Mohon tunggu...
Islah oodi
Islah oodi Mohon Tunggu... Penulis - Wong Ndeso

Penikmat kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Kematian Imah

24 Februari 2021   22:56 Diperbarui: 24 Februari 2021   23:28 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sepertinya sangat perlu. Bukannya sudah menjadi tradisi di kampung kita ini siapa yang meninggal hari Selasa Legi atau Jumat Kliwon sebagian warga akan ditugaskan untuk berjaga. Ya, itung-itung ikhtiar dengan dijaga mbok terjadi apa-apa." Jelas Pak Hadi ketua RT kampung Margaroyo.

Sudarmin kembali terdiam. Pak Hadi yang melihat Sudarmin terdiam, beliau lantas beranjak pergi membiarkannya sendiri duduk termenung dengan raut wajah yang semakin lesu. Sebagai sesama lelaki, sama juga mempunyai seorang putri, sama sebagai orang tua, Pak Hadi paham betul apa yang kini dirasa Sudarmin yang baru ditinggal buah hati satu-satunya. 

Jelas Sudarmin sangat berduka dan memendam kesedihan yang mendalam. Ah, jika ada peribahasa rumput milik tetangga tampak lebih hijau, mungkin tidak berlaku bagi tetangga Sudarmin, melihat keluarga Sudarmin si lelaki yang hanya bekerja mencari pasir di kali, putrinya cacat dan istrinya sakit jiwa.

Alam telah memetang ditambah pula mendung hitam yang ujug-ujug datang seperti turut berbelasungkawa atas kematian si Imah dan ikut bersedih menemani kesedihan Sudarmin. Dan benar malam ini saat acara awal dari tujuh hari selamatan kematian Imah dimulai, hujan turut turun dengan derasnya. Berharap hujan akan segera reda, tapi yang diharapkan tak sesuai kenyataan. Hingga selesai acara selamatan, hujan masih turun dengan derasnya bahkan kini suara petir terdengar menggelegar saling sahut-sahutan membuat malam semakin tampak mencekam.

"Lalu, bagaimana dengan penjagaan makam Imah?" Tanya Ramlan salah satu warga yang ditugaskan untuk menjaga makam pada Pak Hadi.
"Sepertinya tidak aman hujan-hujan deras begini di kuburan menjaga makam. Bisa-bisa malah yang jaga pada sakit. Tapi, pesan saya nanti kalau hujannya reda kalian bisa berangkat ke kuburan untuk berjaga, ya," ucap Pak Hadi menginstruksikan pada warganya yang ditugaskan berjaga.

Di luar hujan masih mengguyur kampung Margaroyo dengan asyiknya. Beberapa warga yang selamatan beranjak pulang meninggalkan rumah almarhumah Imah. 

Kini tinggal Sudarmin dan Ngasiyah istrinya melewati malam yang semakin larut. Hanya terdengar gemuruh hujan dan petir yang saling bersahut. Satu persatu lampu-lampu ruangan rumah Sudarmin padam berganti petang yang menyatu dengan malam. Hujan deras yang mencekam saat ini semoga saja, ya, semoga saja menjadi penjaga agar makam Imah tidak dirusak oleh manusia-manusia yang menghamba pada dunia dan harta benda.

***

"Sial ... sial ... sial," gerutu lelaki yang menutup wajahnya dengan sarung. Hanya tampak kedua matanya seperti ninja. Ia terpeleset kala menyusuri tanah pekuburan yang letaknya agak miring di bukit pegunungan kampung Margaroyo. Pekuburan yang berlumpur dan hujan yang terus mengguyur membuat tanah licin untuk dilewati. Tapi, apa yang dilakukan lelaki berkerudung sarung dini hari seperti ini di pekuburan? Dan ia membawa cangkul untuk apa? Jangan-jangan? Oh, Tuhan.

Lelaki berkerudung sarung terus berjalan melewati makam-makam pekuburan dan beberapa kali ia terpeleset lagi. Bahkan kakinya kini berdarah sebab tersandung batu nisan yang menghalangi langkahnya. Ia terus berjalan menyusuri gelap malam, menembus tetes-tetes deras hujan hingga ia telah sampai di samping tumpukan tanah merah makam anyar seorang gadis yang baru dikubur siang tadi.

Benar saja, lelaki berkerudung sarung itu bertujuan merusak makam Imah. Dengan sigapnya ia ayunkan cangkul satu kali, dua kali dan terus terayun berkali-kali menggali makam Imah putri Sudarmin. Sungguh laknat. Tidak adakah cara mencari rezeki selain pesugihan yang nikmatnya hanya sementara? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun