lelaki menaruh rasa padanya. Tak hanya terkenal cantik rupa, dia juga terkenal cantik hatinya.Â
Suhesti, anak Kyai Zubad pemangku surau tua desa Kalilancar memang terkenal memiliki wajah yang cantik jelita dan menjadi bunga desa sehingga hampir semuaAku pun kepincut dengan kecantikan yang dimiliki Suhesti, tapi apa mau dikata? Soal rasa memang tak bisa dipaksa. Pernah suatu saat aku nekat mengungkapkan rasa padanya, namun hanya terbalas kecewa. Ditolak. Penolakan cinta tak membuatku lantas berputus asa, malah rasa yang ada di dalam dada kini seakan semakin membara memenuhi tiap-tiap sudut sukma.Â
Ah, entah ini cinta atau apa, yang jelas hanya membuat hati tersiksa kala namanya tiap waktu bertalu-talu dalam kalbu. Aku benar-benar ingin memiliki, ingin menjadikan Suhesti sebagai seorang istri, tak peduli apa pun akan kulakukan demi ambisi ini tercapai.
Kini, tak hanya satu atau dua kali kuungkapkan keinginan hati. Jawabannya pun tetap sama. Ia tolak kembali. Mungkin aku yang tak sadar diri, seorang lelaki biasa yang sering mabuk-mabukan menaruh rasa pada seorang Ning, putri Kyai. Jelas, Suhesti seorang perempuan ia memiliki kriteria siapa yang layak menjadi pendamping hidupnya. Tapi, bagaimana dengan rasa ini? Aku yang salah atau Tuhan yang salah menaruh rasa begitu luar biasa dalam jiwa. Benar-benar aku tergila-gila padanya. Apa pun cara akan aku tempuh asal bisa mendapatkan Suhesti.
***
"Gimana, Cok? Diterima tidak?" Suara Bari bertanya padaku yang sedang meluapkan rasa kesal sambil kumpul minum-minuman keras dengan teman-teman.
"Gak," jawabku singkat menahan sakit hati yang tidak berkesudahan.
"Lah, raimu itu loh, harusnya sadar diri," ucap teman lainnya yang hanya menambah kegeraman.
"Berkali-kali cinta ditolak, solusinya, ya, dukun bertindak," celoteh Bari disusul gelegak tawa dari mulut-mulut yang berbau alkohol.
Aku mendengus kesal sambil berlalu keluar berjalan pulang ke rumah dengan keadaan sempoyongan. Sesekali kakiku tersandung batu jalanan malam yang gelap, segelap hati ini yang harus terus-menerus membayangkan wajah Suhesti. Sampailah aku di rumah peninggalan orang tua yang telah lama bubar bercerai dan kini entah keduanya berada di bumi bagian mana. Baru masuk rumah tubuhku langsung roboh dilantai yang masih berupa tanah.
Sorot cahaya matahari yang menembus kaca jendela membuatku terpaksa membuka mata. Ternyata sudah pagi. Kakiku terasa sakit, terlihat beberapa jari kaki berdarah. "Ah, bodoh amat," pikirku.Â
Dalam otak kepala yang ada kini hanya Suhesti dan satu lagi, perkataan si Bari. Benarkah jika dukun bertindak cinta akan didapat? Kata-kata si Bari seperti tetes hujan membasahi kering tanah kemarau panjang atau juga seperti aku yang lama tersesat menemukan jalan keluar. Akan kucoba mencari dukun yang bisa meruntuhkan pongahnya Suhesti atas pendiriannya menolak cintaku.
Akalku berpikir keras kiranya dukun mana yang akan aku datangi untuk dimintai pertolongan. Ya, aku punya kenalan Mbah tua yang hidup sebatang kara seperti diriku di ujung desa. Lebih baiknya aku ke sana untuk bertanya.
Tak perlu mandi-mandian, cukup cuci muka dan langsung meluncur menaiki sepeda ontel tua berkarat.
Sampai juga. Mbah tua ini memang terkenal dengan kejawenannya hingga paham masalah ilmu-ilmu mistis. Perbincangan pun dimulai, namun beliau hanya menyarankan aku untuk pergi ke luar kabupaten menemui orang yang benar-benar bisa membantu apa yang kini aku hajatkan. Cintanya Suhesti.
"Pergilah ke daerah gunung tugel. Di sana ada seorang pertapa yang bisa membantumu," ucapnya.
Aku pamit pulang. Kujual beberapa benda di rumah yang bisa diuangkan. Setelah uang serasa cukup, dengan beberapa bekal lainnya aku keluar rumah mencari kendaraan umum tujuan tempat yang kutuju. Perjalanan memakan waktu lebih dari sehari hingga aku sampai. Ini pun baru sampai terminal kota belum blusukan hingga tepat di gunung tugel. Hingga saat aku sampai di gunung tugel waktu telah hampir subuh memaksaku untuk sekejap beristirahat menginap di salah satu rumah penduduk yang mau aku singgahi.
Gunung tugel adalah desa yang memang berada di kaki pegunungan. Kehidupan warga di sini sepintas terlihat sama seperti desaku Kalilancar yang masih termasuk pedalaman belum terjamah dengan perkembangan. Beberapa kali aku bertanya pada penduduk tentang tempat yang kumaksud. Kini telah kukantongi informasi yang akan mengantarkanku pada si dukun.
Aku harus berjalan jauh ke pedalaman hutan untuk sampai di gubuk bambu rumah si dukun tinggal. Rumahnya hampir dipuncak gunung jauh dari penduduk desa. Sepi, sunyi dan hanya beberapa pohon besar yang umurnya ratusan tahun menjulang tinggi menjadikan tempat tersebut terkesan seperti tempat mati yang tak berpenghuni. Beberapa kali aku mengetuk gubuk tersebut hingga empunya keluar. Lelaki tua yang mengenakan surjan polos hitam dan blangkon. Beliau mengizinkan masuk.
"Wonten nopo, Ngger[1]?" Tanyanya saat aku sudah berada di ruang yang dipenuhi alat-alat musik seperti gamelan usang berdebu. Aku sampaikan semua apa yang menjadi tujuan. Beliau hanya duduk bersila sambil mulutnya mengulum kinang. Beliau menyanggupi permintaanku dengan dua syarat; aku harus keluar dari agama dan kedua nanti malam tepat bulan purnama lakukan ritual pengambilan jimat di tempat yang telah ditentukan oleh beliau. Tak banyak pikir aku menuruti dan siap melakukan dua syarat yang beliau berikan.
Malam telah tiba dengan suasana yang sepi dan gelap, tak ada listrik disini, hanya cahaya lampu teplok menerangi yang sesekali hampir padam sebab tertiup angin. Si Mbah membawaku pada tempat seperti persinggahan dengan batu-batu yang tertata rapi. Kata si Mbah tempat ini adalah petilasan Damar Wulan. Beberapa sesaji yang dipersiapkan khusus oleh si Mbah di atas tampah aku bawa, ada bunga entah berapa rupa, pisang ambon, beberapa lintingan tembakau dan benda-benda yang aku tak tahu maksudnya, seperti batu-batu dan beberapa logam tembaga, "mungkin benda pusaka," pikirku.
"Lungguh mriki, Ngger. Eling, njih! Mangke ampun sepindah-pindah mbikak netro, ajagno maos mantrane ugi sebut nami estri sing awakmu senengi[2]." Pesan si Mbah padaku saat kemudian beliau pergi membiarkan aku sendiri untuk melakukan semedi.
Lalu aku duduk bersila sambil kupejamkan mata dan mulailah mulutku lirih merapal mantra-mantra yang telah Mbah ajarkan. Lama, terasa hampir beberapa jam tak ada tanda apa-apa, yang terdengar hanya suara hewan-hewan malam ..., hingga--"laaappppp"--suara-suara hewan malam terhenti. Tak ada lagi suara jangkrik atau lainnya, tak ada embusan angin, yang kurasa hanya alam sekitar seperti mati seketika.Â
Tak lama hidungku mencium bau busuk yang teramat busuk, tapi tetap saja kupejamkan mata. Bau busuk itu seperti jelas berwujud dan kini bergelayut di sekitar tubuhku. Terus dan terus hingga dari jauh terdengar lolong suara wanita menjerit kesakitan seperti sedang sekarat dan seperti ..., Suara Suhesti, lalu hilang dan sunyi kembali. Kemudian perlahan bau busuk sirna.Â
Aku masih memejamkan mata, terasa beberapa kali telapak tangan seperti menepuk pundakku, tapi aku tetap diam dengan mata terpejam hingga suara Mbah terdengar memintaku untuk membuka mata dan mengatakan padaku bahwa aku telah selesai melewati ritual ini.
Dengan bantuan cahaya lampu teplok, tangan si Mbah meraba-raba sekitar tampah sesaji. Mataku melihat beliau mengambil beberapa helai rambut putih agak panjang sekitar setengah meter. Lalu kami kembali ke gubuk. Dalam gubuk Mbah memberikan rambut putih tersebut yang kini telah dibungkus dengan kain mori sambil berpesan untuk dijaga baik-baik dan mewanti-wanti agar aku tak kembali beragama jika ingin selamat. Aku mengiyakan dan beliau telah mengizinkan aku untuk pulang.
***
Langit telah petang saat kakiku sampai kembali di rumah. Serasa tubuhku remuk setelah beberapa hari bepergian. Di atas ranjang kurebahkan diri sambil berpikir, "terus bagaimana cara kerja jimat ini?" Tak lama dari luar seperti ada orang yang mengetuk pintu. Aku beranjak melihat gerangan siapa yang petang-petang datang. Paling juga teman-teman brengsek yang mau mengajak minum-minuman keras.
Perlahan kubuka pintu dan ..., Mataku hampir tak percaya melihat siapa sosok yang kini berdiri mematung di depanku. Suhesti. Ia menatapku sambil tersenyum. Senyum yang serasa membuat birahiku semakin tak terkontrol lagi. Dalam hati aku membatin, "ampuh juga jimatnya." Kupersilakan masuk. Tanpa lama-lama lalu kugandeng tangannya yang halus mulus masuk ke dalam kamar. Kami bercinta. Kupuas-puaskan nafsu bejatku merobek kesunyian Suhesti putri seorang Kyai.
Malam terus merambat pelan dilewati oleh dua insan yang memadu cinta tanpa merasa akan dosa. Aku jelas tak merasa berdosa sebab dosa hanya bagi mereka yang masih dalam naungan agama. Tapi bagaimana dengan Suhesti? Gadis jelita yang tiap sore hari mengajar ayat-ayat suci pada anak-anak kecil, kini seperti boneka pemuas nafsu bejat dari lelaki yang katanya mencintai. Apakah jalan keji dapat menghantarkan pada cinta yang kabarnya cinta sendiri pun suci?
Dua hari Suhesti berada di rumahku dia seperti telah menjadi seorang istri. Kabar hilangnya putri Kyai pun kini telah berdengung menjadi topik hangat warga desa Kalilancar. Dalam pikirku sepertinya tak aman jika harus tinggal di desa ini. Mau menikahi Suhesti pun adalah hal yang tidak mungkin, sebab dalam pernikahan ada kalimat syahadat pantangan bagiku agar selamat. Hanya ada satu cara agar aku bisa dapat terus bersama Suhesti, pergi dari desa ini.
Petang pada malam ketiga aku dan Suhesti meninggalkan desa. Pergi sejauh-jauhnya mencari tempat aman untuk bercinta. Hingga beberapa kilo meter kami menempuh perjalanan menaiki sepeda tua, sampailah di tepi bukit pinggir hutan belantara yang jarang disambangi oleh orang-orang pedesaanku ataupun desa tetangga. Beberapa hari di sini kini dengan ketelatenanku telah kubangan gubuk sederhana yang sekiranya bisa untuk tempat tinggal. Gubuk yang lebih buruk dari kandang ayam. Hanya ada satu ruangan. Ruangan bercinta.
Seminggu kami tinggal berdua. Benar-benar Suhesti kini seperti seorang istri yang sah bagiku. Ah, rasanya aku seperti hidup di surga. Impian ini, impian memiliki Suhesti kini telah tercapai. Ia wanita yang baik dan penurut, menuruti apa pun kemauanku. Menurut juga jika kadang harus makan bakaran bangkai ayam alas yang kudapatkan di hutan.
Menginjak dua mingguan aku merasakan ada sesuatu yang berubah darinya. Tak ada tawa indahnya, hanya kadang kala ia tersenyum, namun senyumannya pun hambar terasa. Lebih aneh lagi, saat aku dengannya bercinta, pada puncak-puncaknya kadang bau anyir dan bacin seperti keluar dari tubuhnya. Walaupun aku tak memedulikannya dan tetap bernafsu untuk bercinta.
Kini Suhesti lebih sering melamun duduk di depan gubuk, tatapan matanya kosong dan entah apa yang dipikirkan. Aku benar-benar penasaran padanya.
"Kamu kok sering melamun, Sayang. Ada apa?" Tanyaku di suatu sore hampir petang.
"Aku ingin kembali," jawabnya datar.
"Kembali ke mana? Rumah kita kan di sini, Sayang." Kujelaskan padanya.
"Aku ingin kembali pulang dengan tenang. Dikuburkan layaknya orang-orang."
"Deg!" Jantungku serasa berhenti berdetak.
Cilacap:15-02
Catatan:
 1.  Ada apa, Nak.
 2. Duduk sini, Nak. Ingat, ya! Nanti jangan sekali-kali membuka mata teruskan baca mantranya, juga sebut wanita yang dirimu sukai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H