Seorang ibu setengah baya menghampiri kami, dia sedikit menumpahkan rasa kesalnya. Dia protes karena dikampung ini para tenaga pemetik cengkeh (buruh cengkeh) hanya dibayar 2000/liternya. Sebuah harga yang kecil, sedangkan di desa sebelah dihargai sampai 3000/liternya. Bahkan masih ditambah jatah makan siang. Sekedar perbandingan 4-5 liter sama dengan 1 kilo cengkeh kering atau (150.000 rupiah) artinya dengan tarif 2000/liternya mereka hanya mendapatkan 10.000 perkilonya.
Saat memetik, saya menjumpai satu keluarga buruh cengkeh, satu keluarga bisa terdiri dari empat anggota. Dalam sehari mereka bisa memetik 20-30 liter cengkeh, salah satunya gadis yang sedang asyik bermain-main dengan rindangnya pohon cengkeh diatas ketinggian 5 meter.
[caption id="attachment_352256" align="aligncenter" width="560" caption="Menyebrangi kali (foto:koleksi pribadi)"]
Memetik cengkeh bukan pekerjaan gampang, banyak pohon cengkeh memiliki pohon tinggi yang menjulang sampai 10 meter, dengan batang yang kecil dan terpaan angin yang kencang seringkali pemetik cengkeh mempertaruhkan nyawa mereka. Tangga yang diikat tali bukan jaminan, sudah banyak kecelakaan yang mengakibatkan patah tulang. Setelah cengkeh dipetik dan disimpan dalam karung, pekerjaan berikutnya adalah memisahkan buah cengkeh dari tangkainya. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada malam hari. Ketika kaki-kaki dan tangan masih lelah, malamnya masih harus rela memisahkan cengkeh dari tangkainya, dikampung saya biasa disebut mapupuk.
Zaman ketika panel surya belum ada, ketika listrik masih tabu dibicarakan, kegiatan memupuk adalah sebuah kegembiaraan. Di temani lampu pelita yang redup kami membentuk lingkaran amoeba, kami mulai memupuk cengkeh ditemani secangkir kopi Toraja yang harum habis ditumpuk tadi pagi. Cerita pun dimulai, para pemetik cengkeh menumpahkan kisah mereka didepan lampu pelita, ada gelak tawa dan gembira tak ada rasa sedih walau kala harga cengkeh sangat murah. Sampai tengah malam kerjaan satu hari tuntas dan bersiap untuk esok hari.
[caption id="attachment_352254" align="aligncenter" width="560" caption="Kaki Latimojong jauh disana (foto: Koleksi pribadi)"]
Dibalik kilau dan aroma cengkeh terdapat para petarung hidup yang hanya menikmati secuil tangki cengkeh, mereka inilah para buruh cengkeh yang sejak pagi sampai malam bergumul dengan tangkai cengkeh. Limpahan cengkeh telah menaikan martabat ekonomi warga desa, didesa tersebut anak sekolah sudah bisa membeli motor. Maka tidak heran ketika datang saya tidak menemukan tukang ojek lagi, motor-motor dengan plat putih adalah pemandangan lumrah di desa ini.
[caption id="attachment_352250" align="aligncenter" width="560" caption="Sisi lain Desa Malenggang, hamparan sawah siap panen (foto:koleksi pribadi)"]
Kami meninggalkan hamparan cengkeh dengan perasaan senang bisa mengulang memori masa lalu, bercengkrama dengan alam dan menikmati keindahan gunung Latimojong dari kejauhan. Memetik cengkeh bagi kami pendatang dari kota adalah sebuah liburan, bahagia itu sederhana. Bisa melihat tangkai cengkeh merekah, memetik dan mencium aromanya ditemani pemandangan alam dan udara segar adalah sebuah bahagia. Saat pulang, istri saya setengah berbisik, katanya " abi, kita bisnis cengkeh saja yah"
salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H