KAJIAN PUSTAKA
TINJAUAN AKAD MURABAHAH
Aspek Keagamaan dan Sosial Budaya dalam Pengembanagan Bank Syariah di Lombok
- Antara agama dan masyarakat terdapat timbal balik. Agama memepengaruhi hidup kemasyarakatan dalam berbagai bidangny, termasuk pembangunan di bidang ekonomi. Sebaliknya kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat juga mempengaruhi agama. Dalam konteks pembangunan ekonomi suatu bangsa. Hubungan antara agama dan (pembamgunan) ekonomi mencakup aspek produktifitas, dan juga pengelolaan keuangan.
- Dalam tingkatan tertentu, emahaman agama memberi pengaruh terhadadap etos kerja, yang pada gilirannya yang akan mempengarugi produktifitas. Misalnya saja aliran Jabariah yang menimbulkan sikap fatalistis, telah turut berperan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islam di bidang ekonomi. Rendahnya tingkat produktifitas ini tentunya akan dapat menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat, seperti kemiskinan dan kebodohan, yang dikarenakan ketidakmampuan secara ekonomis.
- Selain dalam permasalahan etos kerja dan produktifitas seperti di atas, hubungan agama dan ekonomi dapat pula dilihat pada sistem ekonomi yang dikembangkan. Pada tataran filosofis, nilai-nilai dasar, dan nilai instrumenta, agama memiliki pandangan-pandangan yang berbeda dengan sistem ekonomi pada umumnya. Khusus pada nilai instrumental, agama memperkenalkan adanya konsep zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial, dan pelarangan riba.
- Dengan sistem ekonomi seperti di atas, khususnya dengan pelarangan riba, maka secara instrumental juga menuntut adanya lembaga keuangan tersendiri. Dalam konteks inilah keberadaan Bank Syariah menjadi signifikan di kalangan umat Islam (Indonesia). Namun demikian, meski telah didukung secara normatif dalam doktrin-doktrin Islam dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim, perkembangan Bank Syariah tidak secara otomatis berjalan pesat. Di beberapa wilayah, yang masyarakatnya dikenal fanatis terhadap agama sekalipun, perkembangan Bank Syariah berjalan sangat lambat, termasuk di wilayah Lombok yang terkenal sebagai pulau seribu masjid. Dalam konteks masyarakat muslim Lombok, paling tidak terdapat dua faktor yang menjadi penyebabnya, terutama faktor keagamaan dan faktor sosial budaya. Tulisan ini merupakan upaya untuk mengkaji secara lebih mendalam kedua aspek tersebut di atas.
Latar Keagamaan dan Sosial-Budaya Masyarakat Lombok
- Secara geografis, pulau Lombok terletak antara dua pulau yaitu di sebelah barat berbatasan dengan pulau Bali, yang terkenal dengan daerah wisatanya, sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan pulau Sumbawa, yang terkenal dengan susu kuda sumbawa dan madu sumbawa. Dari sisi ini, terlihat pulau Lombok lebih mirip dengan pulau Bali, di mana tanahtanahnya sebagian besar lapang, berbeda dengan pulau Sumbawa yang banyak dikelilingi oleh perbukitan. Oleh karena itu tidaklah terlalu keliru apa yang selama ini menjadi semacam pameo yang mengatakan:"jika anda mengunjungi Bali, maka anda tidak akan melihat apa yang ada di Lombok, tetapi jika anda berkunjung ke Lombok, maka anda akan dapat melihat sesuatu yang ada di Bali"
- Pulau seribu masjid adalah predikat yang sering ditujukan bagi pulau ini. Banyaknya bangunan-bangunan masjid di pulau Lombok menyebabkan Lombok terkenal dengan predikat itu. Sebutan itu memang bukan sebutan kosong, tetapi kenyataan. Menurut sensus tahun 1980-1981 jumlah tempat ibadah sudah sebanyak 7.538 buah, dengan rincian masjid 2.402 buah, langgar 3.347 buah, dan mushalla sebanyak 1.789 buah. Penduduk asli Lombok adalah suku sasak, yang merupakan kelompok etnik mayoritas Lombok. Mereka meliputi 90 ri keseluruhan penduduk Lombok. Kelompok-kelompok etnik lain seperti Bali, Sumbawa (Dompu, Bima), Jawa, Arab, dan Cina adalah para pendatang. Di samping terbelah secara etnik, Lombok juga terbagi secara bahasa, kebudayaan, dan keagamaan. Masing-masing kelompok etnik berbicara dengan bahasa mereka sendiri. Orang Sasak, Bugis, dan Arab mayoritas beragama Islam. Orang Bali hampir semuanya Hindu, sedangkan orang Cina pada umumnya beragama Kristen.
- Apabila kita ingin melihat kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Lombok, maka tidak bisa lepas dari dikotomi kebudayaan nusantara. Ada dua aliran utama yang mempengaruhi kebudayaan nusantara, yaitu tradisi kebudayaan Islam dan tradisi kebudayaan Jawa yang dipengaruhi oleh filsafat Hindu-Budha. Kedua aliran kebudayaan itu nampak jelas pada kebudayaan orang Lombok. Di pusat-pusat kota Mataram dan Cakranegara, terdapat masyarakat Bali, penganut ajaran Hindu Bali sebagai sinkretis HinduBudha. Namun, sebagian besar dari penduduk Lombok, khususnya suku Sasak adalah pemeluk Islam, sehingga perikehidupan serta tatanan sosial budayanya banyak yang merupakan hasil pengaruh agama tersebut.
- Walaupun umat Islam merupakan penduduk mayoritas dan dakwah Islam yang lebih intensif, sudah dilaksanakan mulai abad ke-18, aspek-aspek ibadah, muamalah dan akhlak, secara substantif, nampaknya masih belum mengalami perkembangan yang cukup baik di kalangan masyarakat Sasak. Secara sosio-religius, dalam praktik kehidupannya, masyarakat Lombok cenderung kurang dinamis. Dalam istilah Mudjitahid, bahwa umat Islam Lombok, umumnya seringkali terlalu pasrah dengan keadaannya. Hal ini, katanya, sering dipengaruhi oleh dakwah tuan guru yang menganjurkan sikap nrimo pada rezeki Tuhan, tanpa usaha maksimal, misalnya dengan ucapan:"cukuplah rezeki ini kita nikmati, toh kehidupan yang kekal nanti di akhirat". Keadaan seperti ini menyebabkan wawasan ekonomi umat Islam Lombok masih rendah. Banyak petani tradisional yang tidak berorientasi pasar. Biasanya mereka senang menanam padi atau pisang yang bersifat konsumtif, alasannya;"ade te sa molah waktunte mulud" (agar gampang waktu acara maulid Nabi SAW.). Baru sejak tahun 90-an petani Lombok Timur mulai ramai menanam tembakau dan bawang yang berorientasi pasar.
- Akibat dari keadaan ini, lahirlah berbagai kepincangan dalam tata pergaulan masyarakat Sasak. Berbagai kenyataan hidupnya memerlukan penataan yang bersifat Islami, yang mana tugas strategisnya terutama dilakukan oleh pemuka agama yang menjadi anutannya. Arus perubahan di Lombok nampak pada gejala semakin merajalelanya sifat-sifat egois. Sifatsifat gotong royong, sifat religius dan sebagainya, sangat mungkin sudah mengalami kemerosotan. Hal ini bisa digambarkan dari mulai sirnanya budaya "betulung" ketika panen padi, rendahnya angka partisipasi gotong royong dan lain-lain.
Pola Keberagamaan yang Doktrinal
- Sebenarnya kata doktrin (doctrine) berarti ajaran. Sementara doktrinal (doctrinal) adalah suatu paham ilmu pengetahuan dan lain-lain yang dianut dan dijadikan pegangan. Sedangkan doktriner (doctrinaire) ajaran yang bersifat teoritis dan tak praktis (dogmatis).14 Dengan demikian pola keberagamaan doktrinal berarti pola keberagamaan yang bersifat teoritis dan dogmatis. Terungkap pula bahwa pola keberagamaan masyarakat Islam Sasak sangat doktrinal. Hal ini dapat dilihat di antaranya dari pemahaman masyarakat tentang bunga bank yang secara umum umat Islam Sasak menganggapnya haram dengan alasan adanya tambahan (ziydah) dan cenderung melihat persoalan riba dari sisi harfiahnya saja tanpa melihat praktik pada periode pra Islam dan tidak melihat pada aspek moral dalam memahami riba sehingga mengesampingkan motivasi hukum (illat) kezaliman (zulm atau unjustice). Di samping itu, para tuan guru dalam memahami ajaran agama Islam sangat tekstual. Umumnya, para tuan guru di Lombok alumnus Madrasah as-Saulatiyah Makkah, yang nota bene sangat menguasai kitab kuning (klasik). Kemampuan membaca kitab kuning seringkali menjadi tolak-ukur kemampuan (ke-lim-an) seseorang di bidang agama. Sehingga, bagaimanapun bentuk pembaruan --seperti konsep bank Syariah - yang dibawa oleh tuan guru yang berlatar belakang pendidikan perguruan tinggi yang ada di Indonesia, sulit diterima umat. Walaupun sebenarnya di akar rumput (the grass root) terjadi dualisme, di satu sisi berpendapat bunga bank haram, tetapi di sisi lain mereka berbondongbondong ke bank konvensional.
Pengutamaan Ibadah Madhlah
- Pemahaman makna ibadah pada arti sempit yang disertai dengan memprioritaskan ibadah jenis ini dalam praktiknya, telah membawa ciri-ciri tersendiri pada umat Islam Lombok. Ciri-ciri ini bisa dilihat dari maraknya upacara-upacara keagamaan seperti acara maulidan, Isr Miraj, serta semaraknya bulan Ramadhan dengan pengajian-pengajian, upacara perpisahan dalam rangka naik haji, serta budaya lebaran topat yang dirayakan dengan budaya yang khas. Empat yang pertama secara umum berlaku di seluruh wilayah Lombok, sementara yang terakhir ini biasanya di Lombok Barat.
- Nuansa ibdah mahdlah dari semua kegiatan tersebut sangat kentara, parahnya lagi sifat keberagamaan umat Islam Lombok yang lebih mengedepankan ibadah dalam arti khusus ini telah menempatkan budaya yang menyudutkan nilai-nilai sosial. Demi untuk kepentingan menunaikan ibadah haji ke Makkah berkali-kali, kadang bisa mengenyampingkan kepentingan sanak-keluarga yang membutuhkan biaya kehidupan sehari-hari dan untuk keperluan sekolahnya. Hal senada diakui oleh Drs Abdul Malik, Wakil Ketua BAPEDA NTB. Beliau mengatakan:
- " Masyarakat NTB sebagian besar terdiri dari umat Islam yang sangat religius, kebanyakan penghidupannya berasal dari hasil pertanian yang diolah secara tradisional. Di lain pihak, lanjutnya, visi mereka sangat sederhana, yaitu melaksanakan ibadah haji. Partisipasi masyarakat akan tampak apabila diajak membangun masjid, merayakan maulid, atau mengantar jamaah haji, sebaliknya apabila diajak untuk membangun perekonomian, pendidikan atau kesehatan partisipasinya tidak terlalu besar".
Tuan Guru sebagai Publik Sentral
- Ketundukan pada seorang yang ditokohkan memang merupakan gejala yang terjadi di semua tempat. Namun di Lombok, memiliki keunikan tersendiri karena seorang tuan guru biasanya diasumsikan sebagai pembawa ajaran agama yang murni, yang seolah tanpa cela. Berbeda jika yang membawa ajaran itu seorang sarjana lulusan perguruan tinggi. Apalagi tuan guru yang menjadi publik sentralnya biasanya alumni Timur Tengah, seperti Makkah dan Mesir. Atau paling tidak, pernah belajar pada orang yang tamat di Timur-Tengah. Sehingga seringkali terjadi gejala memitoskan tokoh, terutama bagi mereka yang terlalu cepat mendalami tasawwuf sebelum mendalami syariat. Hampir semua responden, yang penulis wawancarai dalam penelitian ini, menyimpulkan bahwa faktor restu tuan guru merupakan prasyarat mutlak bagi berkembangnya suatu ide baru dalam Islam, seperti perbankan Islam.
- Walaupun demikian, sifat taat pada tuan guru tersebut masih perlu dipertanyakan. Menurut pendapat M. Syafii Ahmad, kata taat itu masih dalam tanda petik. Mereka barangkali sangat tunduk pada dakwah tuan guru mengenai ibadah mahdlah (seperti shalat dan puasa), sebab umumnya mereka malu tidak shalat atau puasa. Atau dengan asumsi lain, taat pada perintah tuan guru yang bersifat amaliah dan ubudiyah, seperti perintah untuk gotong royong, biasanya sangat taat. Sebab, menurutnya, mungkir pada tuan guru tidak boleh, tetapi mungkir pada Tuhan masih perlu dipertanyakan. Apalagi pemahaman masyarakat, umumnya menganggap ibadah itu hanya ibadah mahdlah, sedangkan aspek muamalat tidak dianggap ibadah.
- Sebagai dampak dari keadaan ekonomi dan pengaruh ciri-ciri keberagamaan seperti diutarakan di atas, umat Islam Lombok memiliki bentuk-bentuk muamalat yang lazim dipraktikkan. Praktik-praktik muamalah.
- (bisnis) yang sering terjadi dalam catatan sejarah di Lombok antara lain: jual beli ijon (bai al-Salam), gadai sawah (lahan pertanian) dan sepeda motor, muzaraah-mukhabarah dan sewa-menyewa tanah pertanian, pinjam-meminjam uang ke bank konvensional, mitra kerja PT. Sampurna kepada para petani tembakau, dan pinjam-meminjam uang untuk keperluan pergi ke Malaysia dengan bunga yang belipat-ganda (renten).
Aspek Pendukung dan Penghambat
- Ada berbagai aspek yang mempengaruhi perkembangan bank Syariah di Lombok, baik yang bersifat positif (mendukung) maupun yang negatif (menghambat). Aspek positif, di antaranya: mayoritas umat Islam di Lombok banyaknya ponpes dan besarnya peran Tuan Guru adanya keinginan untuk menghindari praktik bunga atau riba besarnya semangat berinfaq untuk pembangunan masjid (religius-budaya); adanya keinginan untuk menjaga keamanan uang (security), adanya keuntungan (benefit) yang lebih tinggi; dan adanya sosialisasi yang dilakukan secara intensif (sosial-budaya). Sedangkan aspek negatif, bisa dilihat di antaranya dari sisi ikhtilaf haramnya bunga, produk-produknya yang masih tersamar dengan produk bank konvensional, teologi umat Islam Lombok yang masih banyak menganut teologi Asyariyah yang lebih dekat dengan teologi Jabariah versus Maturidiyah (religius), pemahaman yang rendah terhadap ajaran agama, Dewan Pengawas Syariahnya terkesan hanya formalitas dan tidak efektif, pelaku perbankan (nasabah dan karyawannya) yang masih belum memahami konsep bank Syariah Per-UU-an tentang bank Syarah yang masih belum mengatur tentang piranti-piranti perbankan secara rinci serta piranti moneter yang masih belum tersedia di seluruh daerah(Suminto, Keuangan dan Kontemporer, tanpa tanggal).
- Faktor-faktor itu sekaligus merupakan peluang dan tantangan bagi perkembangan bank Syariah di Pulau Lombok. Berikut ini akan dipaparkan secara umum, empat dimensi yang turut serta memberikan pengaruh dari dimensi religius dan sosial budaya terhadap berkembang dan mandeknya respons umat Islam Lombok terhadap bank Syariah.
Ikhtilafnya bunga bank
- Keyakinan sebagian orang Islam tentang haramnya bunga bank, merupakan salah satu aspek nilai religius yang mempengaruhi masyarakat dalam merespons produk bank Syariah. Haramnya bunga bank, tetap akan menjadi masalah khilafiyah di kalangan umat dari dulu sampai masa akan datang, sehingga menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Suasana seperti ini memang tidak bisa dihindari, sehingga jalan-tengahnya adalah dengan menerapkan bank tanpa bunga (free interest). Eksistensi bank Syariah merupakan jalan keluar dari ikhtilaf bunga bank, sesuai dengan hadis: "tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan beralihkan kepada apa yang tidak meragukanmu".
- Miftahul Huda juga mengatakan bahwa haramnya bunga bank tetap akan bergulir sampai kapanpun, lalu menumbuh-kembangkan bank Islam jangan menunggu kesepakatan itu. Asalkan bank Islam lebih kompetitif dengan bank konvensional insya Allah akan cepat maju. Namun, bank Islam itu harus disosialisasikan pada masyarakat dan penyelenggara bank Syariah juga harus benar-benar mempraktikkan bank Islam itu secara Islami, jangan hanya "ganti baju". Sebab kalau demikian, masyarakat akan tetap memilih bank konvensional yang telah teruji. Beliau juga menekankan bahwa faktor keamanan uang (security) dan keuntungan (benefit) di satu sisi, dan nilai religius di sisi lain, merupakan dua hal yang tidak bisa dipisah-pisahkan oleh nasabah dan harus diperhatikan oleh pihak bank Syariah jika ingin mencari simpati (respon) masyarakat.
- Di sisi lain, produk bank Syariah yang diklaim oleh pendukungnya sebagai produk yang sangat sesuai dengan syarah ternyata banyak dikritik. Secara praktis, banyak masyarakat yang masih menganggap bahwa produkproduk bank Syariah belum sesuai dengan konsep syarah. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor, di antaranya: pertama, adanya perbedaan mazhab fiqih yang dipakai, misalnya pihak bank memakai perspektif selain Syafiiyah, sementara masyarakat di Lombok biasanya memakai mazhab Syafiiyah.
- Contoh konkretnya adalah pada masalah akad. Pihak bank meski tidak menyebutkan secara eksplisit, telah mempraktikkan akad sebagaimana yang dianut oleh Imam Hanafi atau Maliki. Artinya, dalam melakukan transaksi akad, tidak harus dilakukan dengan lafal-lafal tertentu, namun cukup dengan perbuatan yang menunjukkan kerelaan, seperti melalui prosedur mengisi kartu tabungan, dan nasabah menerima sebagai suatu perjanjian (akad). Secara lebih khusus lagi yang berkaitan dengan jual beli tangguh (murabahah), pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad bi at-ta'ati karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia (urf) menginginkan hal-hal yang praktis. Bahkan sebagian fukah (mazhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual beli yang remeh, tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar. Bahkan Imam Maliki lebih luas dari Imam Hanafi, di mana tidak mensyaratkan urf sebagai indikator kerelaan, baginya akad sah bila secara suka rela. Abdurrahman al-Jaziri menambahkan bahwa menurut Imam Hanafi hanya ada satu rukun jual beli yaitu ijab dan qabul yang menunjukkan perpindahan pemilikan yang dilakukan dengan ucapan atau perbuatan. Sedangkan menurut Imam Syafii, jual-beli harus dilakukan dengan ucapan, atau tulisan atau isyarat orang yang bisu. Sedangkan muathat hanya berlaku untuk barang-barang kecil. Padahal umumnya umat Islam Lombok adalah bermazhab Syafii. belum nampaknya sifat amanah dari kedua belah pihak, baik pihak bank maupun nasabahnya, padahal hal ini merupakan syarat mutlak dalam praktik bank Syariah. Dari sisi pinjaman, calon nasabah biasanya tertarik pada bank Syariah karena tanpa bunga. Sedangkan dari sisi tabungan, biasanya mereka mundur karena tidak dapat bunga, tetapi dari bagi hasil. Pendapatan dari bagi hasil ini masih tanda tanya, apakah hasilnya besar, kecil atau bahkan rugi. Sehingga yang terjadi, bank Syariah ramai dengan peminjam, sementara penabungnya kurang. Nasabah biasanya lebih tertarik meminjam tanpa bunga dibandingkan menabung dengan tanpa bunga. Sebaliknya, mereka lebih tertarik dengan hasil kecil tetapi pasti dari bank konvensional dibandingkan banyak keuntungan tetapi masih tanda tanya (belum pasti). Hal ini juga diakui oleh Eka Surya, SE.(Departemen Kredit BPRS Patuh Beramal), katanya, meminjam adalah tabiat atau kesenangan orang Sasak, sebaliknya tidak memiliki kebiasaan menabung. Mereka biasanya menggunakan bank Islam untuk mempermudah pinjaman (kredit), lalu meremehkan kreditnya dengan sengaja mempailitkannya (tidak berperilaku jujur).
Pemahaman Ajaran Agama
- Menurut M. Zaidi Abdad, pemahaman masyarakat tentang bank Syariah, khususnya di Lombok memang masih sangat kurang, mereka sudah mengetahui adanya bank Syariah tetapi belum mengetahui praktiknya (produk-produknya). Anggapan mereka bahwa bank Syariah juga menerapkan bunga, memang merupakan salah satu masalah yang perlu diperbaiki dan diyakinkan oleh pelaku bank Syariah, bahwa bank Syariah telah benar-benar bebas dari bunga bank. Sehingga dalam hal ini kurangnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat, menjadi penghalang yang sangat dominan.
- Bagi Kuntowijoyo, tugas intelektual muslim adalah "memberikan pemikirannya kepada masyarakat, supaya masyarakat mempunyai alat analisis yang tajam dan memainkan peranan. Agama tidak boleh sekedar menjadi pemberi legitimasi terhadap sistem sosial yang ada, melainkan harus memperhatikan dan mengontrol perilaku sistem tersebut. Untuk dapat beroperasi sebagai acuan aksiologis, sebenarnya konsep-konsep normatif Islam yang berakar pada sistem nilai wahyu ini dapat diturunkan melalui dua medium, yakni ideologi dan ilmu. Agama menjadi ideologi karena ia tidak hanya mengkonstruksi realitas, tetapi juga memberikan motivasi etis dan teologis untuk merombaknya. Kuntowijoyo mengharuskan pada periode pasca-mitos dan pascaideologi, teori-teori Islam dirumuskan kembali agar Islam dapat tampil di dunia obyektif. Menurutnya, selama konsep-konsep normatif tidak dijabarkan dalam formulasi-formulasi teoritis, maka Islam hanya akan bertahan di dunia subyektif dan tidak akan dapat ikut campur dalam relitas obyektif. Obyektifitasi dan teoritisasi konsep-konsep normatif Islam adalah sarana untuk mengaktualisasikan Islam di dunia empiris, dan hanya dengan itulah Islam dapat terlibat untuk mengendalikan sejarah. Gejala-gejala yang mengarah pada pemahaman nash yang tidak dijabarkan dalam formulasi-formulasi teoritis di Lombok, misalnya hadits yang artinya: "Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin maka dia beruntung,
- barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka dia rugi, dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari kemarin, maka dia terlaknat". Aplikasinya terhadap hadits ini menurut Mudjitahid hampir tidak ada sama sekali. Kebanyakan masyarakat Lombok kalau dihadapkan dengan kesulitan ekonomi, mereka cepat menyerah, dengan mengungkapkan kata-kata "mule ie pemberian nenek ojok ite" (memang itu pemberian Tuhan kepada kita) atau "Sang era le akherat tao te ea mau bagian" (mungkin nanti di akhirat kita akan dapat bagian). Para tuan guru juga tidak memberikan dorongan kepada masyarakatnya agar memiliki etos kerja yang tinggi. Para tuan guru sering berkomentar:"aro tima nja sekedi asal halal" (sekalipun sedikit asalkan halal), mereka tidak mengatakan "banyak tetapi halal
- Komentar lainnya, "yang penting ridla Allah", memang kata-kata itu bagus, tetapi dalam konteks persaingan bisnis, khususnya dengan nonmuslim tentu tidak memberikan dorongan.
- Selanjutnya, para Tuan Guru jarang sekali membahas bab jual beli dalam pengajiannya, kalaupun ada yang membahasnya masih sebatas kaidah normatif jual beli, belum diarahkan kepada hal praktis, seperti perbankan Islam. Sesungguhnya kalau dioptimalkan, pengaruh nilai agama sangat kuat dalam merespons produk bank Syariah. Pada gilirannya bank Islam dapat berkompetisi secara sehat dengan bank konvensional, hanya saja bank Syariah belum tersosialisasikan dengan baik.
- Melihat gejala nilai religius masyarakat Lombok, maka harus diakui bahwa pola pemahaman terhadap ajaran agamanya masih sangat parsial dan terkesan sangat tekstual bahkan cenderung statis dan kaku. Sehingga ketika berhubungan dengan pembaruan-pembaruan dalam bidang muamalat, seperti perbankan Islam, selalu menimbulkan kecurigaan dari kalangan umat Islam bahkan para Tuan Guru-nya. Selanjutnya, hal ini juga turut memberikan bobot kemunduran dalam berpikir, seperti dalam mengelaborasi konsep muamalat yang lebih disesuaikan dengan konteks zaman yang multidimensi, misalnya dengan memadukan berbagai pendapat imam mazhab. Sebagai contoh, para ulama di Lombok, biasanya kurang bisa menerima konsep akad yang disesuaikan dengan konteks kemajuan zaman, dengan menggunakan sarana tertentu agar lebih praktis, seperti pendapat mazhab Hanafi atau Maliki. Padahal, kedudukan hukum jual beli saat ini yang tidak melibatkan shigt akad dari kedua belah pihak, pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apaapa, sebenarnya mempunyai dasar hukum. Ikhwan Abidin Basri mengatakan:
- "Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bi at-ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia (urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa, ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqaha (mazhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu mazhab Maliki tidak mensyaratkan urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi".
- Oleh karena itu, faktor nilai religius di daerah ini memang merupakan salah satu peluang dan sekaligus menjadi tantangan jika salah dalam memanfaatkannya. Apalagi, kehadiran bank Syariah juga masih dalam tahap "pembinaan", yang sudah pasti keberadaannya masih banyak memiliki kekurangan, seperti prinsip operasionalisasi yang seringkali tersamar dengan bank konvensional.
Kesadaran pengamalan ajaran agama
- Kuantitas umat Islam yang besar sekalipun ditopang dengan tingkat "ketaatan" yang tinggi dalam menjalankan ibadah tidak serta merta menjadi pendorong bank Syariah. Ada faktor lain yang ikut berperan secara dominan. Ketaatan itu juga masih perlu dipertanyakan, karena ketaatan umat Islam Lombok lebih banyak menyangkut ibadah mahdlah. Seringkali pada masalah haramnya bunga bank, Umat Islam Lombok menganggapnya rib (haram) seperti yang lazimnya disampaikan oleh para Tuan Guru dalam pengajian, namun kenyataannya mereka umumnya berhubungan dengan bank konvensional, sehingga umat Islam dalam hal ini masih mendua (ambivalen).
- Konsep Islam yang berlaku pada bank Syariah adalah "rahmatan lil alalamin", sehingga dalam dataran konsep bisa juga untuk nonmuslim, sedangkan pertumbuhannya tergantung pada umat Islam yang terdiri dari nasabah, karyawan, ulama, umara maupun legislatifnya. Konsep seperti itu telah dibuktikan oleh Bank Syariah Patuh Beramal, sebagaimana dikemukakan Ahmad Rifai bahwa BPRS Patuh Beramal yang berada di Lombok Barat yang penduduknya banyak beragama Hindu dan Kristen, malah lebih bisa bertahan (berkembang) dibandingkan BPRS Qiradl Kopang Lombok Tengah. Hal ini menunjukkan kecilnya pengaruh nilai religius masyarakat (baca: agama Islam). Sehingga, sekalipun Kristen dan Hindu asalkan amanah, konsep bank syariah ini cocok diterapkan bagi mereka. Berkaitan dengan hal di atas, Sutan Remy Syahdeini menyebutkan bahwa adalah keliru apabila ada yang memiliki persepsi bahwa jasa-jasa perbankan Islam berkaitan erat dengan ritual keagamaan dari Agama Islam. Jasa-jasa perbankan Islam sama sekali tidak ada kaitannya dengan ritual keagamaan. Oleh karena itu, bank syariah boleh memberikan fasilitas pembiayaan atau jasa-jasa perbankan yang lain kepada nasabah yang tidak beragama Islam. Juga bank Islam boleh dimiliki dan atau dikelola oleh mereka yang nonmuslim. Pada saat ini bank-bank besar yang berasal dari Amerika maupun Eropa banyak yang telah memiliki Islamic window.
- Selanjutnya efektifitas praktik perbankan Islam harus didasari oleh pemahaman dan kesadaran penuh dari umat Islam. Drs. Ahmad Rifai berkomentar:
- "Sebenarnya dalam menerapkan bank Syariah ini, kita terikat dengan nilai religius. Namun baru kita benar-benar terikat apabila syariat Islam pada umumnya jalan, terutama sendi-sendi (nilai) amanah masyarakat Muslim telah ditegakkan secara sungguh-sungguh. Jadi, bank Syariah akan bisa beroperasi apabila syariat Islam telah diterapkan di tengahtengah masyarakat, karena logikanya jagung tidak akan bisa ditanam di atas batu atau di atas air laut"
- Kalau ada orang Kristen (Non muslim) bersifat amanah, berarti dia itu cocok dengan bank Syariah, karena konsep bank Syariah adalah rahmatan lil alamin. Strategi yang bisa dikembangkan dalam upaya mengembangkan ekonomi Islam (baca: bank Islam) menurut Ahmad Rifai, dengan dua strategi yakni umat Islam harus bersatu, kemudian lembaga legislatif harus diisi oleh orang yang memahami dan menghayati Islam.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!