Hingga hadirnya Aleta yang ia anggap sebagai pertemanan biasa, lumayan mengusir penat untuk saling bertukar cerita satu sama lain, bercanda dan tertawa seolah hal yang lumrah adalah awal bagi kebahagian juga kehancuran.Â
Bahagia karena perlahan Hanafi merasa dirinya kembali seperti remaja yang kasmaran. Sehari tanpa suara Aleta adalah siksaan. Hanafi telah kalah melawan jebakan setan untuk memisahkannya dari sang istri. Jatuh terperangkap dalam jaring kemaksiatan.Â
"Ra...!" Suara serak sang suami mengalun. Jantung Rara bersuara lebih riuh. Menanti-nanti jawaban yang menjadi keputusan sang imam dalam rumah tangganya. Semoga Tuhan mengabulkan doa yang selalu ia panjatkan agar mengutuhkan kembali pernikahannya.Â
"Aleta mengandung benih Mas!"Â
Bagai ditusuk pisau tumpul. Jika bukan karena iman dihati Ratna ingin menjerit sekeras mungkin. Melempar apapun yang bisa dijangkau oleh tangannya. Suaminya yang begitu ia puja, tak disangka berani berzina.Â
"Tapi Mas menikah siri, Ra. Mas tidak berzina!"Â
Luar biasa. Ringan sekali sang suami mengucapkannya seolah sesal yang baru saja suaminya tunjukkan itu palsu. Sebagai istri sah bagaimana bisa Hanafi tidak meminta izin terlebih dahulu padanya. Peduli akan perasaannya. Sakit sekali.
Sudah lama mereka menginginkan keturunan yang tak kunjung hadir meramaikan suasana rumah. Namun cara Hanafi menyembunyikan kenyataan pahit lebih membunuh dibanding jika ia jujur sejak awal. Nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terjadi, mengulang waktu tentu mustahil. Ratna tak mengerti mengapa semudah membalikkan telapak tangan perasaan dapat berubah. Kendati hatinya tercabik-cabik, pikirannya mencoba tetap tenang mengucap dzikir dalam hati tanpa putus.
"Kita rawat sama-sama Mas. Aku ikhlas menjadi ibu untuknya. Walau bagaimanapun anak itu darah daging Mas. Aku akan menyayanginya," ucap Ratna berlinangan air mata. Menyakitkan bukan? Membayangkan diri menimang anak hasil hubungan gelap sang suami.Â
Hanafi sadar cinta Ratna untuknya memang sangat tulus. Setelah luka yang ia torehkan pun sang istri mencoba tetap bertahan. Dia sudah berlaku tak adil pada Ratna.Â
"Mas...mengapa diam? Mas sudah berjanji tak akan pernah ada wanita lain kan, Maukah Mas meninggalkan wanita itu? Kembalilah padaku Mas, aku mohon Mas!" Pintanya sedikit memaksa dengan tangis pilu. Katakan dia memang bodoh. Mengemis pada lelaki yang telah berkhianat. Tapi pernikahan adalah janji dihadapan Tuhan. Ratna tak ingin hubungannya hancur biarkan hatinya saja yang berkeping-keping.
Ia telah berikrar menerima sang suami baik lebih dan kurangnya.Â