Genap 20 tahun sudah aku dan ibu terpisahkan oleh tingginya jeruji besi, aku tinggal di pulau Nusakambangan yang diasuh oleh salah seorang penduduk sejak usiaku masih 2 hari. Bu Fatma dan pak Tolu namanya, sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak sejak 3 kali mengalami keguguran yang menyedihkan.
Suatu malam, aku duduk di pelataran rumah sembari menemani Bapak yang sudah ku anggap seperti ayah kandungku sendiri, beliau menganyam sebuah nampan dari bambu yang di dapatinya di hutan. Suasana malam dengan udara lembab yang menembus kulitku membuatku menyeruput kopi bapak pertama kali. Tak heran karena kami tinggal di sebuah pulau terpisah dengan aura mistis dan hutan yang masih asri. Benar, Nusakambangan namanya. Pulau ini terletak di selatan Jawa tengah, lebih tepatnya berdekatan dengan kabupaten Cilacap. Untuk sampai ke pulau ini pengunjung harus menyebrang menggunakan feri lebih kurang 5 menit dari pelabuhan Sodong. Seperti kata bapak sejak aku masih kecil, pulau ini merupakan pulau khusus untuk para narapidana kelas kakap yang menjalani hukuman penjara seumur hidup atau justru hukuman mati. maka dari itu Nusakambangan memiliki tingkat keamanan yang tinggi dan tidak sembarang orang bisa berkunjung kesini.
"Pak, kopinya diminum dulu, keburu dingin" pintaku pada Bapak yang sedang fokus menganyam nampan
"Iyaa, habiskan saja kalau kamu mau, bapak mau tidur cepat malam ini" jawab bapak.
Namaku Zay, seorang anak perempuan yang dibesarkan di sebuah pulau kematian. hanya Zay terdiri dari tiga huruf yang diberikan oleh ibu kandungku. Bapak tak pernah memanggil namaku, dia selalu memanggilku dengan sebutan "Nak". Katanya tiap kali dia mendengar namaku, bapak teringat kisah 20 tahun yang lalu.
"Nak, sudah mengunjungi ibumu hari ini?" Tanya bapak di sela pekerjaannya
"Sudah pak, seperti biasa ibu hanya mau makan kalau aku yang membawakannya, besok hari terakhirku mengunjungi ibu" jawabku melemah dan menundukkan kepala
Bapak menghentikan pekerjaannya, dia menoleh ke arahku kemudian menyeruput kopi yang sudah tak lagi panas.
"Berkunjunglah lebih awal, akan ada waktu lebih banyak yang bisa kamu habiskan dengannya disana" ucap bapak malam itu
Ibuku terpidana hukuman mati karena sebuah kasus yang tidak kuketahui sampai detik ini, tak ada seorang pun yang menjelaskan sekalipun pihak penjara ataupun teman satu selnya, bahkan orang tua angkatku sekali pun. Â Aku sudah coba mencari tahu dengan begitu keras, bahkan aku menanyakannya setiap hari kepada ibu tiap kali aku mengunjunginya. Ibu tak pernah mau menjawab, yang diucapkannya hanyalah maaf dan memintaku untuk tidak berhenti mendoakannya. 15 tahun terakhir ini aku sudah terbiasa dengan kehidupan rutan dan sapaan para napi dari balik sel yang ku lewati, hampir seluruhnya aku kenal, bagaimana tidak setiap hari aku tak pernah absen untuk berkunjung kemari. Salah satu yang paling ku kenali adalah pak Joli terpidana penjara hukuman mati yang akan di eksekusi 3 hari lagi. Selebihnya ada bg jek dan bakoy dua sahabat yang terjalin selama berada di sel dengan kasus yang sama. Pun mereka terpidana hukuman mati 4 hari lebih lama setelah pak Joli.
Mereka tak lagi takut, lebih tepatnya sudah menerima dan mempersiapkan diri dengan mendekat pada Tuhan, tak ada aktifitas lain mereka hanya menghabiskan waktu untuk ibadah, berdoa, dan melakukan hal hal yang membantu teman lainnya sejak 15 tahun terakhir setelah mereka di vonis hukuman mati. Â Yang mereka lakukan sama seperti yang ibuku lakukan, mempersiapkan diri dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Ibu mengajarkanku banyak hal, setiap hari aku berkunjung selalu ada pelajaran baru yang ku dapatkan dan ku bawa pulang, belajar membaca, menulis, berhitung, dan menyulam, bahkan sampai pada cerita cerita yang menginspirasiku untuk punya mimpi yang tinggi. Tak ada kisah pilu yang menyedihkan yang ibu ceritakan, itulah mengapa aku merasa ibu adalah orang baik, dan aku tak perlu mencari tahu lagi penyebab ibu mendekam di tempat kematian ini. Aku memang diizinkan untuk masuk ke dalam sel ibu, para penjaga sel sudah mengenalku sejak aku masih kecil dibawa berkunjung oleh pak Tolu atau buk Fatma ke sel ibu, bahkan sewaktu kecil aku sering bermain dengan penjaga sel di rutan ini.
"Masih ingat pesan ibukan, Zay?" Tanya ibu di kunjungan terakhirku
"Masih, Bu. Jangan berhenti berdoa dan selalu dekat dengan Tuhan" aku menatapnya lekat sore itu, memegang tangannya erat, menyeka air mata yang keluar di ujung pelipis matanya. Dan dia pun melakukan hal yang sama padaku
"Maaf, ibu tak bisa membesarkan mu dengan baik, dan harus meninggalkanmu dengan waktu yang harus kau ketahui. Tak ada rahasia Zay, tak ada lagi kesedihan yang ibu takuti, ibu merasa lebih berguna setelah masuk ke pulau ini. Semua hal yang ibu ajarkan padamu, terima dan lakukanlah dengan baik. Hanya itu yang bisa ibu berikan" ucapnya dengan air mata yang tak berhenti
"Aku percaya Tuhan Maha Kuasa Bu, seperti yang kau katakan, Hidup dan mati kita hanya Tuhan yang tahu dan punya kehendak. Kau melakukannya dengan sangat baik, menyusuiku, mengajarkanku, dan menasehati ku, tak ada satupun kekurangan yang ku rasakan, bagiku kau tetaplah ibu yang melahirkanku, bukan seorang wanita dengan terpidana hukuman mati." Jawabku menguatkannya.
Sesampainya dirumah, bapak dan buk Fatma sudah menungguku di pelataran rumah, tempat kami biasa bercengkrama. Wajah keduanya tampak sendu, sesekali buk Fatma menoleh ke samping untuk menyeka air matanya agar tak terlihat olehku. Seperti ada hal penting yang ingin disampaikan bapak, dari jauh bapak memanggilku dengan melambaikan tangan kanannya.
"Zay, duduk disini. Ada yang mau bapak dan ibu sampaikan" ucap bapak mengawalinya yang sontak membuatku terkejut, ini pertama kalinya bapak memanggil namaku, ada rasa senang ketika aku mendengarnya, namun kesedihan yang mendalam justru meresap ke dalam relung hatiku.
Aku duduk dan menunduk, mencoba menguatkan diri atas apapun yang akan disampaikan oleh bapak.
"Zay, akan ada banyak hal yang terjadi hari ini, begitupun dengan apa yang akan bapak sampaikan padamu, menjawab pertanyaanmu selama 15 tahun terakhir ini, tentang ibumu ." Ucap bapak sambil menatapku dengan lembut
"Ada apa, pak? Kenapa tiba-tiba bapak ingin menceritakannya?" Tanyaku
"Sejujurnya, cerita ini adalah janji bapak kepada ibumu, bahwa sampai kapanpun cerita ini akan kami bawa sampai mati, tanpa harus kamu ketahui. Sebab ibumu tak mau, kau terngiang akan kisahnya yang dia sendiri pun takkan tahu bagaimana reaksimu setelah mendengarnya, intinya ibumu takut kehilanganmu dan kau akan membencinya" jawab bapak tenang kepadaku
"Ibu kenapa pak? Apa yang membuat ibu dan aku bisa sampai ke tempat ini? Â Kenapa semua orang bungkam dan mengubur cerita ini dalam-dalam? Apa yang terjadi pada ibuku, sampai akhir hidupnya harus ditangan manusia, pak?" Tanyaku beruntun dengan air mata yang tak bisa ku bendung
"Sudah sudah, semua akan bapak ceritakan hari ini. Tapi, tenangkan dulu dirimu" ucap bapak sembari menepuk pundakku
"Minum dulu, zay. Biar tenang." Ucap Bu fatma menyodorkan secangkir teh dihadapanku dengan air mata yang menetes di pipinya
"Ceritakan pak, aku siap mendengarnya" pintaku
"20 tahun yang lalu, ibumu datang ke tempat ini dalam keadaan sedang hamil besar, dia sedang mengandungmu. Saat itu bapak sedang mengajarkan para napi di rutan cara menganyam nampan dan tikar, bapak melihat ibumu dimasukkan dalam sel tahanan kelas atas, kasus pembunuhan berencana, yang bapak lihat, ibumu tidak tampak seperti para napi lainnya, di dalam sel dia justru lebih banyak berdoa dan membaca. Sampai akhirnya bapak dan ibumu dipertemukan dalam jadwal menganyam di hari ke 7 dia berada di rutan. Di sela menganyam, ibumu bertanya pada bapak, pak bapak takut tidak dengan saya? Itu tegur sapa kami untuk pertama kalinya yang justru berupa pertanyaan dari ibumu. Bapak melihatnya, ada kesedihan dikedua matanya, ada penyesalan di bibirnya. Bapak bilang, saya gak takut mbak, toh mbak kan manusia bukan hantu. Dia tertawa, sambil menganyam air matanya jatuh. Bapak bingung, apa jawaban bapak salah dan melukai hatinya. Bapak minta maaf, mengatakan kalau itu hanya candaan saja. Ibumu mengangkat kepalanya, dia tersenyum dan berkata, tidak apa apa pak, saya hanya senang aja. Tanpa banyak bertanya, ibumu langsung mengejutkan bapak dengan permintaannya. Dia meminta bapak untuk merawat dan membesarkanmu setelah kau lahir dari rahimnya, di hari pertama kami bicara, dia menaruh kepercayaan dan keyakinan pada bapak untuk merawatmu seperti anak sendiri. Sesampainya dirumah, bapak membicarakan ini pada ibu, setelah berdiskusi keesokan harinya bapak kembali ke rutan dan menjawab permintaan ibumu, dia tampak bahagia. Tak lama setelahnya, dihari yang sama kau pun lahir ke dunia ini. Ibumu tak minta banyak, dia hanya minta dua hari pertama kau berada dengannya di dalam sel, dia menyusuimu dan menidurkanmu, menikmati tangisanmu dan memegang tangan kecilmu sembari melucu agar kau tertawa. Setelah dua hari, kami menjemputmu di rutan. Pada hari itu, kami bercerita cukup lama. Ibumu zay, yang terjadi padanya sampai ke tempat ini adalah, dia korban pemerkosaan oleh lelaki yang dikenalnya. Lelaki itu meninggalkannya setelah menghancurkan hidupnya, ibumu mencoba mengejar dengan sebilah pisau ditangannya, yang digunakan lelaki itu untuk membungkam mulut ibumu. tapi lelaki itu lari dan menyeberang jalan raya hingga tewas tertabrak, dan kecelakaan beruntun pun terjadi, turut menewaskan 8 orang yang tak bersalah. Ibumu menjadi buronan polisi, selama 9 bulan dia pergi kemana saja tempat dia bisa bersembunyi, tak ada yang bisa membantunya, tak ada yang percaya padanya, sebab ibumu hidup sebatang kara tanpa ayah dan ibu. Dia hanya anak perantauan yang mengadu nasib di kota besar. Sampai akhirnya dia tertangkap di sebuah masjid setelah selesai mengadu pada TuhanNya. 7 hari setelah melahirkanmu sidang akhir ibumu dilaksanakan, dan hasilnya ibumu dijatuhi terpidana hukuman mati dengan waktu yang kau ketahui saat ini. Itulah kisah bagaimana khirnya kau dan ibumu sampai ke tempat ini. Dia memberimu nama zay, yang merupakan 3 huruf pertama dari namanya, zayana. Itulah sebab mengapa bapak tak pernah ingin memanggilmu dengan nama itu. Nama itu mengingatkan bapak akan kisah ketidakadilan yang dialami ibumu yang selalu membuat bapak merasa tersayat dan pilu, ibumu dia orang baik, dia tidak bersalah, namun ini sudah takdirnya. Kita hanya bisa berdoa"
Aku hanya bisa menangis dan tersedu, tak tahu harus mengatakan apa. Aku merasa menjadi anak yang tidak bisa membahagiakan ibuku selama aku dilahirkan, ibuku pasti dihantui kejadian menakutkan itu selama ia hidup, tidurnya pasti tak pernah nyenyak.
"Kenapa kejadian ini dirahasiakan dari aku, pak? Tanyaku tersedu
"Ibumu tak mau kau tahu kisah memalukan dan menakutkan ini, dia tak mau kau mengenangnya dengan kisah kelamnya yang begitu gelap, dia tak mau kau hidup menjadi pembenci, dia hanya ingin dikenang sebagai ibu yang melahirkanmu, bukan anak haram dari hasil pemerkosaan yang akan kau anggap tidak diinginkan. Meskipun kejadian itu terjadi padanya, zay. Tak pernah sekalipun ibumu berusaha menggugurkan kandungannya apalagi berniat membunuhmu, karena dia tahu kau tidak bersalah." Jawab bapak sambil menggenggam tanganku dan Bu fatma yang memeluk erat tubuhku
Aku merasa lebih baik, setelah mendengar cerita bapak, aku semakin yakin bahwa aku adalah anak paling beruntung memiliki ibu sepertinya. Aku berdoa pada Tuhan, memohon ampun atas dosa yang ibuku telah lakukan selama ini, memohon agar di hapuskan segala ingatan buruknya dan di tenangkan hatinya, agar ibu bisa bahagia.
Waktu berlalu dengan begitu lambat sejak kunjungan terakhirku, pukul 20.00 wib suara tembakan terdengar dari atas Bukit Nirbaya, bukit kematian tempat terakhir para napi.
Setiap hari, dalam doaku, permohonan ku hanyalah satu, ku harap Tuhan berbelas kasih untuk membiarkan ibuku mengabiskan waktunya di sel saja, tanpa harus diakhiri dengan tangan manusia. Aku percaya jika Tuhan berkehendak maka segalanya yg tak mungkin bisa menjadi mungkin
Aku menangis tersedu, bapak hanya bisa melihat dari balik kain pintu dan membiarkanku meluapkannya. Suara tembakan itu, apakah itu ibuku, benarkah hari ini adalah pertemuan terakhir kami. Tubuhku gemetar luar biasa, aku berdoa dan terus berdoa, jika memang iya maka aku harus kuat dan menerima. Aku berlari ke rutan, menemui penjaga sel tanpa alas kaki dan air mata yang berlinang, masuk melewati sel sel tahanan yang seluruhnya menundukkan kepala tiap kali suara tembakan itu terdengar. Langkahku terhenti pada sel ibu, tubuhku melemah dan tersungkur dengan sedu.
Ibu benar, Hidup dan mati hanya Tuhan yang tahu. Tuhan mendengar doaku, dia ada, dia masih ada dengan sujud terlamanya. Dengan cara Tuhan, ibu meninggalkanku tanpa ada suara tembakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H