Lagi baru-baru ini kita dikejutkan dengan penetapan tersangka oleh KPK terhadap total 41 orang anggota DPRD Kota Malang.
Penetapan ini adalah penetapan yang ketiga setelah sebelumnya menetapkan mantan Ketua DPRD Kota Malang Arief Wicaksono dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Pengawasan Bangunan Pemkot Malang Jarot Edy Sulistiyono sebagai tersangka.
Berikutnya, KPK kembali menetapkan 19 orang tersangka, dengan rincian Wali Kota Malang nonaktif Mochamad Anton dan 18 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019, dan yang terakhir ini KPK menetapkan sebagai tersangka terhadap 22 anggota DPRD Malang.
KPK menyatakan para anggota DPRD Kota Malang tersebut diduga telah menerima uang suap sebesar Rp 700 juta dan gratifikasi Rp 5,8 miliar.
Diduga salah satu peruntukannya adalah untuk memuluskan penetapan APBD 2015, sedangkan uang Gratifikasi terkait dana pengelolaan sampah di Kota Malang.
APBD yang disusun oleh Pemerintah Kabupaten Kota merupakan wujud komitmen kepada publik untuk melaksanakan pembangunan baik berupa infrastruktur, pemberdayaan, bantuan dll.
Untuk legalisasi anggaran tersebut maka disusun dalam bentuk dokumen APBD yang dirancang oleh pemerintah (eksekutif) dan disetujui serta disahkan oleh DPRD (Legaslatif).
APBD disusun melalui beberapa tahap kegiatan ; Â Pemerintah Daerah menyusun Rancangan Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD), Pemerintah Daerah mengajukan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas bersama antara pemerintah daerah dan DPRD.
Dalam pembahasan ini pihak Pemerintah Daerah (Eksekutif) dilakukan oleh Tim Anggaran Eksekutif yang beranggotakan Sekretaris Daerah, BAPPEDA, dan pihak-pihak lain yang dianggap perlu, sedangkan DPRD dilakukan oleh Panitia Anggaran yang anggotanya terdiri atas tiap fraksi-fraksi, RAPBD yang telah disetujui DPRD disahkan menjadi APBD melalui Peraturan Daerah untuk dilaksanakan.
Terkait dengan APBD, DPRD pada prinsipnya mempunyai kewenangan untuk memberikan persetujuan penetapan atas usulan RAPBD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah/ Gubernur.
Selain itu juga DPRD dapat menolak usulan RAPBD melalui fraksi-fraksi yang ada di DPRD apabila terjadi kesalahan dalam anggaran APBD.
Kewenangan untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap APBD ini yang membuat sebagian oknum anggota dewan dapat memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu, sehingga akan membuat penyusunan dan penetapan APBD menjadi rumit.
Dengan telah ditetapkannya oleh KPK terhadap 41 orang anggota DPRD Malang yang diduga uang suapnya digunakan sebagai alat untuk memudahkan penetapan APBD 2015.
Pertanyan yang muncul apakah praktik seperti ini hanya terjadi di satu kota saja, hanya di Kota Malang?, terjadi hanya pada tahun 2015 saja?, bagaimana dengan tahun tahun sebelumnya atau tahun tahun sesudahnya sampai 2018 sekarang ini.
Kita tahu bahwa ada sebanyak 514 Kabupaten dan Kota di negeri ini dengan jumlah total anggota DPRD 17.560 orang (kursi).
Apakah tidak mustahil praktek ini terjadi dan berkembang begitu dahsyat dibeberapa Kabupaten dan Kota lain di Indonesia?, bahkan mungkin saja  praktek semacam ini sudah berjalan lama dalam beberapa tahun yang lalu
Andai praktik seperti ini terjadi di beberapa kabupaten atau Kota lain di Indonesia, dan menjadi semacam kebiasaan oleh oknum anggota DPRD, maka praktek semacam ini tak ubahnya seperti bom waktu yang setiap saat akan meledak, dan serpihan bomnya akan mengenai banyak anggota -- anggota DPRD di Kabupaten Kota se Indonesia seperti halnya 41 anggota DPRD Malang yang baru saja kita saksikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H