Apakah benar demikian?
Jika kaum ini digolongkan karena mereka mengkomersilkan tubuhnya untuk pemenuhan hasrat seseorang, maka jawabannya IYA. Tetapi ketika seseorang memilih untuk menjadi waria dan tidak melakukan hal tersebut, apakah masih pantas dia diikat dengan label penyakit sosial?
Tilikan bahwa waria merupakan penyakit sosial agaknya hanya dilandasi tidak mampunya penerimaan masyarakat karena dianggap tidak lazim, pun yang kita ketahui waria tidak melakukan tindak kriminal atau agresi.
Tidak hanya penolakan sosial, kerap kali para waria sulit mendapatkan akses fasilitas sosial, padahal dengan jelas UU No. 39 Tahun 1999 menitik beratkan bahwa HAM adalah milik semua orang, dan diskriminasi merupakan salah satu langkah penodaan terhadapnya.
Negara Thailand adalah Negara dimana penduduknya memiliki 18 jenis gender, dan tidak terjadi kekacuan disana. Hal ini dapat membuktikan bahwa argumen waria tidak melakukan tindak kriminal dan agresi terbukti. Jika kriminalitas dan tindakan berbau agresi meningkat pasca lahirnya segudang waria di Thailand, pastilah waria sudah dicekal kehadirannya di tanah tersebut.
WHO menghapus transgender dalam daftar Internasional Classification for Diseases and Related Health Problems (ICD) pada selasa 19 juni 2018 "Alasannya bahwa transgender bukan penyakit mental, dan mengklasifikasikannya sebagai penyakit mampu mendorong stigma negatif terhadap orang-orang transgender.". Â Dalam teori ketidak-sadaran kolektif milik Carl Gustav Jung, archetype "Anima" adalah sifat wanita yang hadir dalam bawah-sadar kolektif pria.
Waria bukanlah penyakit sosial pun produk budaya, waria adalah atribut biologis-psikologis. Ketika berbicara budaya, faktanya Indonesia menerima tarian Lengger Lanang (tarian dengan pria yang berdandan seperti wanita) atau Bissu (dukun waria suku Bugis), tetapi tidak menjadikan waria itu pilihan.
Penari Lengger Lanang adalah sebatas mereka yang menerima wahyu dari Indang Lengger dan menjalankan ritualnya, pula para Bissu hanyalah mereka yang dianggap titisan dewa dan lulus dalam menjalankan ujian yang diberikan. Waria dalam perspektif Penari Lengger Lanang dan Bissu adalah bentuk nyata dari militansinya terhadap budaya dan spiritualnya, bukan sebagai pilihan.
Artinya usaha mengeliminasi waria dalam perilaku penolakan negatif (dengan cara-cara aggression, discrimination, bullying, dsb.) adalah sebuah upaya yang keliru. Karena pada dasarnya menjadi waria adalah bentuk dari atribut biologis-psikologis, dan tidak menyebabkan kerusakan pada tatanan sosial dan budaya. Walaupun demikian mengingatkan dan mengupayakan waria dalam upaya pengembalian jati dirinya adalah fungsi dan kewajiban kita sebagai makhluk sosial.
Penting memastikan metode yang kita gunakan dalam upaya mengingatkan/mengembalikan waria menjadi  "normal"  tidak dilakukan dengan paksaan. Karena bagaimana pun menjadi waria bukanlah keinginan sejati setiap individu, ada faktor (trauma masa kecil contohnya) yang belum terselesaikan sehingga dia memilih untuk tetap seperti itu.
Penolakan terhadap waria bukanlah hal yang salah, tetapi menjadi waria juga bukan hal yang salah (dalam beberapa kasus). Perilaku kontrol sosial dengan metode diskriminasi bukan merupakan kartu AS dalam mengurangi populasi mereka. Filosofis Sam Ratulangi "Si Tou Timou Tumou Tou" yang artinya "Manusia adalah yang memanusiakan manusia" dapat menjadi cara paling efisien dalam menegasikan fenomena waria.