Mohon tunggu...
Ismi Mia
Ismi Mia Mohon Tunggu... Mahasiswa

prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Book Review Hukum Orang dan Keluarga

7 Maret 2023   04:54 Diperbarui: 7 Maret 2023   04:59 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan Hukum Islam dalam lembaga pengangkatan anak. Penamaan anak angkat tidak menjadikan seorang menjadi mempunyai hubungan yang terdapat dalam darah. Penamaan dan penyebutan anak angkat tidak diakui dalam Hukum Islam untuk dijadikan sebagai dasar dan sebab mewaris, karena prinsip dasar sebab mewaris dan prinsip pokok dalam kewarisan adalah hubungan darah atau urhaam.

Yang dalam subbab ini dibahas pula status hukum anak luar kawin, dijelaskan bahwa menurut Hukum Islam anak luar kawin tidak dapat diakui maupun dipisahkan oleh bapaknya. Ank-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Tetapi si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkan anak, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu itu ada hubungan hukum dan sama seperti halnya dengan anak ah yang mempunyai bapak. Adapun status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan di dalam undng-undang No. 1 Tahun 1974, yang dinyatakan di dalam pasal 43 ayat (1) yang berbunyi: anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya atau keluarga ibunya.

sahnnya kedudukan hukum seorang anak, dijelaskan bahwa menurut Hukum Islam anak yang sah dilahirkan sekurang-kurangnya enam bulan (177 hari) semenjak pernikahan orang tuanya, tidak peduli apakah orang itu lahir sewaktu orang tuanya masih terikat dalam perkawinan ataukah sudah berpisah karna wafatnya si suami, atau karna perceraian di masa hidupnya, dalam hal masa iddah bagi si istri adalah selama masih mengandung anaknya di tambah 40 hari sesudah lahirnya, jika anak itu lahir sebelum genab jangka waktu 177 hari itu maka anak itu hanya sah bagi ibunya dan si suami dapat memungkiri bahwa ia adalah anak yang sah.

Pembuktian kedudukan hukum anak bahwa anak dalam suatu keluarga passti menjadi satu idaman sebagai penerus generasi, akan tetapi bagaimana kedudukan anak dalam kaitannya dengan keluarga itu, karena anak mempunyai ibu. Hal itu secara yuridis maupun biologis untuk membuktikannya tidaklah begitu sulit. dan subbab berikutnya dibahas pula kekuasaan orang tua serta perwalian kedudukan anak, seorang anak yang sah berada sampai pada waktu ia mencapai usia dewasa atau kawin, di bawah kwkuasaan orang tua(ander-lijkemacht), selama kedua orang tua itu terikat dalam hubungan perkawinan.

Dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974, perwalian diatur dalam pasal 50 ayat (1): anak yang belom mencapai 18 tahun atau belom pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan wali; ayat (2): perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya.

Kedudukan Anak Luar Kawin yang Diakui di dalam Perwalian Dalam kedudukan hukum, anak luar kawin yang diakui selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada, bilamana ada perkawinan , maka dengan sendirinya anak luar kawin yang diakui berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah mengakuinya. Dapat dikecualikan untuk menjadi wali atau kehilangan untuk menjadi wali, Pasal 353 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan, seorang anak tak sah bernaung demi hukum di bawah perwalian bapaknya atau ibunya yang telah dewasa dan yang masing-masing telah mengakuinya, kecuali si bapak atau ibunya yang telah dikecualikan dari perwalian atau telah kehilangan hak mereka menjadi wali atau perwalian itu sudah ditugaskan kepada orang lain selama bapak atau ibu belum dewasa, atau wali mendapat tugas itu sebelum anak diakui.

Dalam Bab 4 hanya membahas perceraian dengan berbagai malahnya. Dijelaskan bahwa perceraian merupakan salah satu sebab bubarnya suatu perkawinan, yang di dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974 di samping asas monogami, perceraian mendapat tempat tersendiri, karena kenyataannya, didalam masyarakat, perkwinan sering kali terjadi berakhir dengan perceraian yang begitu mudah.

Alasan-alasan untuk bercerai secara tegas telah diatur dalam pasal 39 undang-undang No. 1 Tahun 1974, ayat (1): perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ayat (2): untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-istri lagi.

Di dalam ketentuan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, antara lain diatur dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41 dan dalam PP No. 9 Tahun 1975 dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 36, perceraian diatur dengan cara cerai gugat dan cerai talak. 

Perceraian dapat terjadi atas dasar cara-cara tersebut, yang pelaksanaannya diatur dalam perkawinan menurut agama Islam akan menceraikan istrinya , mengajukan surat kepada pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan istrinya disertai dengan alasan-alasan itu. serta meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan Pasal ini adalah dimaksud cara cerai talak untuk mereka yang beragama Islam. Sedangkan cara selanjutnya diatur di dalam Pasal 14 tersebut di atas sampai dengan Pasal 18 PP No. 9 Tahun 1975, yang di dalam ketentuan pelaksanaannya harus mengajukan pemberitahuan secara tertulis, yang isinya ia memberitahukan bahwa akan menceraikan istrinya. Dan untuk itu meminta kepada pengadilan agar mengadakan sidang menyaksikan perceraian tersebut. Maka selanjutnya ketua pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya perceraian.

Cerai gugat terjadi disebabkan oleh adanya suatu gugatan oleh salah satu pihak dahulu kepada pengadilan dan dengan putusan pengadilan. Sebenarnya istilah cerai gugat ini tidak ada, akan tetapi di dalam PP No. 9 Tahun 1975 hanya disebutkan, gugatan perceraian diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat. Selanjutnya cara gugatan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun