal alami yang justru membantu kita menjadi sehat. Dengan mindset ini kita pun dapat melihat bahwa perasaan sedih, tidak nyaman, marah, ataupun perasaan tidak senang lainnya juga adalah pengalaman yang akan membuat kita merasakan keutuhan sebagai manusia yang sehat. 

Referensi:

Galderisi S, Heinz A, Kastrup M, Beezhold J, Sartorius N.(2015). Toward a new definition of mental health. World Psychiatry 14: 231– 233.

Huber M, Knottnerus JA, Green L, et al. How should we define health? BMJ 2011;343:d1463–6. doi: http://dx.doi.org/10.1136/bmj. d4163

Bayer R, Ph.D. (2013).  COLUMN: There is no health without mental health,  diunduh dari https://www.cecildaily.com/opinion/columns/column-there-is-no-health-without-mental-health/article_afd7e99c-c40d-11e2-89e9-0019bb2963f4.html

Vaillant GE. (2012). Positive mental health: is there a cross‐cultural definition? World Psychiatry 2012; 11: 93‐ 9.

World Health Organization.(2004).Promoting mental health: concepts, emerging evidence, practice (Summary Report). Geneva: World Health Organization.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun