Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepetak Sawah

6 Maret 2021   19:21 Diperbarui: 6 Maret 2021   19:26 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


"Kenapa tidak bertani saja, Nak?" Tanya Bapak kala itu. Selama ini pekerjaan Bapak memang hanya mutlak sebagai petani. Walaupun sawah Bapak tak luas-luas amat, tapi dari sawahlah beliau mampu menghidupi keluarga, bahkan mampu membiayai sekolahku hingga tamat SMA. Pekerjaan menggarap sawah memang membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa. Bayangkan saja, dalam satu tahun hanya mampu panen padi dua kali. 

Sedang zaman sekarang ini kebutuhan tak sama dengan generasi masa Bapak, pikirku."Tenang, Pak. Aku yakin usaha buka toko akan sukses," ucapku untuk meyakinkan Bapak. Aku tetap bersikukuh ingin membuka usaha berdagang. Membuat toko kecil-kecilan dan itu butuh biaya sebagai modal. 

Hanya ada satu pilihan, ialah menjual sebagian sawah. Sebagai anak tunggal dari kecil kebutuhan dan keinginanku memang sering dituruti, hingga kini saat aku membutuhkan modal usaha membuka toko mau tak mau akhirnya Bapak menjual setengah dari sawah miliknya.

Bapak sudah tua dan beliau sering sakit-sakitan. Aku tak tega melihat beliau kesehariannya berada di sawah terpanggang terik petala mayapada dan hasilnya juga tak seberapa. Sedang salah satu temanku yang hanya memiliki usaha warung di kota saja--tanpa memiliki sawah--ia bisa meraup untung yang lumayan. Dalam satu hari bisa mendapatkan laba bersih lebih dari tiga ratus ribu. Bekerja di sawah? Ah, cuma dapat lelah.

Seminggu kemudian setelah setengah petak sawah terjual, aku telah mengantongi uang yang lebih dari cukup untuk modal. Kini sawah keluarga kami tinggal setengah bahu. Uang hasil menjual sawah pun aku gunakan sesuai tujuan: membeli material bangunan, mengerjakan tukang bangunan dan setelah toko jadi aku isi dengan jenis dagangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat sekitar--sembako.

Beberapa bulan tokoku buka disambut antusias oleh masyarakat. Daganganku lumayan laris. Memang rata-rata barang yang aku jual lebih murah dari toko yang lain. Aku tak mengambil untung banyak-banyak, tapi di satu sisi uang hasil berdagang hanya habis berputar untuk membeli dagangan lagi. Dan itu berlanjut hingga hampir setengah tahun.

Di bulan ketujuh berikutnya aku ingin membesarkan toko, tapi uang hasil untung dari berdagang tak cukup. Kesimpulannya aku mencoba untuk meminjam pada bank dengan jaminan seperempat bahu sawah. Walaupun awalnya Bapak tak setuju, tapi setelah aku mati-matian membujuk akhirnya beliau mau.

Kini tokoku bukan lagi toko kecil-kecilan seperti semula. Beberapa macam dagangan tak hanya sembako pun telah tersedia. Namanya di kampung pedesaan sebesar apapun toko tetap saja yang membeli tidak seramai toko-toko di perkotaan besar yang padat penduduk banyak orang. Sedikit dapat untung istilahnya hanya pak-puk habis lagi untuk membeli dagangan baru. Aku berpikir keras, tapi belum juga aku jumpai apa itu solusi.

Bulan ke sembilan. Pembeli yang datang ke tokoku ajeg seperti dulu. Keadaan mulai tak stabil. Sebagian uang laba hanya lari untuk setoran menutup pinjaman di bank. Daganganku tak lagi lengkap membuat pembeli pun mulai berkurang. Selain itu banyak pula orang-orang yang mendirikan toko baru. Persaingan dalam perdagangan pun semakin terasa.

Satu tahun setengah aku membuka toko dengan mengorbankan sawah milik orang tua. Kini, tokoku benar-benar di ambang gulung tikar. Dan ternyata benar, aku bangkrut, toko tutup, hutang masih menumpuk. Benar-benar aku stres, Tuhan. Orang tua mana yang tega melihat anaknya kelimpungan dalam impitan hutang, akhirnya Bapak menjual 200 ubin sawah untuk menutupi hutang-hutangku beserta bunganya di bank. Kini sawah Bapak hanya tinggal sepetak berukuran 50 ubin. Aku merasa bersalah pada Bapak dan merasa gagal dalam mencapai kesuksesan yang dulu aku gadang-gadangkan.

"Tak apa, Nak. Lagian harta, sawah, pekarangan dan apapun toh semuanya hanya titipan dari-Nya," jawab Bapak suatu malam saat aku meminta maaf padanya.

Pagi harinya aku ikut Bapak ke sawah untuk matun[1] dan setelah rada siang kami berdua duduk di pematang sawah. Satu botol plastik berisi air mineral dan beberapa potong rebusan singkong kami santap sambil merasakan panas mentari yang membakar diri.

"Bapak mau tanya, Nak. Kenapa tanaman padi perlu diwatun?" Tanya Bapak sambil meledekku.

"Ya, biar bersih tak ada rumputnya, Pak," jawabku sekenanya.

"Benar, Nak. Tujuan matun salah satunya untuk membersihkan rumput atau gulma yang tumbuh liar di sekitar tanaman padi. Kelak kalau kamu sudah menikah jika sudah punya anak jangan lupa anakmu diwatun, ya." Aku terperanjat kaget, bingung dan heran.

"Maksudnya, Pak?" Aku utarakan rasa penasaranku pada beliau maksudnya matun anak itu apa.

"Tanaman padi diwatun agar tumbuh dengan baik. Begitu juga anak saat tumbuh perlu diwatun agar ia menjadi anak yang baik tidak terganggu oleh gulma atau pemahaman liar yang tumbuh di sekitar," jelasnya. Ah, Bapak ada-ada saja, belum juga aku menikah sudah membahas matun anak. Aku merasa menemukan ilmu baru. Ilmu sederhana dari orang tua yang diajarkan lewat sepetak sawah. Tak terasa mataku berkaca-kaca menyimak ucapan Bapak.

Matahari semakin meninggi tepat di pusar cakrawala. Suara azan dari surau-surau pedesaan mulai terdengar saling bersahutan. Kami berdua pun beranjak pulang ke rumah melewati pematang sawah.

Beberapa hari kesibukanku kini hanya di sawah. Tak ada upah wong aku hanya mengharap sawah milik keluarga sendiri. Tapi banyak hal-hal berharga yang bagiku kini nilainya lebih dari sekedar harta benda. Tentang pengetahuan baru, tentang ilmu, tentang bagaimana leluhurku dan lain sebagainya.

Hingga musim panen tiba. Sepetak sawah milik Bapak dipanen oleh tetangga yang tidak memiliki sawah. Walaupun hanya sepetak sawah, tapi Bapak tetap saja mengerjakan orang lain. Kata beliau itung-itung membantu tetangga. Lagi-lagi aku benar-benar bodoh di hadapan Bapak. Andai waktu bisa diputar kembali mungkin satu bahu sawah Bapak tak akan aku pinta untuk dijual.

Bapak mengajarkan banyak hal. Dari bertani setidaknya dapat membuka lapangan pekerjaan walaupun hanya untuk tetangga sekitar. Bertani mengajarkan tentang merawat kehidupan; kehidupan tanaman padi, kehidupan masyarakat lain yang menjadikan nasi sebagai makanan pokok, bahkan kehidupan hewan-hewan kecil yang bertempat tinggal di sawah.

Andai kelak sawah tiada lagi digantikan dengan gedung-gedung pencakar langit atau industri-industri yang mendatangkan polusi. Mungkin aku baru sadar bahwa bertani bukan sekedar tentang profesi mencari rezeki, bertani adalah budaya para leluhur yang diwariskan, yang seharusnya aku lestarikan. Dan bertani bukan sekedar menanam padi, tapi lebih dari itu; para petani adalah pahlawan negeri yang kini profesi bertani tidak terlalu diminati oleh para generasi muda-mudi.

***

Air mataku deras mengalir di pipi. Aku masih ingat kata Bapak bahwa kehidupan di dunia semuanya hanya titipan-Nya dan saat diambil oleh Yang Maha Esa siapa pun tak mampu menolak. Begitu juga peran Bapak di dunia hanya titipan yang harus aku ikhlaskan saat kini raga Bapak diam tak bergerak. "Bapak ... Mengapa engkau cepat pergi, sedang aku belum sepenuhnya paham bagaimana cara bertani yang baik."

Catatan:
 1. matun: menyiangi gulma di sawah atau tegalan.

Cilacap:6-Maret-2k21

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun