Mohon tunggu...
Ismi Faizah
Ismi Faizah Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis adalah proses menyembuhkan hati sedang membaca adalah proses membuka mata pikiran dan rasa

Read a lot write a lot

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Janji yang Retak

16 Oktober 2021   06:07 Diperbarui: 16 Oktober 2021   06:34 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ibu berkata bahwa orang-orang jaman dahulu percaya jika seorang istri bermimpi pakaiannya robek, maka sang suami telah bermain serong. Bagiku yang menganggap mimpi hanyalah bunga tidur, tak pernah menanggapi serius ucapan ibu. Mitos, itulah yang kupercaya. 

Tahun berlalu, hari berganti. Ibu sudah tak lagi disisi dan kenyataan pahit harus aku telan mentah-mentah. Hingga sekarang perih tetap terasa mengiris bagian terdalam hatiku. Peristiwa itu akan terus berputar bak kaset yang tak akan pernah hancur."

Tujuh tahun yang lalu...

"Mas...!" Meraih telapak tangan kekar milik sang suami yang tak pernah absen memberinya nafkah penuh sayang, lalu mengecup punggung tangan yang sedikit menghitam itu karena sering kali bekerja di lapangan, sebelum akhirnya mengelus lembut rahang sang suami. 

'Ujian apa ini Tuhan' batinnya menjerit pilu. Air mata telah mengering sebab habis sudah ia kuras semalaman, juga ketika fajar menyapa hingga senja kehilangan jingganya beberapa waktu belakangan. Tepat saat mimpi buruk menjelma nyata. 

"Mas...tidak bisakah menatapku? Sekali saja!" Perintahnya lembut. Ah wanita ini, begitu halus penuh kasih. Tulus tanpa menuntut balas. Bagi wanita dengan senyum berhias gigi gingsul itu suami adalah pintunya menuju surga. Jika begini, surga mana yang akan ia rengkuh? 

Pria yang tubuhnya menguarkan aroma citrus menyegarkan itu terdiam menunduk. Sesekali memalingkan wajah, nafasnya sesak bukan karena sakit namun menahan beban yang ia pikul. Tak sanggup menatap luka yang menghiasi bola mata cantik milik sang istri. 

Bidadari dunia yang ia pinang tujuh tahun yang lalu. Disaat keputusan penuh kesadaran dia ambil dengan mantap. Namun waktu begitu kejam merubah hatinya ataukah ia sendiri yang tak kuasa menahan diri lebur dalam nikmat duniawi. 

"Mas ingat bagaimana pertemuan pertama kita? Hari itu tetap teringat dengan jelas. Setiap kali aku merasa mas berubah, tak lagi menaruh perhatian padaku, sejujurnya aku berniat menyudahi saja hubungan kita tapi kemudian aku mengingat semua hal yang pernah kita lalui. Susah senang tangis canda bahagia duka silih berganti. Mas tetap disisiku," wanita itu berdiri membelakangi sang suami yang duduk gelisah di sofa hijau tua. 

"Terlepas karena Mas memang masih mencintaiku atau sekedar rasa tanggungjawab saja, yang aku sadari adalah perasaanku tak pernah berubah sejak mas berniat membawaku ke pelaminan hingga sekarang". Mutiara bening itu lolos sempurna jatuh membasahi foto dalam genggaman tangan sang wanita. 

Sang suami menunduk lebih dalam. Tangannya mengepal hingga buku-buku jari nya terlihat. Dia tidak mungkin lupa. Bibirnya mengatup tanpa mengeluarkan satu kata pun. Sesal tak bisa dikembalikan.

Sang istri berbalik. Berjalan pelan duduk merebahkan kepala bersurai hitam itu di atas paha sang suami sembari memandangi potret kemesraan mereka dalam bingkai. 

"Apakah senyum ini palsu? Apakah kiranya aku telah salah menilai bahwa pria yang aku kenal dalam hitungan bulan telah mencintaiku? Atau ia tak pernah bahagia sejak awal? Bicaralah mas," kedua kalinya jemari lembut sang istri mengelus sayang rahang sang suami. Setelah apa yang suaminya perbuat bagaimana bisa ia tetap berlaku begitu sabar. 

Bibir merah kecoklatan karena sering menghisap rokok itu tetap tak terbuka. Sibuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Merasa bersalah tentu saja. Namun untuk mengucap maaf entah mengapa bibirnya kelu. Sebut ia si brengsek yang beruntung.

Mendapatkan wanita setulus sang istri bukanlah perkara gampang. Seseorang yang tak peduli akan masa lalunya yang kelam, menemani bahkan disaat titik terendah, merawat ketika tubuhnya ringkih karena sakit berbulan-bulan, membersamai juga mendukung dalam setiap usaha yang ia jalankan. Lalu kini dengan mudahnya tahta dihatinya direnggut. Kalah oleh nafsu. 

"Mas...lihat aku!" Kedua tangan lembut menangkup pipi sang suami. Memaksa netra mereka saling menyelami satu sama lain. Perasaan cinta, kasih sayang, pengabdian, menghormati, menghargai terpancar amat indah. Pelangi di mata sang istri yang selalu terlihat kala menyambutnya pulang, senyum yang merekah juga wajah berseri itu telah lenyap tergantikan keputusasaan. 

Istrinya, wanita yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan berlimpah dalam istana sederhana yang mereka bangun bersama mulai dari dasar, justru harus tersingkir. Waktu! Mengapa engkau membawa nelangsa. Bukan waktu yang salah, tapi hasrat manusia yang tak pernah merasa puas dan bersyukur itulah yang menghadirkan petaka. 

Sikap lembut sang istri justru semakin menyiksa batin. Lebih baik ia mendapatkan tamparan, pukulan bertubi-tubi. Jauh lebih baik fisiknya yang sakit daripada hatinya semakin memeluk penyesalan. kayu telah sempurna menjadi abu, hukum alam adalah sebab akibat, kini pria itu telah menuai konsekuensi atas perbuatan yang ia pilih. Kebohongan besar yang ditutupi bertahun-tahun telah terbongkar. 

"Mas...aku ikhlas. Aku sudah menimbang ribuan kali. Aku memutuskan untuk memaafkan mas. Mungkin aku juga ikut andil dalam masalah ini, ada sikap maupun sifatku sekiranya mas tidak berkenan, maafkan aku," air mata sang istri mengalir lebih deras. Suaranya bahkan hampir putus-putus. Istrinya yang malang tak sepatutnya mengucap maaf. Istrinya tak pernah kurang dalam hal apapun, cintanya sempurna pengabdiannya luar biasa. Dia yang tak tahu diri. Menyayat luka dengan sengaja. 

Tangan kekar itu terulur menarik sang istri dalam pelukan. Tangisnya pecah. Tak ada kata maaf yang terucap dari bibir sang suami. Hanya isakan pilu tanda penyesalan  tak terbendung dari seseorang yang mempermainkan pernikahan. Janji yang terucap disaat akad telah ternodai dengan pengkhianatan. 

Bukan perkara mudah memberi maaf seseorang yang telah menghancurkan kepercayaan terlebih dia adalah suami. Sosok yang selalu diharapkan selalu melindungi dan mengayomi. Namun, bagi sang istri yang memimpikan pernikahan sekali seumur hidup, mengakhiri mahligai rumah tangga yang telah mereka bangun bukan pilihan bijak. Perceraian adalah perkara yang dihalalkan namun sangat dibenci Tuhan. 

Pria itu mengecup pucuk kepala sang istri. Turun pada kening lalu mencium kedua mata berhias bulu lentik yang basah oleh air mata. Tak berhenti sampai disitu, berkali-kali ia kecup punggung tangan sang istri. Menangis membuat beban sedikit berkurang. Setidaknya meski tanpa kata, ia menunjukkan betapa dalam rasa sesal telah berbohong pada istri sahnya. 

"Mas...kembalilah padaku! Kita mulai semuanya dari awal," pinta sang istri penuh pengharapan.

Kembali? Satu kata yang membuat bimbang. Di sudut hati masihkah tersisa bahagia kala dekat dengan wanita yang mengurus segala keperluannya selama ini? 

Di ujung sana sosok jelita begitu anggun nan rupawan telah memenuhi seluruh ruang dihati. Merebut? Benarkah begitu? Entahlah.

Menurutnya Aleta tidak merebut dirinya dari siapapun, termasuk sang istri. Hubungan mereka terjalin atas dasar kesadaran penuh. Menghalau segala resiko. 

"Saya sudah beristri, Aleta!" Nada tegas saat menolak ajakan makan bersama gadis berlesung pipit yang bergelayut manja di lengan kekar milik pria yang berstatus suami orang. 

"Baiklah, saya tidak memaksa. Hanya saja..." mendekatkan bibir kearah telinga kanan sang lelaki seraya berbisik lembut kalimatnya berlanjut. 

"Kalau Mas Hanafi butuh tempat curhat, silahkan hubungi saya," Aleta berjalan menjauh. Lekuk tubuhnya menggoda. Tinggi semampai dengan bagian yang terlihat sempurna impian kaum adam. Namun Hanafi tetap bergeming. Seberat apapun masalah di rumah tak akan pernah ia ceritakan pada orang lain terlebih, wanita lain. 

Hingga bisikan-bisikan setan mulai memainkan peran lebih gencar dan dahsyat. 

"Kamu itu dandan gitu loh di rumah. Jangan kucel gitu Ra. Mas jadi ngak semangat lihatnya!" menyeruput secangkir teh hangat, pertama kali dalam hari-hari pernikahan mereka, Hanafi mulai membandingkan penampilan sang istri dengan Aleta yang selalu wangi dan rapi juga bertubuh indah. Sejujurnya sang suami juga heran mengapa kata-kata tersebut meluncur tanpa disaring. 

Ratna bukan tak mau berdandan tapi kesibukan mengurus rumah menyita waktunya untuk tampil segar dihadapan sang suami, belum lagi mengurus Ibu  mertua yang sakit kini tinggal bersama mereka. 

Benar kata pepatah terkadang hilangnya setia berawal dari pandangan. Mengikis rasa syukur akan hadirnya pasangan meluaskan rasa ingin memiliki keindahan lain yang lebih menantang untuk ditaklukkan. Benar kalimat ini jika mata tak melihat maka hati tak berhasrat. Semaksimal mungkin Ratna mencoba yang terbaik demi sang suami, tetap saja bagi Hanafi sang istri selalu kurang. 

Hingga hadirnya Aleta yang ia anggap sebagai pertemanan biasa, lumayan mengusir penat untuk saling bertukar cerita satu sama lain, bercanda dan tertawa seolah hal yang lumrah adalah awal bagi kebahagian juga kehancuran. 

Bahagia karena perlahan Hanafi merasa dirinya kembali seperti remaja yang kasmaran. Sehari tanpa suara Aleta adalah siksaan. Hanafi telah kalah melawan jebakan setan untuk memisahkannya dari sang istri. Jatuh terperangkap dalam jaring kemaksiatan. 

"Ra...!" Suara serak sang suami mengalun. Jantung Rara bersuara lebih riuh. Menanti-nanti jawaban yang menjadi keputusan sang imam dalam rumah tangganya. Semoga Tuhan mengabulkan doa yang selalu ia panjatkan agar mengutuhkan kembali pernikahannya. 

"Aleta mengandung benih Mas!" 

Bagai ditusuk pisau tumpul. Jika bukan karena iman dihati Ratna ingin menjerit sekeras mungkin. Melempar apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya. Suaminya yang begitu ia puja, tak disangka berani berzina. 

"Tapi Mas menikah siri, Ra. Mas tidak berzina!" 

Luar biasa. Ringan sekali sang suami mengucapkannya seolah sesal yang baru saja suaminya tunjukkan itu palsu. Sebagai istri sah bagaimana bisa Hanafi tidak meminta izin terlebih dahulu padanya. Peduli akan perasaannya. Sakit sekali.

Sudah lama mereka menginginkan keturunan yang tak kunjung hadir meramaikan suasana rumah. Namun cara Hanafi menyembunyikan kenyataan pahit lebih membunuh dibanding jika ia jujur sejak awal. Nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terjadi, mengulang waktu tentu mustahil. Ratna tak mengerti mengapa semudah membalikkan telapak tangan perasaan dapat berubah. Kendati hatinya tercabik-cabik, pikirannya mencoba tetap tenang mengucap dzikir dalam hati tanpa putus.

"Kita rawat sama-sama Mas. Aku ikhlas menjadi ibu untuknya. Walau bagaimanapun anak itu darah daging Mas. Aku akan menyayanginya," ucap Ratna berlinangan air mata. Menyakitkan bukan? Membayangkan diri menimang anak hasil hubungan gelap sang suami. 

Hanafi sadar cinta Ratna untuknya memang sangat tulus. Setelah luka yang ia torehkan pun sang istri mencoba tetap bertahan. Dia sudah berlaku tak adil pada Ratna. 

"Mas...mengapa diam? Mas sudah berjanji tak akan pernah ada wanita lain kan, Maukah Mas meninggalkan wanita itu? Kembalilah padaku Mas, aku mohon Mas!" Pintanya sedikit memaksa dengan tangis pilu. Katakan dia memang bodoh. Mengemis pada lelaki yang telah berkhianat. Tapi pernikahan adalah janji dihadapan Tuhan. Ratna tak ingin hubungannya hancur biarkan hatinya saja yang berkeping-keping.
Ia telah berikrar menerima sang suami baik lebih dan kurangnya. 

Hanafi tak sanggup lagi. Berhari-hari ia memantapkan hati untuk memilih jalan yang akan ia lalui. Keputusannya sudah bulat meski banyak yang menentang, Hanafi akan tetap memilih. 

"Maafkan Mas Ra..Mas sudah tidak mencintai Rara."

Rara, panggilan kesayangan dari sang suami untuknya. Dulu dia akan tersipu malu girang dalam hati saat Hanafi memanggilnya Rara. Kini yang tersisa hanya kepedihan. Melepas Hanafi sungguh amat sulit saat cinta untuk sang suami bertumbuh kian subur tahun demi tahun namun yang ia tuai hanya daun kering jatuh berguguran siap untuk terbakar. 

Kekuatan manalagi yang bisa ia gunakan untuk mempertahankan jika sang suami sendiri memutus ikatan suci. Hanafi meninggalkan Ratna yang terduduk lemas tak bersuara. 

****


"Apa kabar Ibu? Semoga Tuhan memberi tempat terindah untuk wanita sebaik Ibu! Terima kasih telah menjadikanku putri Ibu. Boleh aku katakan? Aku tak ingin menikah. Aku takut". 

Gadis dengan balutan hijab hitam menebar bunga di atas pusara. 

"Ratna Adelia Saputri, nama yang cantik. Ibu tetap akan menjadi ibuku apapun yang orang katakan, Ibulah yang terbaik. Terima kasih telah menyayangiku tanpa syarat". 

Meletakkan foto wanita dengan balutan hijab berwarna merah dengan senyum yang menampilkan deretan gigi, manis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun