Sering terbesit dibenak sebuah ungkapan "menjadi berbeda tidaklah salah! " atau "Berbeda itu unik dan semua manusia itu unik". Bagaimana jika kata berbeda disini kita artikan sebagai Waria? Apakah kita masih berpikir demikian?
Puspitosari (2005: 10) menyatakan waria sebagai seseorang yang secara jasmaniah jenis kelaminnya laki-laki namun secara psikis cenderung berpenampilan wanita. Bastaman (2004: 168) mengatakan bahwa waria adalah keinginan untuk hidup dan diterima sebagai anggota kelompok lawan jenis.
Tidak semua orang ingin menjadi waria, rata-rata orang menjadi waria karena didasari ada mega faktor yang mengubah pandangannya. Selain sisi psikis yang menjadi dominan, aspek ekonomi juga terkadang menjadi hidangan utama bagi mereka (lingkungannya dominan waria) dalam mengambil jalan waria sebagai daya memenuhi kebutuhan fisiologis. Selain itu faktor eksternal behaviour juga dapat menjadi pemicu munculnya persona baru dalam diri seseorang.
Waria identik dengan isu negatif pada masyarakat, salah satu usaha menanangi isu negatif adalah dengan melakukan kontrol sosial. Â Menghakimi dan mencemooh adalah salah satu bentuk kontrol sosial yang diterapkan hingga saat ini, menjadi pistol yang siap ditembakan kapan saja. Kendati demikian apapun bentuk kontrol sosial yang diterapkan, fenomena waria ini tidak pernah ada habisnya bahkan selalu bertambah dari hari ke hari.
Dilihat dari sudut pandang historis, waria ada jauh sebelum sound system portable (yang dibawa waria dalam setiap petualangannya) ditemukan. Raja Henry III dari Perancis pada abad XIII, kerap kali dijumpai berpakaian layaknya seorang wanita anggun yang dia anggap sebagai simbol keagungan dirinya.
Sampai hari ini banyak terlahir Henry baru dengan sikap yang lebih ekstrim. Dari fenomena tersebut, dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa keberadaan waria tidak memandang kelas sosial dan akan terus bertambah seiring usia Bumi.
Perang dunia pertama (1914-1918) merupakan waktu dimana waria mendapat pengakuan dari Jerman dengan banyak dari mereka yang digunakan sebagai mata-mata. Memberi sebuah torehan pada tembok sejarah waria bahwa sejak awal perang dunia pertama, mereka sudah ada dan diakui oleh instansi Jerman. Tidak hanya sebagai fenomana sosial, isu terkait waria dikaji secara serius dalam disipilin ilmu.
Adapun psikiater Austria, Julius Wagner-Jaugregg Von psikiater pertama yang memenangkan hadiah nobel (1927), Julius sangat aktif dalam mempelajari psikologi transgender. Henry Havelock seorang pendukung pembebasan seksual, menulis enam buku tentang psikologi sex yang diterbitkan antara 1897-1910 begitu kontoversi dan dilarang dalam beberapa tahun.
Tidak cukup dengan mengubah perilaku, di Amerika pada tahun 1960 Henry Benjamin memperlakukan waria dengan hormon pembesar payudara. Inilah pertama kalinya waria melakukan suatu revolusi tidak hanya pada perilaku tapi melebar ke ranah anatomi tubuh. 1970 adalah puncak dimana kaum ini meminta legalitas pernikahan sesama jenis, tetapi gerakan ini berhasil diredam.
Munculnya gerakan ekstrim tidak hanya dalam usaha merubah bentuk tubuh menyesuaikan wanita,lebih dari itu merupakan bukti bahwa Henry baru telah lahir dan muncul dalam perilaku dan gagasan yang lebih serius.
Saat ini kita tidak perlu melirik atlas untuk sekedar mencari seorang waria, di tiap sudut bahkan sampai lini gang tikus di pojok kota, kita dapat menemui eksistensinya. Hal ini dapat kita buktikan sendiri dengan maraknya pengamen waria yang berkelana usai petang. Waria dianggap meresahkan warga dan merupakan suatu bentuk nyata dari penyakit sosial.
Apakah benar demikian?
Jika kaum ini digolongkan karena mereka mengkomersilkan tubuhnya untuk pemenuhan hasrat seseorang, maka jawabannya IYA. Tetapi ketika seseorang memilih untuk menjadi waria dan tidak melakukan hal tersebut, apakah masih pantas dia diikat dengan label penyakit sosial?
Tilikan bahwa waria merupakan penyakit sosial agaknya hanya dilandasi tidak mampunya penerimaan masyarakat karena dianggap tidak lazim, pun yang kita ketahui waria tidak melakukan tindak kriminal atau agresi.
Tidak hanya penolakan sosial, kerap kali para waria sulit mendapatkan akses fasilitas sosial, padahal dengan jelas UU No. 39 Tahun 1999 menitik beratkan bahwa HAM adalah milik semua orang, dan diskriminasi merupakan salah satu langkah penodaan terhadapnya.
Negara Thailand adalah Negara dimana penduduknya memiliki 18 jenis gender, dan tidak terjadi kekacuan disana. Hal ini dapat membuktikan bahwa argumen waria tidak melakukan tindak kriminal dan agresi terbukti. Jika kriminalitas dan tindakan berbau agresi meningkat pasca lahirnya segudang waria di Thailand, pastilah waria sudah dicekal kehadirannya di tanah tersebut.
WHO menghapus transgender dalam daftar Internasional Classification for Diseases and Related Health Problems (ICD) pada selasa 19 juni 2018 "Alasannya bahwa transgender bukan penyakit mental, dan mengklasifikasikannya sebagai penyakit mampu mendorong stigma negatif terhadap orang-orang transgender.". Â Dalam teori ketidak-sadaran kolektif milik Carl Gustav Jung, archetype "Anima" adalah sifat wanita yang hadir dalam bawah-sadar kolektif pria.
Waria bukanlah penyakit sosial pun produk budaya, waria adalah atribut biologis-psikologis. Ketika berbicara budaya, faktanya Indonesia menerima tarian Lengger Lanang (tarian dengan pria yang berdandan seperti wanita) atau Bissu (dukun waria suku Bugis), tetapi tidak menjadikan waria itu pilihan.
Penari Lengger Lanang adalah sebatas mereka yang menerima wahyu dari Indang Lengger dan menjalankan ritualnya, pula para Bissu hanyalah mereka yang dianggap titisan dewa dan lulus dalam menjalankan ujian yang diberikan. Waria dalam perspektif Penari Lengger Lanang dan Bissu adalah bentuk nyata dari militansinya terhadap budaya dan spiritualnya, bukan sebagai pilihan.
Artinya usaha mengeliminasi waria dalam perilaku penolakan negatif (dengan cara-cara aggression, discrimination, bullying, dsb.) adalah sebuah upaya yang keliru. Karena pada dasarnya menjadi waria adalah bentuk dari atribut biologis-psikologis, dan tidak menyebabkan kerusakan pada tatanan sosial dan budaya. Walaupun demikian mengingatkan dan mengupayakan waria dalam upaya pengembalian jati dirinya adalah fungsi dan kewajiban kita sebagai makhluk sosial.
Penting memastikan metode yang kita gunakan dalam upaya mengingatkan/mengembalikan waria menjadi  "normal"  tidak dilakukan dengan paksaan. Karena bagaimana pun menjadi waria bukanlah keinginan sejati setiap individu, ada faktor (trauma masa kecil contohnya) yang belum terselesaikan sehingga dia memilih untuk tetap seperti itu.
Penolakan terhadap waria bukanlah hal yang salah, tetapi menjadi waria juga bukan hal yang salah (dalam beberapa kasus). Perilaku kontrol sosial dengan metode diskriminasi bukan merupakan kartu AS dalam mengurangi populasi mereka. Filosofis Sam Ratulangi "Si Tou Timou Tumou Tou" yang artinya "Manusia adalah yang memanusiakan manusia" dapat menjadi cara paling efisien dalam menegasikan fenomena waria.
Memanusiakan waria dalam upaya pengembalian hakekatnya sebagai laki-laki harus dilakukan dengan metode humanistik, tidak dengan diskriminasi tetapi memberi pemahaman dalam dimensi Religious dan Social-Cultural (Norma contohnya) dengan prosesnya yang tidak membedakan mereka dengan manusia lainnya.
Diskriminasi terhadap mereka dapat menjadikan mereka eksklusif dan berinteraksi pada sesamanya akibatnya mereka sulit keluar dari lingkaran waria, lebih dari itu diskriminasi dapat menjelma depresi, meniti mental menuju mati (bunuh diri).
(Tidak mendukung waria, bukan berarti mendiskriminasi. Paling tepat adalah mengembalikannya dengan cara-cara yang manusiawi, karena pada kenyataanya para waria adalah manusia dan butuh bantuan dalam mengembalikan jati dirinya)
SUARA CIPUTAT!
(IA).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H