Mohon tunggu...
ismail al anshori
ismail al anshori Mohon Tunggu... -

hanya seorang manusia yang masih belajar memaknai hidup,,

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Muslim Kontemporer: Antara Korupsi dan Sektarian

31 Januari 2015   05:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:04 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

**Catatan: Tulisan ini saya buat 7 Mei 2014. Ini adalah link ke blog saya.

Dilema kaum muslimin dalam demokrasi pada era ini adalah saat harus memilih partai yang terindikasi banyak kasus korupsi, atau mendukung partai yang dikenal cukup bersih namun mewakili kelompok sektarian. Secara formal berdasarkan dokumen-dokumen resminya memang tidak ada partai yang bercorak sektarian, namun ada partai yang dalam praktiknya mendukung gerakan sektarian, sehingga bisa dikatakan bahwa ia adalah 'partai sektarian'. Di satu sisi, semua orang sudah sadar bahwa korupsi telah mengakibatkan begitu banyak kerusakan sosial dan ekonomi. Di sisi lain, paham sektarian juga memiliki daya rusak yang tidak kalah dahsyat: mengancam persatuan bangsa Indonesia. Jika ditimbang-timbang, mana yang lebih berbahaya antara korupsi atau sektarian? Sulit untuk mengukurnya, namun pengalaman di Aceh & Afghanistan menunjukkan bahwa rezim sektarian memunculkan praktek korupsi yang melembaga. Artinya, perilaku korupsi tersebut dilakukan dengan modus yang makin canggih, sehingga kian sulit ditangani.

Mengapa paham sektarian begitu berbahaya telah cukup banyak dibahas di berbagai literatur. Secara umum, kekuasaan oleh kelompok sektarian dipahami sebagai upaya hegemoni sebuah kelompok atas kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang diyakini secara sepihak oleh kelompok penguasa. Kelompok lain yang tidak berkuasa namun memiliki nilai-nilai yang berbeda harus mengikuti tatanan yang ditetapkan oleh kelompok penguasa. Dalam perilaku sehari-hari, kelompok ini bisa dikenali dari sikap mereka yang seakan-akan paling benar dan merasa sebagai otoritas penjaga moral karena menjadi representasi tunggal atas hukum yang mereka yakini. Bagi negara yang sangat beragam seperti Indonesia, situasi tersebut tentu bisa merusak kerukunan.

Namun ada satu hal yang jarang disebut tentang kelompok sektarian, yaitu hubungan antara sektarian dan korupsi. Meski pada fase awal, yaitu saat belum berkuasa dan mendapat dukungan masyarakat luas, mereka tampak simpatik dan ‘bersih’. Tapi situasi bisa berbeda jika kelompok ini telah mendapatkan kekuasaan dan legitimasi.

Salah satu karakter yang menonjol dari kelompok ini adalah menggunakan pola indoktrinasi dalam pengorganisasian dirinya. Begitu kuatnya indoktrinasi ini membuat loyalitas anggota atau kader sedemikian begitu tinggi, namun sekaligus mereka irasional. Setiap anggota secara sukarela mempercayai bahwa perkataan dan tindakan para elit kelompok adalah benar, tidak boleh lagi dipertanyakan. Pada titik ekstrim, situasi ini kemudian menuju kepercayaan yang buta (blind faith). Ketaatan terhadap pemimpin mereka menjadi nafas di kelompok ini. Dari perspektif relasi kuasa, kalangan elit memang akan mudah mengendalikan mesin organisasi jika anggota-anggota di bawahnya patuh. Seperti halnya organisasi mafia, kepemimpinan kelompok ini berciri absolut. Buku Ilusi Negara Islam (2009) sebenarnya secara eksplisit telah membahas hal ini, namun tidak begitu tajam.

Kekuasaan yang absolut tersebut, seperti yang sudah sering dibahas, adalah benih unggul bagi perilaku korup. Makna perilaku korup di sini bukan hanya merugikan negara seperti yang dirumuskan oleh hukum pidana kita, tapi juga korup dalam artian menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan diri dan kelompoknya secara legal. Contohnya adalah memobilisasi sebagian besar dana APBD untuk wilayah yang jadi basis massa partai. Namun, apa bedanya dengan korupsi yang dilakukan oleh kelompok lain yang “normal”? Karena organisasi dijalankan dengan ketaatan yang irasional, maka kelompok sektarian tidak mengenal adanya mekanisme feedback. Kalaupun ada, mekanisme tersebut hanya terisolasi pada sekelompok elitnya. Karena itu, karakter lain dari kelompok sektarian adalah adanya sel-sel dan hirarki yang dibuat terisolasi.

Secara sederhana, mekanisme feedback ini seperti halnya saat seseorang sedang mengemudikan kendaraan. Saat mengemudi, seseorang mempunyai tujuan tertentu dan kemudian memilih jalan untuk mencapainya. Karena itu, pengemudi yang baik adalah yang bisa mengendalikan kendaraan searah dengan tujuan dan menjaga agar selalu berada pada jalan yang telah ditetapkan. Untuk keperluan tersebut, tangan dan kaki berkoordinasi sedemikian rupa sehingga bisa mengoperasikan perangkat penggerak kendaraan. Di sisi lain, mata pengemudi memberikan masukan kepada pengemudi berupa informasi apakah gerakan kendaraan telah sesuai dengan arah dan jalan yang diinginkan. Jika masukan dari mata tersebut menghasilkan keputusan untuk berbelok, mempercepat, atau melambat, maka pengemudi memberikan perintah koreksi bagi perangkat penggerak kendaraan melalui tangan dan kakinya. Karena itu, jika pengemudi tidak mengindahkan masukan dari mata, kendaraan akan bergerak ke arah yang salah, atau bahkan bisa terjadi kecelakaan yang membahayakan dirinya maupun orang lain. Analogi ini sedikit banyak bisa diberlakukan bagi organisasi atau tiap sistem sosial pada umumnya.

Menurut Albert Hirschmann (1970), ketiadaan mekanisme feedback, atau dia menyebutnya dengan voice, bisa membuat loyalitas pada sebuah organisasi menjadi tumpul, dan kemudian menyebabkan kegalauan massal di antara anggota. Imbasnya, organisasi menjadi makin rusak karena tidak ada kendali untuk tetap berada berjalan di koridor yang ditetapkan. Berikutnya, terjadi eksodus anggota. Dia mencontohkan, sekolah negeri di Amerika Serikat yang makin terpuruk karena warganya lebih memilih sekolah swasta yang dianggap lebih berkualitas, transparan, dan responsif. Karena itu, Hirschman mengambil kesimpulan bahwa mekanisme feedback adalah keharusan bagi sebuah organisasi agar tetap berada dalam koridor yang telah dirumuskan.

Namun, skenario mekanisme feedback di atas hanya berlaku bagi kelompok yang para anggotanya tetap rasional. Bagi kelompok sektarian yang irasonal, nihilnya mekanisme feedback tidak menjadi masalah. Karena para anggota tetap hidup dalam dunia fantasi yang diciptakan oleh para elitnya, maka mereka menjadi tidak lagi sensitif terhadap kesalahan para pemimpinnya. Bahkan mereka menganggap para elit kelompok adalah orang-orang yang derajatnya begitu tinggi, sehingga hampir mustahil bisa berbuat salah.

Imbas dari kondisi organisasi sektarian yang seperti itu adalah pembiaran, atau bahkan pembelaan, dari anggota kelompok saat elitnya melakukan kesalahan. Hal tersebut bisa dilihat pada saat kelompok ini menguasai pemerintahan sebuah daerah. Sebuah contoh yang cukup umum, para kader sebuah partai tidak mau mengakui, dan sebagian membela, seorang elitnya yang terbukti melakukan kesalahan, bahkan saat telah disajikan bukti formal dari pihak yang berwenang atas kesalahan tersebut.

Hal tersebut bisa dilihat pada polemik pelanggaran aturan ijin lingkungan (Amdal) dan tata ruang (RTRW) dalam pembangunan Hotel Pullman di Kota Bandung. Meski kadernya termasuk golongan terdidik dan selalu kritis menghadapi berbagai persoalan, namun tiba-tiba mereka kehilangan rasionalitas saat menyangkut kesalahan elit partainya. Padahal, kesalahan ini bisa dibilang sederhana dan begitu nyata. Maka, bisa dibayangkan bagaimana sikap para anggota kelompok tersebut jika para elitnya melakukan kesalahan namun penilaian atas perilaku tersebut memerlukan pertimbangan etika yang rumit dan problematis (misalnya saat menghadapi isu-isu yang menyangkut kaum minoritas atau menyinggung masalah moralitas).

Jika para elit kelompok menutup saluran bagi anggotanya sendiri untuk memberikan feecback, maka bisa diperkirakan bagaimana sikap mereka terhadap masukan dan kritik dari pihak lain yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, pada masa pemilu akhir-akhir ini, jika ada pihak lain sekedar mempertanyakan sesuatu pun langsung dicap sebagai anti atau hater. Maka, corak berikutnya dari kelompok ini adalah karakternya yang eksklusif.

Pada saat mendapatkan amanah untuk memimpin birokrasi, karakter eksklusif ini juga tampak. Salah satunya adalah dengan cara membawa barisan sendiri (‘staf ahli’) untuk membantu operasional organisasi, lalu mengisolasi pengambilan keputusan hanya di antara mereka. Sementara itu, peran pegawai yang telah lama berada di situ pelan-pelan dilucuti, sehingga praktis tidak ada pembelajaran organisasi di birokrasi tersebut. Situasi ini terjadi di beberapa kementrian/badan dan pemda di era SBY yang pertama maupun kedua.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kelompok sektarian memiliki bahaya yang minimal sama besar dengan perilaku korupsi yang memang sudah akut di negeri ini. Meski demikian, kasus-kasus korupsi yang terungkap selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan perilaku oknum atau kerjasama antara beberapa pihak, tidak sampai melembaga. Dalam hal ini, korupsi telah diakui sebagai kejahatan luar biasa, namun kelompok sektarian berpotensi melahirkan korupsi yang luar biasa. Kejahatan luar biasa kuadrat.

Jika kelompok sektarian sedemikian kelam, mengapa mereka bisa mendapatkan dukungan? Menjamurnya paham sektarian tidak terlepas dari buruknya penyelenggaraan negara saat ini sebagai hasil dari proses demokrasi yang belum matang. Pada gilirannya, kondisi demokrasi yang seperti itu membuat kualitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi kian rendah. Dengan pintar kelompok-kelompok sektarian tersebut memanfaatkan situasi ini untuk menanamkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan mendeligitimasi Demokrasi Pancasila.

Karena itu, agar proses demokrasi tidak menjadi ladang subur bagi paham sektarian, perlu langkah-langkah sistematis untuk memperbaiki kualitas demokrasi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan lembaga politik (terutama partai-partai politik). Jika rakyat bisa merasakan manfaat yang nyata dan adil dari sistem demokrasi yang dirumuskan dalam Pancasila, maka kelompok- kelompok sektarian akan sulit mendapatkan ekosistem untuk tumbuh dan berkembang biak.

Dilema antara memilih yang terindikasi korup dan yang cenderung sektarian bagai teka-teki yang tidak berkesudahan bagi umat muslim saat ini, setidaknya untuk beberapa pemilu mendatang. Meski begitu, karena negara ini berdasarkan prinsip Demokrasi Pancasila, maka kita pun harus menghormati hak politik kelompok-kelompok sektarian tersebut. Karena itu, umat muslim pun harus pandai-pandai bersikap agar paham sektarian tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial dan sistem kenegaraan kita.

[end]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun