Galau, resah, gelisah bercampur menjadi satu. Bagaimana tidak. Hidup di tanah rantau bukanlah perkara mudah. Apalagi jika jauh dari sanak saudara. Apakah cukup mending kalau bisa pulang sekedar melepas rindu? Lalu bagaimana dengan mereka yang tak bisa pulang?Â
Pernahkah kalian merasakannya? Ya hal tersebut hanya bisa dirasakan oleh mereka-mereka yang bahkan hanya bisa pulang dalam hitungan jari dalam satu tahun atau bahkan tidak dapat pulang sama sekali atau malah tak ingin pulang.
Persis seperti yang aku alami. Guys, percayalah aku benar-benar tidak tahan dengan semua ini tetapi jika aku menyerah sekarang semua target yang sudah aku buat berakhir cuma-cuma dan rasanya aku tidak menepati janji pada diriku sendiri.
Seberat apapun sesakit apapun aku mencoba bertahan semampuku. Akan tetapi sekali lagi godaan untuk berhenti selalu datang menyelinap seolah ia memang sering memantau untuk mendapatkan waktu yang tepat, kapan harus menghantuiku.
Apa pekerjaanku sulit? Berat? Menguras tenaga? Pikiran? Pekerjaan apa yang mudah? Pekerjaan apa yang terasa menyenangkan? Tidak ada. Semua pekerjaan memiliki resikonya masing-masing sebagai bagian dari tanggungjawab dan hak yang akan kita dapatkan setiap harinya.
Bahkan berjalanpun terasa melayang. Setiap hari berangkat bekerja rasanya tidak karuan. Dan mengeluh memang bukan solusi bukan? Hari yang paling dinanti tentu hari libur.
Aku Gadis tepat berusia sembilan belas tahun tanggal lima november. Anak pertama dari tiga bersaudara. Adik laki-lakiku berusia lima tahun. Dan yang terakhir adalah anak yang tidak terencanakan sebelumnya.
Ibu hamil lagi, Gadis!
Apa aku benci? Aku rasa tidak perlu menjawab.
Membanting ponsel terbaru keluaran Korea dalam genggaman. Aku merebahkan tubuh. Â Memandang sayu langit-langit kamar kos. Entah mengapa warnanya mendadak gelap. Aku tahu itu hanyalah bayangan dari pikiranku yang semakin kacau.
Ibu!
Wanita yang membesarkanku dengan penuh kasih? Mungkin. Mengingat betapa banyak kenangan yang telah kami lalui sepanjang usiaku, justru semakin mengaburkan ingatanku tentangnya.
Bunyi notifikasi aplikasi chat mengembalikan kesadaranku. Aku yakin sempat tidur sejenak tadi. Otomatis kepalaku terasa pusing. Tiga belas chat dua puluh panggilan.
Apa?
Aku tidak bisa percaya. Bagaimana bisa seseorang menjadikanku seperti sapi yang dicocok hidungnya. Menuruti semua perintahnya bahkan di hari libur semacam ini benar-benar neraka. Jika aku memiliki uang  yang memenuhi perut bumi, aku pastikan dia membayar semua kesakitanku karena ulahnya. Mungkin hanya dalam dunia imajinasiku jika kalian melihat realitanya.
Berdiri tegak. Tingginya luar biasa semampai. Sepatunya benar-benar lebih bersinar dibanding gigi yang sering disikat. Dia wujud kesempurnaan yang mungkin akan kau gilai.Â
Lihat bajunya yang tanpa noda. Jangan berharap mampu menyentuhya kecuali jika kau ingin namamu menghilang dari dunia ini. Hal yang paling ia benci adalah seseorang yang menyentuh pakaian yang melekat di tubuhnya yang cukup indah. Dia boleh berpikir semacam itu tapi jangan pernah jika di depanku.
Cuci motorku!
Kata terakhir sebelum dia pergi meninggalkan tempat kumuh. Ya dia selalu menyebut bahwa tempat tinggalku adalah tempat terkumuh yang pernah dia datangi. Bibirnya itu aku benar-benar ingin menendangnya hingga semakin merah. Sayang sekali sisi jahat selalu kalah mempengaruhiku.
Harus selesai malam ini!
Gila. Kata yang paling tepat untuknya. Percuma jam mahal bertengger bagus dipergelangan tangan jika ia tak sekalipun tahu waktu. Jam sembilan malam dan aku harus mencuci motor butut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H