Setiap kali melakukan perjalanan darat ke Palopo saya usahakan menyempatkan memandang barisan pegunungan Karst yang membentang panjang dari Maros hingga Pangkep.Â
Saya menerka ada apa di balik jejeran karst yang berwarna putih? Waktu kuliah pengetahuan hanya sebatas bahwa di sana terdapat gua-gua prasejarah, awal muasal manusia Bugis melukis sebuah kebudyaan yang sangat sederhana. Pegunungan Karst di Maros yang terbesar kedua di dunia.
Memang benar, di sana banyak dijumpai artefak sejarah masa silam. Ketika manusia menjadikan gua sebagia hunian nyaman. Ribuan tahun kemudian ketika umat manusia membanjiri planet hijau ini, kebutuhan papan mendesak manusia membangun koloni dengan mengerus sisa peninggalan zaman prasejarah, batuan kapur (Karst). Dan sejarah pabrik semen pun dimulai.
Petani Rembang
Mungkin nasib Karst di Maros sampai Pangkep tetap terjaga, sepanjang pemilik modal dan pemerintah menjaga amanat undang-undang. Berbanding terbalik dengan nasib yang dialami petani di Rembang Tengah, mereka dipaksa beradu kuat dengan pemilik modal.Â
Sengketa berawal dari proyek Semen Indonesia di pegunungan Kendeng, Kab. Rembang tahun 2012. Lahan-lahan pertanian yang memberi penghidupan menunggu lonceng kematian. Pemilik modal boleh berdalih, telah menyiapkan berhektar-hektar lahan buat penghijaun, apakah pohon-pohon bisa tumbuh dalam hitungan bulan?!
Karst sekilas gersang, namun di baliknya Karst menjadi benteng kehidupan petani. Di bawah tanah-tanah Karst yang gersang terdapat mata air yang tak habis. Air itu yg mengaliri persawahan dan memberi mereka padi-padi yang menguning.Â
Sepanjang padi tetap menguning maka mereka akan setia dengan gemercik kehidupan desa, maka urbanisasi yang membuat pusing para walikota bisa dicegah. Konflik ini memasuki babak baru di mana Mahkamah Agung telah mengabulkan PK para petani dan LSM Walhi. Dan seperti biasanya pihak perusahaan belum menghentikan proyek semen tersebut, mereka hanya mencoba memperbaiki izin lingkungan hidup.
Karst juga rumah bagi banyak kelelawar yang menjadi musuh hama. Petani tidak perlu menghambur banyak pestisida yang kemudian mereka jual ke kota kota, dimakan dan membuat kerja pencernaan semakin berat. Ketika banyak negara berupaya mengurangi produksi semen, kita justru makin bernafsu menggasak sumber daya yang ada. Dan ketika terlambat, anak cucu kita dipaksa mengimpor dari luar.
Semen Berlimpah
Jangan bilang stok semen kita kurang! Bukan stok semen kita berlimpah, pabrik semen terbentang dari Sumatera hingga Nusa Tenggara, bukan masalah stok tapi soal distribusi yang tidak merata dan harga yang timpang. Seorang teman yg bekerja di pabrik semen mengeluh karena permintaan semen menurun drastis efek krisis ekonomi dan persaingan antar produsen.
Mungkin begini cara Tuhan menegur produsen semen, daya beli masyarakat turun dan berefek pada sektor properti dan tentu pabrik semen kena dampaknya. Mereka tentu akan mengurangi produksi semen. Mungkin tidak akan lama ketika properti bangkit lagi, dan deru mesin kendaraan dan uap pabrik mengepul kencang kembali dan mereka menikmati fulus di atas tangis petani yang kehilangan sumber hidup.
Kita hanya bisa berharap semoga petani di Rembang dan petani lainnya bisa terus menerawang padi yang menghijau. Pemerintah jangan menutup mata, Indonesia adalah negeri agraris. Jangan lagi korbankan rakyat, jangan mengorbankan kedaulatan pangan demi kepentingan korporasi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H