Kantor Polisi (foto:kalbar.polri.go.id)
Menemukan polisi yang jujur zaman sekarang seperti menemukan jarum diantara tumpukan jerami. Stigma negatif yang lahir di masyarakat tentang buruknya prilaku polisi bila berurusan dengan duit sudah merupakan cerita yang lazim terjadi. Namun hal berbeda terjadi di Makassar beberapa hari lalu, seorang perwira dan tiga bintara tampil bak pahlawan. Dengan ketegasan dan keberaniannya keempat anggota polisi Mapoltabes Makassar menolak setumpuk uang sogokan dari pemakai narkoba yang tertangkap. Jumlahnya tidak sedikit yaitu Rp. 150 juta. Yang tertangkap pun bukan orang sembarang, dia calon anggota legislatif dari partai PKPI bernama Ahmad Basir.
Ternyata rayuan maut nan menggiurkan oknum Caleg tidk berhasil menggoyahkan pendirian anggota polisi yang punya motto mengayomi dan melayani masyarakat. Ini baru polisi sejati, polisi yang menempatkan motto lembaga sebagai panduan dalam bertugas. Ada ungkapan miring dalam masyarakat, saat ini susah mencari polisi jujur. Kalau pun ada, pastilah itu polisi tidur dan patung polisi.Di tengah sorotan negatif masyarakat atas kinerja polisi yang suka mengutil uang rakyat ternyata masih ada oknum polisi yang berhati seperti Hoegeng.
Siapa Hoegeng?
Nama lengkapnya adalah Hoegeng Imam Santoso, seperti namanya Hoegeng mempunyai kadar keimanan yang sentosa selamanya. Namanya menjadi panutan bagi institusi yang punya logo bergambar perisai yang bermakna pelindung rakyat dan negara. Salah satu kisah dari kesederhanaan Hoegeng seperti ayng ditulis dalam buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan' terbitan PT Kompas Media Nusantara, Selaku pejabat tentu Jenderal Hoegeng banyak yang mendekati. Bermacam-macam cara untuk merebut hati Hoegeng. Ada yang mengirim hadiah mobil hingga motor. Tapi hadiah yang dikirimkan pengusaha itu dia tolak. Hoegeng yang saat itu menjabat Menteri Sekretaris Presidium tak mengambil hadiah itu.
Menurut Sudharto atau Dharto sekretarisnya, Hoegeng hanya menyimpan dan melupakan surat pengambilan mobil itu. Demikian juga kala menjabat Kapolri. Diceritakan Didit, anak lelaki Hoegeng. Saat dia pulang ke rumah, ada dua buah motor yang masih dibungkus di halaman rumah. Didit sempat berharap, sang ayah mau menerima hadiah itu. Tapi Hoegeng tetaplah seorang Hoegeng. Kala dia sampai di rumah, dia memanggil ajudannya dan meminta agar motor itu dikembalikan kepada yang mengirimkan. Hoegeng menjadi oase yang menyejukkan ditengah prilaku korupsi pemimpin bangsa.
Beberapa tahun selepas kepergian Hoegeng (wafat tahun 2004), bermuncullan lah polisi yang tersangkut korupsi seperti Suyitno Landung (2006), Edmon Ilyas (2011), Raja Erizman (2011), Djoko Susilo (2012), kebalikan dengan kalimat indah habis gelap terbitlah terang malah yang terjadi habis terang terbitlah gelap gulita. Pada sebuah kesempatan Wakil Kepala Polisi Republik Indonesia (Wakapolri) Komjen Pol Oegroseno berpesan bahwa "Saya juga tidak suka kalau ada polisi ambil pungli. Kalau mau pilih jadi polisi ya jangan pernah mimpi jadi orang kaya. Nah, kalau mikir mau jadi orang kaya jangan sekali-kali berpikir jadi polisi, itu aja. Soalnya polisi nggak mungkin kaya. Iya, nggak ada kan polisi kaya kan," ujarnya. (Merdeka.com-19 Agustus 2013). Oegroseno salah satu contoh lain polisi yang berasal dari keluarga sederhana yang punya tekad menjadi polisi yang jujur. Menjadi polisi adalah sebuah kebanggaan, bukan ajang mengejar harta dan pamer kuasa.
Tribrata Vs Pungli
Dan yang sering terjadi adalah masih banyak oknum polisi yang melakukan pungli (pungutan liar) kepada rakyat. Sepanjang jalur trans Sulawesi misalnya banya ditemukan polisi yang berseragam yang memintah jatah kepada supir angkutan daerah. Ketika saya melakukan perjalanan darat ke Palu yang ditempuh sekitar 30 jam dari Makassar, hampir setiap kabupaten terdapat pos polisi. Dan seperti sudah kelaziman para supir yang lewat mesti singgah dan menitipakan "sesuatu". Bisa dibayangkan jika sehari ada 300 angkutan penumpang atau truk yang melintas lalu dikalikan dengan "sesuatu", maka jumlahnya menjadi "sesuatu banget". Dan hal itu sengaja dibiarkan, walau memang seringkali para supir dan pengusaha transportasi membutuhkan jasa polisi. Maka terjadilah apa yang disebut simbiosis mutualisme. Masing-masing saling membutuhkan. Yang kasihan adalah supir dan pengusaha yang jujur yang terkena imbasnya.
Ada cerita dari teman yang tinggal di Poso, di daerah tersebut nama polisi sangat buruk. Berbanding terbalik dengan anggota TNI yang lebih dekat dengan rakyat. Di setiap pos pemeriksaan tidak jarang polisi sering meminta jatah preman kepada pelintas, entah benar atau tidak cerita kawan tersebut? sudah lumrah dijalanan ketika ditilang justru polisi yang terlebih dahulu menawarkan proses damai dengan meminta sejumlah uang sogokan.
Kembali ke kisah empat anggota polisi yang jujur, apa yang mereka lakukan selayaknya mendapat apresiasi dari pimpinan polisi dan media ikut membantu menyebarkan nilai-nilai kebaikan keempat polisi tersebut. sehingga kebaikan tersebut menyebar ke dalam institusi kepolisian. Polisi jujur adalah aset berharga kepolisian yang kelak membawa polisi semakin dicintai oleh rakyat. Saya yakin jumlah polisi jujur juga banyak. Didada para polisi telah terpatri sumpah yaitu Tri Brata yang salah satu bunyinya adalah SENANTIASA MELINDUNGI MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT DENGAN KEIKHLASAN UNTUK MEWUJUDKAN KEAMANAN DAN KETERTIBAN. Ingat disana adala kalimat Keikhlasan lawan katanya adalah pamrih/menyuap/sogok/korupsi.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H