Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kematian Imah

24 Februari 2021   22:56 Diperbarui: 24 Februari 2021   23:28 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bening embun pagi belum beranjak pergi dari daun-daun pepohonan. Namun pada hari Selasa Legi ini suasana kampung Margaroyo telah digegerkan dengan kematian seorang gadis cantik bernama Imah yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. 

Banyak warga yang tidak percaya dengan kematian Imah putri semata wayang dari pasangan suami-istri Sudarmin dan Ngasiyah yang saban harinya jarang keluar rumah. Sesekali terlihat Imah keluar rumah hanya di halaman untuk menjemur pakaian atau sekedar memberi makan ayam-ayam milik orang tuanya. 

Sudarmin terlihat sangat terpukul dengan kematian Imah, sedang Ngasiyah yang terpasung di kamar belakang rumah terlihat biasa-biasa saja, bahkan Ngasiyah tampak sesekali cekikikan tertawa bahagia. Sejak Ngasiyah si wanita yang telah mengandung Imah selama sembilan bulan tahu bahwa anaknya lahir tidak seperti pada umumnya, ia tak bisa menerima kecacatan Imah yang bisu dan keterbelakangan mental. 

Sering kali Ngasiyah memukuli Imah hingga berdarah. Hal itu, membuat Sudarmin tak tega melihat putrinya disiksa, hingga akhirnya Sudarmin terpaksa memasung Ngasiyah istrinya yang sakit jiwa tak bisa menerima Imah sebagai anaknya, sebagai buah hatinya, sebagai putrinya dan sebagai titipan dari Yang Maha Esa.

Saat mentari telah tampak sempurna di ufuk timur cakrawala. Para warga banyak yang sudah berkumpul di rumah Sudarmin, sebagian mereka membuat keranda dari bambu dan sebagian yang lain sibuk mengurusi apapun keperluan untuk proses pemakaman jenazah Imah. 

Sudarmin masih terlihat belum bisa menerima kematian Imah, ia sejak tadi hanya diam, diam dan diam. Mungkin Sudarmin tak menyangka anak satu-satunya yang telah ia besarkan hingga umur 27 tahun dengan susah payah harus berakhir dengan seutas tali yang mengikat di leher. Tapi, walaupun Imah telah berumur 27 tahun ia masih berperilaku layaknya anak usia belasan, ditambah kebisuannya membuat perkembangan Imah benar-benar tertinggal jauh dari anak-anak yang lahir sebaya dengannya.

Melihat ada kejanggalan dalam kematian Imah, si gadis bisu dan lugu, sebenarnya Pak Hadi, selaku ketua RT kampung Margaroyo telah menawarkan pada Sudarmin agar jenazah Imah diautopsi. Tapi Sudarmin menolak tawaran dari Pak Hadi. Sudarmin hanya meyakini kematian Imah adalah takdir. Selain itu juga Pak Hadi mendapat laporan dari warga yang memandikan jenazah, bahwa tidak ada tanda-tanda kekerasan dalam tubuh Imah.

Setelah proses merawat jenazah mulai dari dimandikan, dikafani, disalatkan dan terakhir dikubur telah selesai. Warga kemudian kembali ke rumah masing-masing. Hanya beberapa warga yang masih berkumpul berada di rumah Sudarmin. Sebagian ibu-ibu tetangga sibuk di dapur rumah Sudarmin memasak makanan selamatan untuk jamuan orang-orang yang nanti malam membacakan doa-doa dan lain sebagainya.

Selain itu, meninggalnya Imah yang tepat pada malam Selasa Legi--konon katanya gadis perawan yang mati pada malam Selasa Legi banyak diincar oleh orang-orang yang mementingkan kepentingannya pribadi mencuri tali pocong untuk mengejar kekayaan dengan cara pesugihan. Keyakinan warga dengan mitos tali pocong Imah yang masih perawan, membuat sebagian warga menawarkan diri untuk menjaga makam Imah nanti malam.

"Tenang, Pak. Nanti malam sebagian warga akan berjaga di makam Imah," ucap Pak Hadi pada Sudarmin memberitahukan perihal penjagaan makam putrinya.

"Apakah itu perlu, Pak?" Sudarmin malah balik bertanya. Mendengar pertanyaan Sudarmin sebenarnya Pak Hadi heran, tapi beliau memaklumi mungkin Sudarmin masih terpukul dengan kematian Imah hingga berbicara sekenanya.

"Sepertinya sangat perlu. Bukannya sudah menjadi tradisi di kampung kita ini siapa yang meninggal hari Selasa Legi atau Jumat Kliwon sebagian warga akan ditugaskan untuk berjaga. Ya, itung-itung ikhtiar dengan dijaga mbok terjadi apa-apa." Jelas Pak Hadi ketua RT kampung Margaroyo.

Sudarmin kembali terdiam. Pak Hadi yang melihat Sudarmin terdiam, beliau lantas beranjak pergi membiarkannya sendiri duduk termenung dengan raut wajah yang semakin lesu. Sebagai sesama lelaki, sama juga mempunyai seorang putri, sama sebagai orang tua, Pak Hadi paham betul apa yang kini dirasa Sudarmin yang baru ditinggal buah hati satu-satunya. 

Jelas Sudarmin sangat berduka dan memendam kesedihan yang mendalam. Ah, jika ada peribahasa rumput milik tetangga tampak lebih hijau, mungkin tidak berlaku bagi tetangga Sudarmin, melihat keluarga Sudarmin si lelaki yang hanya bekerja mencari pasir di kali, putrinya cacat dan istrinya sakit jiwa.

Alam telah memetang ditambah pula mendung hitam yang ujug-ujug datang seperti turut berbelasungkawa atas kematian si Imah dan ikut bersedih menemani kesedihan Sudarmin. Dan benar malam ini saat acara awal dari tujuh hari selamatan kematian Imah dimulai, hujan turut turun dengan derasnya. Berharap hujan akan segera reda, tapi yang diharapkan tak sesuai kenyataan. Hingga selesai acara selamatan, hujan masih turun dengan derasnya bahkan kini suara petir terdengar menggelegar saling sahut-sahutan membuat malam semakin tampak mencekam.

"Lalu, bagaimana dengan penjagaan makam Imah?" Tanya Ramlan salah satu warga yang ditugaskan untuk menjaga makam pada Pak Hadi.
"Sepertinya tidak aman hujan-hujan deras begini di kuburan menjaga makam. Bisa-bisa malah yang jaga pada sakit. Tapi, pesan saya nanti kalau hujannya reda kalian bisa berangkat ke kuburan untuk berjaga, ya," ucap Pak Hadi menginstruksikan pada warganya yang ditugaskan berjaga.

Di luar hujan masih mengguyur kampung Margaroyo dengan asyiknya. Beberapa warga yang selamatan beranjak pulang meninggalkan rumah almarhumah Imah. 

Kini tinggal Sudarmin dan Ngasiyah istrinya melewati malam yang semakin larut. Hanya terdengar gemuruh hujan dan petir yang saling bersahut. Satu persatu lampu-lampu ruangan rumah Sudarmin padam berganti petang yang menyatu dengan malam. Hujan deras yang mencekam saat ini semoga saja, ya, semoga saja menjadi penjaga agar makam Imah tidak dirusak oleh manusia-manusia yang menghamba pada dunia dan harta benda.

***

"Sial ... sial ... sial," gerutu lelaki yang menutup wajahnya dengan sarung. Hanya tampak kedua matanya seperti ninja. Ia terpeleset kala menyusuri tanah pekuburan yang letaknya agak miring di bukit pegunungan kampung Margaroyo. Pekuburan yang berlumpur dan hujan yang terus mengguyur membuat tanah licin untuk dilewati. Tapi, apa yang dilakukan lelaki berkerudung sarung dini hari seperti ini di pekuburan? Dan ia membawa cangkul untuk apa? Jangan-jangan? Oh, Tuhan.

Lelaki berkerudung sarung terus berjalan melewati makam-makam pekuburan dan beberapa kali ia terpeleset lagi. Bahkan kakinya kini berdarah sebab tersandung batu nisan yang menghalangi langkahnya. Ia terus berjalan menyusuri gelap malam, menembus tetes-tetes deras hujan hingga ia telah sampai di samping tumpukan tanah merah makam anyar seorang gadis yang baru dikubur siang tadi.

Benar saja, lelaki berkerudung sarung itu bertujuan merusak makam Imah. Dengan sigapnya ia ayunkan cangkul satu kali, dua kali dan terus terayun berkali-kali menggali makam Imah putri Sudarmin. Sungguh laknat. Tidak adakah cara mencari rezeki selain pesugihan yang nikmatnya hanya sementara? 

Kasihanilah mayat Imah wahai alam, wahai semesta, wahai Yang Maha Esa. Andai saja tidak turun hujan mungkin sebagian warga ada yang berjaga sehingga lelaki bejat berkerudung sarung itu tak dapat merusak makam Imah. Alam malah seperti merestui makam Imah dirusak atau sejatinya alam dengan hujan yang deras ini menjaga makam Imah, hanya saja lelaki berkerudung sarung itu nekat untuk melakukan perbuatan bejat?

Makam Imah kini benar-benar telah rusak, patok nisannya tercabut dan dilemparkan entah ke mana oleh lelaki berkerudung sarung. Beberapa kali lelaki itu mendengus kesal sebab tanah kubur yang tergali kembali ke dalam hanyut oleh air hujan. Tapi tetap saja ia ayunkan cangkulnya terus, terus dan terus tanpa henti. Hingga kini papan-papan yang menutupi mayat Imah beristirahat dalam lahad telah tampak. Lelaki berkerudung sarung bergumam lirih, "akhirnya."

Satu persatu papan ia ambil dan perlahan pocong Imah terlihat. Hujan yang masih turun dengan derasnya membuat air bercampur lumpur mengalir ke liang lahad mengotori putih kafan yang membalut mayat Imah. Bujur kaku pocong Imah telah tampak sepenuhnya, lelaki yang berkerudung menyingkap kain sarung bagian bawah yang menutupi wajahnya dan sejurus kemudian kepalanya menjulur ke pocong Imah dan mulailah satu persatu tali pocong ia ambil dengan gigitan mulutnya; mulai dari tali bagian atas, tengah hingga terakhir tali bagian bawah kaki Imah.

Semua tali pocong Imah telah didapatkan oleh lelaki berkerudung sarung. Belum puas dengan tali pocongnya kemudian lelaki itu mengeluarkan mayat Imah dari lahad ke bagian sebelahnya. 

Kini, satu demi satu lapisan kafan Imah ia buka dan tampaklah aurat mayat Imah. Lelaki berkerudung sarung menanggalkan celana kolor yang ia kenakan lalu menindih mayat Imah dan sungguh teramat bejat apa yang kini dilakukan lelaki berkerudung sarung itu. Ia setubuhi mayat perawan Imah yang suci. 

Di langit suara petir menggelar, hujan turun semakin deras bercampur angin kencang. Bunga-bunga pohon kemboja pekuburan gugur jatuh dan kotor ternoda lumpur seperti bunga kehormatan Imah yang kini dirampas oleh manusia berwatak binatang. Bahkan, sebejat-bejatnya binatang pun tak ada sejarahnya menyetubuhi bangkai binatang lainnya yang telah mati.

***

Oh, Imah gadis cantik berkulit putih itu yang kala senyum tampak gigi gingsulnya menambah elok rupa wajahnya. Oh, Imah gadis yang semasa hidupnya dirundung derita sebab ibunya tak menginginkan ia lahir di dunia, hanya Sudarmin tepat Imah mendapat kasih sayang. 

Oh, Imah gadis suci yang membawa kesuciannya hingga akhir usia mengapa kini terpaksa dinodai oleh lelaki bejat budak setan yang terlaknat. Mengapa Tuhan? Mengapa tak Engkau sudahi penderitaan Imah bahkan hingga ia mati pun masih mendapatkan musibah? Ah, biarlah apa yang kini dilakukan lelaki berkerudung sarung pada Imah tak tertulis dalam cerita ini. Terlalu nista, hina dan keji.

***
Mayat Imah kini telah ternoda. Lelaki berkerudung sarung bangkit dan mencoba keluar dari dalam kubur Imah. Tapi ia terpeleset lalu bangkit kembali dan bersamaan dengan itu tanah bagian atas liang lahad Imah ambruk dan longsor memendam sebagian tubuh lelaki berkerudung sarung hingga sampai dadanya. 

Lelaki itu berusaha keluar dari impit longsoran tanah, tapi usahanya seakan sia-sia sebab air hujan yang mengalir dari atas bukit membawa lumpur membuat lelaki itu semakin terkubur. Lelaki berkerudung sarung masih terus berusaha dan terus berusaha berpacu dengan deras air hujan yang perlahan menenggelamkannya. Lelaki itu mengerang dan berteriak meminta tolong namun suaranya kalah dengan pekik petir yang menggelegar.

***

Saat fajar hadir di cakrawala hujan perlahan reda hingga benar-benar reda. Pak Ramlan salah satu warga yang ditugaskan berjaga pergi ke kuburan untuk mengecek makam Imah. Dari jarak beberapa meter Ramlan terperanjat kaget melihat makam Imah yang tak lagi berupa makam. Buru-buru ia kembali ke kampung mendatangi rumah Pak Hadi melaporkan info apa yang ia dapati. 

Pak Hadi yang baru beberapa menit bangun tidur segera meluncur ke kuburan bersama Ramlan. Pak Hadi tak sempat mendatangi rumah Sudarmin, ia berpikir kasihan pada Sudarmin yang baru berduka. Biarlah nanti info ini Pak Hadi sampaikan saat ia benar-benar telah melihat sendiri, benarkah makam Imah dirusak.

Benar juga makam Imah tak lagi berupa makam. Makam dipenuhi air, beberapa papan berserakan di sekitar, dan nisannya entah di mana. Pak Hadi menyuruh Ramlan menguras air yang menggenangi lubang makam Imah dengan ember plastik yang tadi dibawa dari rumah. Perlahan air surut dan tampak kepala seseorang yang tubuhnya terpendam. Segera kedua lelaki itu turun dan menyibak kerudung sarungnya. Sebelumnya Pak Hadi benar-benar paham siapa warganya yang memiliki sarung dengan corak seperti itu, sarung yang dikenakan oleh seseorang lelaki yang tadi malam berada di rumah Sudarmin.

Saat kerudung sarung itu terbuka tampaklah wajah muka seseorang yang kotor berlumuran lumpur. Pak Hadi dan Ramlan terperangah dan terkejut, hampir tak percaya dengan apa yang kini dilihat oleh mereka berdua. 

Wajah lelaki berkerudung sarung itu adalah wajah lelaki yang bekerja sebagai pencari pasir di kali, suami dari Ngasiyah dan Bapak dari almarhumah Imah. Beberapa pertanyaan seketika hadir dalam benak Pak Hadi dan Ramlan yang kini saling pandang kebingungan. Benarkah Imah mati murni karena bunuh diri? Atau ia dibunuh sebagai tumbal agar tujuan pesugihan tercapai?

Cilacap:24-Feb-2k21.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun