d. Berhubunngan susuan yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi atau paman susuan.
e. Berhubungan saudara dengan istri atau seorang bibi atau kepnakan dari istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang.
f. Yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.
Dalam Surah An-Nissa' ayat 23, dapat ditarik kesimpulan, bahwa larangan kawin itu adalah diharamkan bagi kamu mengawini: Ibu kamu, Anak perempuan kamu, Saudara perempuan kamu, Saudara perempuan ibu kamu, Saudara perempuan bapak kamu, Anak perempuan saudara laki-laki kamu, Anak perempuan saudara perempuan kamu, ibu susu kamu, saudara perempuan sesusuan kamu.
Pencegahan maupun pembatalan di dalam undang-undang perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 14 ayat (1): yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Ayat (2): Mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini berhak juga mencegah berlangsunngnya  perkawinan, apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampunan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagii calon mempelai yang lainnya. Untuk mencegah perkawinan, harus diajukan kepada pengadilan didaerah hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan, hal ini diatur dalam pasal 17 ayat (1) undang-undang perkawinan.
Mengenai perjanjian perkawinan, dari berbagai asas hukum juga mengaturnya, khususnya di dalam undang-undang perkawinan, perjanjian perkawinan diatur dalam pasalk 29 yang mengatur antara lain :
Ayat (1): pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Ayat (2): perjanjian tersebut tidak dapat dipisahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan.
Ayat (3): perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
Ayat (4): selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat diubah. Kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Bab 3 membahas anak, dalam bab ini juga dibahas berbagai aspek hukum dari anak, seperti kedudukan anak angkat bahwa dalam buku ini menjelaskan bahwa, tentang kedudukan hukum anak angkat di dalam hukum adat, ada beberapa
Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai status dan kedudukan hukumnya di dalam hal mewaris dari kedua orang tua yang mengangkatnya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 182 K/Sip/1959 tanggal 15 Juli 1959 menyebutkan: Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 27 K/Sip/1959 tanggal 18 Maret 1959 menyebutkan: Menurut hukum yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua angkatnya, jadi terhadapa barang pusaka (barang asal) anak angkat tidak berhak mewarisinya.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 516 K/Sip/1968 tanggal 4 Januari 1969, menurut Hukum Adat yang berlaku di Sumatera Timur, anak angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. La hanya dapat memperoleh atau hadiah (hibah) dan orang tua anngkat selagi hidup.
Dari contoh yurisprudensi ini, kedudukan anak angkat dari berbagai daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat masyarakat adat setempat memberikan status hukum kepada anak yang diangkat.