Teringat satu tahun yang lalu saat anakku baru lulus sekolah. Saat itu sebenarnya ingin langsung mendaftarkan ia kuliah, tapi ada saja kebutuhan yang datang tak diduga, istriku sakit berat hingga harus dirawat beberapa hari di Rumah Sakit. Tak ayal, uang tabungan ngojek dua tahun yang lalu habis untuk membiayai pengobatan istriku dan mau tak mau keinginan kuliah harus diundur. Tapi, kini semua doa dan usaha seakan telah terjawab. Aku melamun, dan ... Allah ...
'Brakkkkk'
Aku terpelanting dan jatuh di pinggir jalanan yang berumput. Tapi terlihat di tengah jalan sosok anak kecil terkapar penuh darah. Allah ..., aku menabrak anak kecil yang keluar dari gang perumahan mau berangkat sekolah. Orang-orang kemudian pada datang mengerumuni diriku dan sebagian lainnya membawa anak kecil menuju ke klinik terdekat. Alhamdulillah, aku tak apa-apa, tapi bagaimana dengan anak kecil itu?
Aku pun turut ikut ke klinik. Aku ingin bertanggung jawab, walaupun entah pada kecelakaan tadi siapa yang salah. Anak kecil itu tiba-tiba selonong dari gang sempit perumahan dan aku kurang konsentrasi pada saat berkendara. Tapi semoga tak terjadi hal yang fatal pada anak kecil itu, semoga saja.
Syukur pada-Nya ternyata anak kecil tersebut tak apa-apa. Hanya lecet kecil di bagian kepala. Biaya pengobatan tak sampai seratus ribu. Lalu, kuantar anak kecil untuk pulang ke rumah atau tetap berangkat ke sekolah. Ia jawabnya ingin pulang saja, katanya kepalanya sakit. Kini kukendarai motor dengan pelan-pelan menuju rumahnya melewati tempat kecelakaan tadi dan masuk gang, terus masuk hingga sampai di rumah berdinding anyaman bambu yang bagian bawahnya telah berlubang sebab dimakam oleh rayap.
Sebuah rumah yang sebenarnya tak layak disebut rumah, bahkan hampir sama dengan kandang ayam milikku di rumah. Walaupun aku juga sama bukan orang kaya, tapi melihat gubuk anak kecil ini seakan hatiku diiris pilu dan malu. Seharusnya aku lebih banyak bersyukur, setidaknya walaupun aku juga hidup apa adanya tapi kebutuhan sehari-hari tercukupi.
Kuketok pintu rumahnya dan dibuka oleh sosok wanita tua yang kira-kira umurnya hampir seabad. Aku pun kini telah duduk di dalam serta menceritakan apa yang telah terjadi. Dan tanpa diminta mereka pun menceritakan kehidupannya. Allah, ternyata anak kecil yang kutabrak tadi bukan anak wanita tua. Wanita tua tersebut sebenarnya hanya janda yang hidup sebatang kara. Hingga suatu hari saat ia bekerja sebagai pemulung menemukan kardus yang saat dibuka ternyata bayi merah.
Wanita tua tersebut pun telah mengumumkan bayi tersebut pada orang-orang sekitar. Tapi, tak ada yang tahu bayi siapa dan tak ada yang mengakuinya. Mungkin si bayi adalah hasil dari hubungan haram sepasang kekasih yang tak bertanggung jawab dengan perbuatannya. Tapi bayi ini suci. Wanita tersebut tak sanggup membiarkan sendiri, hingga akhirnya ia rawat dan besarkan sampai sekarang ini.
Hatiku benar-benar seakan diremas-remas rasa prihatin. Ternya aku telah menabrak anak kecil yang hanya memiliki nenek tua sebagai orang tua angkatnya. Melihat keadaan, pekerjaan dan cerita si wanita tua yang lebih tepatnya dipanggil nenek tersebut aku menangis. Lalu aku pamit pergi sebentar dan berjanji akan segera kembali. Aku pulang, kuambil uang tabungan untuk pendaftaran kuliah anakku dan kuberikan pada mereka. Dan kali ini aku gagal kembali menjadi orang tua yang ingin mengantarkan anakku ke dunia perkuliahan. Maafkan bapak, Nak.
Cilacap:11-Maret-2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H