Tidak terasa ajang kontestasi dalam pesta demokrasi di Republik Indonesia kali ini, sudah menemui babak baru. Proses pemilihan langsung oleh rakyat yang dilakukan pada tanggal 12 Februari 2024 kemarin, seakan bukan menjadi titik terang atas semua yang terjadi dalam drama politik di Negeri ini. Diawali dengan manufer politik yang terjadi secara brutal di kalangan para petinggi partai, yang kemudiam menghasilkan Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk masing-masing kubu. Hal ini juga yang kemudian menjadi sebab munculnya narasi-narasi politis, yang masih berkembang di kalangan masyarakat luas, bahkan sampai saat ini.
Politik dinasti merupakan salah satu ungkapan yang begitu kerap terdengar akhir-akhir ini. Dimulai sejak ditetapkannya Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wakil Presiden dari Prabowo Subianto, istilah politik dinasti mulai semarak digaungkan oleh pihak-pihak yang menjadi lawan politiknya. Lantas, apakah benar jika dengan mencalonkan Gibran sebagai Wakil Presiden adalah bentuk upaya penerapan dari sistem politik dinasti? Jika benar, apakah hal itu merupakan sesuatu yang melanggar atau paling tidak memiliki konotasi yang buruk untuk Negara Kesatuan Repunlik Indonesia yang menganut sistem demokrasi?
 Untuk menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya jika kita sama-sama melihat pada fakta sejarah dalam hal kepemimpinan di Negara Republik Indonesia secara keseluruhan dan merata. Faktanya adalah dalam setiap fase kekuasaan di Indonesia, praktek politik dinasti sudah hampir menjadi sesuatu yang sangat lumrah baik disadari ataupun tidak kita sadari. Pada masa kepresidenan K.H Abdul Rahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan nama Gus Dur misalnya, kita akan menemukan anggota keluarga atau orang terdekatnya yang memegang jabatan penting di Republik Indonesia ini. Mulai dari K.H Salahudin Wahid (adik kandung Gus Dur) pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komnas HAM yang sebelum itu juga merupakan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI). Lily Khadijah Wahid juga merupakan adik kandung Gus Dur, adalah salah satu anggota DPR-RI pada Tahun 2009 yang kemudian diberhentikan secara tidak adil karena dianggap terlalu kritis menentang kenaikan BBM dan mendukung Panitia Khusus Hak Angket Bank Century.
Selain itu, nama Hasyim Wahid yang lagi-lagi merupakan adik kandung Gus Dur, juga di masa yang sama memegang jabatan yang cukup penting dan menggiurkan yakni sebagai salah satu pejabat di BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Terakhir adalah Dr. H. Muhaimin Iskandar, M.Si yang merupakan kerabat dekat dari Gus Dur  dengan segudang jabatan penting yang berhasil diraihnya sejak dahulu. Mulai dari anggota DPR-RI pada Tahun 1999-2004, dilanjutkan dengan menjadi Ketua DPR-RI 2004-2009 dan saat ini juga merupakan salah satu Calon Wakil Presiden Republik Indonesia Periode 2024-2029.
Setelah lengsernya K.H Abdurrahman Wahid dalam proses Pemakzulan melalui sidang Istimewa MPR memorandum I,II, dan III, pada Tanggal 23 Juli 2001 Putri dari Presiden Pertama Republik Indonesia yaitu Megawati Soekarno Putri kemudian dilantik sebagai Presiden ke-5 Indonesia setelah melalui beberapa proses yang cukup rumit dan tidak lepas dari kontroversi.
Kembali pada fokus pembahasan tentang dinasti politik yang tentu saja tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Terpilihnya Mega Wati Sukarno Putri sebagai presiden Republik Indonesia saat itu, juga memberikan dampak yang cukup signifikan dalam hal jabatan bagi orang-orang terdekat atau keluarganya. Hal ini dapat dilihat dari data yang dipaparkan dalam gambar "Kerabat Presiden Megawati Soekarno Putri yang berpolitik"
Pengaruh kekuasaan terhadap jabatan yang diperoleh keluarga juga terpampang nyata di masa Presiden Ke-6 Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono M.A. Jika hari Ini Gibran, Kaesang, Bobi Nasution, dan Anwar Usman menjadi bahan cibiran karena dianggap dapat memperoleh jabatan penting sebab pengaruh dari kekuasaan Presiden Joko Widodo, bagaimana tanggapan anda terkait data berikut:
Dari data singkat yang telah dipaparkan, maka sudah dapat menjawab pertanyaan pada poin pertama di atas, bahwa praktek politik dinasti sebenarnya bukanlah suatu hal baru, atau dalam kata lain memang sudah terjadi sejak lama di Indonesia, terlepas dari sukses atau gagalnya para pemimpin Negara ini dalam menjalankan Politik dinasti itu sendiri.
Kemudian jika kita mempertanyakan melanggar atau tidaknya sistem politik dinasti jika diterapkan di Indonesia yang notabenenya menganut sisitem demokrasi, maka jawabannya tentu saja harus merujuk kepada aturan Undang-undang yang berlaku. Pada 8 Juli 2015 Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi terhadap Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasal yang oleh sebagian pihak dianggap memiliki semangat untuk memotong rantai dinasti politik di daerah itu kemudian dihilangkan. Pasal tersebut berbunyi: warga negara Indonesia yang dapat menjadi calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.
Dalam bagian penjelasan Pasal 7 huruf r, dijelaskan bahwa: yang dimaksud dengan 'tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana" adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 (satu) kali masa jabatan. Oleh MK, pasal 'dinasti politik' itu dihapuskan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi dan UUD 1945.
Merujuk pada penetapan Mahkamah Konstitusi ini, maka jika saat ini kita berfikr bahwa politik dinasti merupakan suatu praktek yang mengankangi sistem demokrasi dan konstitusi, maka pemikiran tersebut tentu saja dapat dikatakan sebagai pemikiran yang keliru dan tidak mendasar. Karena sebenarnya praktek politik dinasti tersebut merupakan suatu hal yang dibolehkan tidak hanya di Negara Republik Indonesia, selama dalam prosesnya tidak menciderai demokrasi apalagi melanggar sistem konstitusi yang telah berlaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H