Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ia yang Telah Mengejawantahkan Makna Cahaya

11 Maret 2021   21:59 Diperbarui: 11 Maret 2021   22:03 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar lilin (Pixabay)


Aku tak merasa menyesal melakukan hal tersebut. Walaupun ada rasa kecewa. Ya, kecewa terhadap diriku sendiri yang mungkin belum bisa menjadi orang tua yang sempurna bagi anak tunggalku."Maafkan bapak, Nak?" Sambil kutatap mata beningnya.

"Iya tak apa, Pak. Asyif yakin, kelak Tuhan mengganti semua apa yang Bapak kini korbankan," jawabnya dengan seutas senyum yang berkembang di muka mudanya.

***

[Sesuai peta ya alamatnya?]

[Iya, Om. Ongkir-nya berapa?]

[20.000, Mbak.]

"Alhamdulillah, satu lagi pesanan," batinku. Lalu, kuhidupkan motorku dan melaju menembus jalanan panas perkotaan untuk membeli pesanan dari salah satu costomer. Debu-debu dan polusi kendaraan tak lagi kuhiraukan. Ya, beginilah pekerjaan sebagai ojek online yang kudu siap menerima pesanan tak peduli walaupun kadang ada saja orang-orang yang men-cancel pesanan atau hanya membuat pesanan fiktif.

Mungkin mereka tidak tahu betapa kecewanya kami para ojek online yang sudah pesan sesuatu yang kadang juga kami harus pinjam uang dulu pada teman sesama ojek online, karena kadang uang dalam dompet tak cukup. Jika karena tak cukup lantas kami cancel, tapi bintang dalam aplikasi menjadi taruhannya.

Tak lama setelah membeli pesanan, langsung saja aku kendarai motorku kembali. Kini menembus gang-gang sempit perumahan. Sesekali aku terhenti mengambil gawai dan mengecek lokasi si costumer. Dan sampailah. Uang ongkir 20.000 ku masukan ke dompet. Lalu melaju lagi kembali ke pangkalan.

Aku memang hanya ojek online yang mencari rezeki demi menghidupi satu orang istri dan satu anakku. Tapi, aku ingin kelak anakku menjadi orang pintar hingga mendapatkan pekerjaan yang lebih baik daripada bapaknya yang cuma lulusan Sekolah Dasar. Aku ingin anakku menjadi sarjana.

Hari-hari terus berlalu. Aku bekerja terus tanpa henti ataupun libur. Karena sebentar lagi saatnya anakku yang telah lulus setahun yang lalu di Sekolah Menengah Atas, pada pembukaan mahasiswa baru kali ini, aku ingin anakku melanjutkan pendidikannya. Ya, aku memang bercita-cita melihat anak semata wayang kelak menjadi sarjana. Setelah seharian dan kini hampir jam sepuluh malam, rasa lelahnya raga memaksaku untuk segera istirahat di rumah.

"Assalamu'alaikum, Bapak pulang"

"Wa 'alakkum salam," jawab seorang wanita dari dalam rumah, tak lain dia istriku.

"Asyif mana, Bu?" Tanyaku.

"Sudah tidur, Pak. Tadi seharian ia membantu pamannya menjual dagangan di pasar.

Segelas teh hangat dan gorengan pisang kini tersaji di depan meja setelah aku selesai membersihkan badan. Langsung saja aku menyantapnya. Kupanggil istriku yang sedari tadi duduk menonton televisi, "Bu, sini sebentar," Lalu kuberikan hasil pekerjaan hari ini.

"Tabungan kita sudah cukup belum, Bu, untuk Asyif kuliah?"

"Sepertinya sudah cukup, Pak."

"Oh, ya syukur."

Kurebahkan tubuhku di ranjang bambu yang berderit. Tak terasa mataku berkaca-kaca dan kini menitikkan bening air mata. Bukan apa, hanya merasa bahagia akhirnya cita-cita kecil ingin menguliahkan anakku serasa telah dijawab oleh Tuhan. Dalam hati tak henti-henti kusebut Asma-Nya, hingga tanpa sadar mataku terpejam.

Pagi dengan cepat menghampiri penduduk bumi dengan terbitnya matahari. Walaupun sudah dari subuh tadi aku terbangun untuk melakukan kewajiban sebagai seorang hamba. Seperti biasa kupanaskan motor dulu di halaman rumah sambil menyantap sarapan berlauk tempe masakan istri.

Hari ini aku berangkat ngojek lebih pagi dari biasanya. Entah, ada rasa semangat yang terasa dalam dada. Walaupun uang tabungan untuk daftar kuliah sudah cukup, tapi lebih baik aku lebihkan. Siapa tahu nanti ada bayaran-bayaran lainnya. Kupikirkan semua itu saat sedang mengendarai motor sambil sesekali aku tersenyum sendiri. Ah, aku bahagia sekali hari ini.

Teringat satu tahun yang lalu saat anakku baru lulus sekolah. Saat itu sebenarnya ingin langsung mendaftarkan ia kuliah, tapi ada saja kebutuhan yang datang tak diduga, istriku sakit berat hingga harus dirawat beberapa hari di Rumah Sakit. Tak ayal, uang tabungan ngojek dua tahun yang lalu habis untuk membiayai pengobatan istriku dan mau tak mau keinginan kuliah harus diundur. Tapi, kini semua doa dan usaha seakan telah terjawab. Aku melamun, dan ... Allah ...

'Brakkkkk'

Aku terpelanting dan jatuh di pinggir jalanan yang berumput. Tapi terlihat di tengah jalan sosok anak kecil terkapar penuh darah. Allah ..., aku menabrak anak kecil yang keluar dari gang perumahan mau berangkat sekolah. Orang-orang kemudian pada datang mengerumuni diriku dan sebagian lainnya membawa anak kecil menuju ke klinik terdekat. Alhamdulillah, aku tak apa-apa, tapi bagaimana dengan anak kecil itu?

Aku pun turut ikut ke klinik. Aku ingin bertanggung jawab, walaupun entah pada kecelakaan tadi siapa yang salah. Anak kecil itu tiba-tiba selonong dari gang sempit perumahan dan aku kurang konsentrasi pada saat berkendara. Tapi semoga tak terjadi hal yang fatal pada anak kecil itu, semoga saja.

Syukur pada-Nya ternyata anak kecil tersebut tak apa-apa. Hanya lecet kecil di bagian kepala. Biaya pengobatan tak sampai seratus ribu. Lalu, kuantar anak kecil untuk pulang ke rumah atau tetap berangkat ke sekolah. Ia jawabnya ingin pulang saja, katanya kepalanya sakit. Kini kukendarai motor dengan pelan-pelan menuju rumahnya melewati tempat kecelakaan tadi dan masuk gang, terus masuk hingga sampai di rumah berdinding anyaman bambu yang bagian bawahnya telah berlubang sebab dimakam oleh rayap.

Sebuah rumah yang sebenarnya tak layak disebut rumah, bahkan hampir sama dengan kandang ayam milikku di rumah. Walaupun aku juga sama bukan orang kaya, tapi melihat gubuk anak kecil ini seakan hatiku diiris pilu dan malu. Seharusnya aku lebih banyak bersyukur, setidaknya walaupun aku juga hidup apa adanya tapi kebutuhan sehari-hari tercukupi.

Kuketok pintu rumahnya dan dibuka oleh sosok wanita tua yang kira-kira umurnya hampir seabad. Aku pun kini telah duduk di dalam serta menceritakan apa yang telah terjadi. Dan tanpa diminta mereka pun menceritakan kehidupannya. Allah, ternyata anak kecil yang kutabrak tadi bukan anak wanita tua. Wanita tua tersebut sebenarnya hanya janda yang hidup sebatang kara. Hingga suatu hari saat ia bekerja sebagai pemulung menemukan kardus yang saat dibuka ternyata bayi merah.

Wanita tua tersebut pun telah mengumumkan bayi tersebut pada orang-orang sekitar. Tapi, tak ada yang tahu bayi siapa dan tak ada yang mengakuinya. Mungkin si bayi adalah hasil dari hubungan haram sepasang kekasih yang tak bertanggung jawab dengan perbuatannya. Tapi bayi ini suci. Wanita tersebut tak sanggup membiarkan sendiri, hingga akhirnya ia rawat dan besarkan sampai sekarang ini.

Hatiku benar-benar seakan diremas-remas rasa prihatin. Ternya aku telah menabrak anak kecil yang hanya memiliki nenek tua sebagai orang tua angkatnya. Melihat keadaan, pekerjaan dan cerita si wanita tua yang lebih tepatnya dipanggil nenek tersebut aku menangis. Lalu aku pamit pergi sebentar dan berjanji akan segera kembali. Aku pulang, kuambil uang tabungan untuk pendaftaran kuliah anakku dan kuberikan pada mereka. Dan kali ini aku gagal kembali menjadi orang tua yang ingin mengantarkan anakku ke dunia perkuliahan. Maafkan bapak, Nak.

Cilacap:11-Maret-2021.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun