Dalam otak kepala yang ada kini hanya Suhesti dan satu lagi, perkataan si Bari. Benarkah jika dukun bertindak cinta akan didapat? Kata-kata si Bari seperti tetes hujan membasahi kering tanah kemarau panjang atau juga seperti aku yang lama tersesat menemukan jalan keluar. Akan kucoba mencari dukun yang bisa meruntuhkan pongahnya Suhesti atas pendiriannya menolak cintaku.
Akalku berpikir keras kiranya dukun mana yang akan aku datangi untuk dimintai pertolongan. Ya, aku punya kenalan Mbah tua yang hidup sebatang kara seperti diriku di ujung desa. Lebih baiknya aku ke sana untuk bertanya.
Tak perlu mandi-mandian, cukup cuci muka dan langsung meluncur menaiki sepeda ontel tua berkarat.
Sampai juga. Mbah tua ini memang terkenal dengan kejawenannya hingga paham masalah ilmu-ilmu mistis. Perbincangan pun dimulai, namun beliau hanya menyarankan aku untuk pergi ke luar kabupaten menemui orang yang benar-benar bisa membantu apa yang kini aku hajatkan. Cintanya Suhesti.
"Pergilah ke daerah gunung tugel. Di sana ada seorang pertapa yang bisa membantumu," ucapnya.
Aku pamit pulang. Kujual beberapa benda di rumah yang bisa diuangkan. Setelah uang serasa cukup, dengan beberapa bekal lainnya aku keluar rumah mencari kendaraan umum tujuan tempat yang kutuju. Perjalanan memakan waktu lebih dari sehari hingga aku sampai. Ini pun baru sampai terminal kota belum blusukan hingga tepat di gunung tugel. Hingga saat aku sampai di gunung tugel waktu telah hampir subuh memaksaku untuk sekejap beristirahat menginap di salah satu rumah penduduk yang mau aku singgahi.
Gunung tugel adalah desa yang memang berada di kaki pegunungan. Kehidupan warga di sini sepintas terlihat sama seperti desaku Kalilancar yang masih termasuk pedalaman belum terjamah dengan perkembangan. Beberapa kali aku bertanya pada penduduk tentang tempat yang kumaksud. Kini telah kukantongi informasi yang akan mengantarkanku pada si dukun.
Aku harus berjalan jauh ke pedalaman hutan untuk sampai di gubuk bambu rumah si dukun tinggal. Rumahnya hampir dipuncak gunung jauh dari penduduk desa. Sepi, sunyi dan hanya beberapa pohon besar yang umurnya ratusan tahun menjulang tinggi menjadikan tempat tersebut terkesan seperti tempat mati yang tak berpenghuni. Beberapa kali aku mengetuk gubuk tersebut hingga empunya keluar. Lelaki tua yang mengenakan surjan polos hitam dan blangkon. Beliau mengizinkan masuk.
"Wonten nopo, Ngger[1]?" Tanyanya saat aku sudah berada di ruang yang dipenuhi alat-alat musik seperti gamelan usang berdebu. Aku sampaikan semua apa yang menjadi tujuan. Beliau hanya duduk bersila sambil mulutnya mengulum kinang. Beliau menyanggupi permintaanku dengan dua syarat; aku harus keluar dari agama dan kedua nanti malam tepat bulan purnama lakukan ritual pengambilan jimat di tempat yang telah ditentukan oleh beliau. Tak banyak pikir aku menuruti dan siap melakukan dua syarat yang beliau berikan.
Malam telah tiba dengan suasana yang sepi dan gelap, tak ada listrik disini, hanya cahaya lampu teplok menerangi yang sesekali hampir padam sebab tertiup angin. Si Mbah membawaku pada tempat seperti persinggahan dengan batu-batu yang tertata rapi. Kata si Mbah tempat ini adalah petilasan Damar Wulan. Beberapa sesaji yang dipersiapkan khusus oleh si Mbah di atas tampah aku bawa, ada bunga entah berapa rupa, pisang ambon, beberapa lintingan tembakau dan benda-benda yang aku tak tahu maksudnya, seperti batu-batu dan beberapa logam tembaga, "mungkin benda pusaka," pikirku.
"Lungguh mriki, Ngger. Eling, njih! Mangke ampun sepindah-pindah mbikak netro, ajagno maos mantrane ugi sebut nami estri sing awakmu senengi[2]." Pesan si Mbah padaku saat kemudian beliau pergi membiarkan aku sendiri untuk melakukan semedi.