Jika para elit kelompok menutup saluran bagi anggotanya sendiri untuk memberikan feecback, maka bisa diperkirakan bagaimana sikap mereka terhadap masukan dan kritik dari pihak lain yang berasal dari luar kelompoknya. Bahkan, pada masa pemilu akhir-akhir ini, jika ada pihak lain sekedar mempertanyakan sesuatu pun langsung dicap sebagai anti atau hater. Maka, corak berikutnya dari kelompok ini adalah karakternya yang eksklusif.
Pada saat mendapatkan amanah untuk memimpin birokrasi, karakter eksklusif ini juga tampak. Salah satunya adalah dengan cara membawa barisan sendiri (‘staf ahli’) untuk membantu operasional organisasi, lalu mengisolasi pengambilan keputusan hanya di antara mereka. Sementara itu, peran pegawai yang telah lama berada di situ pelan-pelan dilucuti, sehingga praktis tidak ada pembelajaran organisasi di birokrasi tersebut. Situasi ini terjadi di beberapa kementrian/badan dan pemda di era SBY yang pertama maupun kedua.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kelompok sektarian memiliki bahaya yang minimal sama besar dengan perilaku korupsi yang memang sudah akut di negeri ini. Meski demikian, kasus-kasus korupsi yang terungkap selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar merupakan perilaku oknum atau kerjasama antara beberapa pihak, tidak sampai melembaga. Dalam hal ini, korupsi telah diakui sebagai kejahatan luar biasa, namun kelompok sektarian berpotensi melahirkan korupsi yang luar biasa. Kejahatan luar biasa kuadrat.
Jika kelompok sektarian sedemikian kelam, mengapa mereka bisa mendapatkan dukungan? Menjamurnya paham sektarian tidak terlepas dari buruknya penyelenggaraan negara saat ini sebagai hasil dari proses demokrasi yang belum matang. Pada gilirannya, kondisi demokrasi yang seperti itu membuat kualitas kehidupan sosial, politik, dan ekonomi kian rendah. Dengan pintar kelompok-kelompok sektarian tersebut memanfaatkan situasi ini untuk menanamkan ketidakpercayaan pada pemerintah dan mendeligitimasi Demokrasi Pancasila.
Karena itu, agar proses demokrasi tidak menjadi ladang subur bagi paham sektarian, perlu langkah-langkah sistematis untuk memperbaiki kualitas demokrasi dengan cara meningkatkan kapasitas kelembagaan dan lembaga politik (terutama partai-partai politik). Jika rakyat bisa merasakan manfaat yang nyata dan adil dari sistem demokrasi yang dirumuskan dalam Pancasila, maka kelompok- kelompok sektarian akan sulit mendapatkan ekosistem untuk tumbuh dan berkembang biak.
Dilema antara memilih yang terindikasi korup dan yang cenderung sektarian bagai teka-teki yang tidak berkesudahan bagi umat muslim saat ini, setidaknya untuk beberapa pemilu mendatang. Meski begitu, karena negara ini berdasarkan prinsip Demokrasi Pancasila, maka kita pun harus menghormati hak politik kelompok-kelompok sektarian tersebut. Karena itu, umat muslim pun harus pandai-pandai bersikap agar paham sektarian tidak mendapatkan tempat dalam kehidupan sosial dan sistem kenegaraan kita.
[end]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H