Mohon tunggu...
Isky Fatimah
Isky Fatimah Mohon Tunggu... Freelancer - an L

Pecinta warna biru yang hobinya ngobrol sama diri sendiri sebelum tidur.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah Saya Rutin Konsumsi Mi Instan Selama 20 Tahun, dari Kebiasaan hingga Kecanduan

28 Maret 2021   16:26 Diperbarui: 28 Maret 2021   16:47 729
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang makan mi instan (Sumber gambar: Shutterstock)

Tema topik pilihan tentang "Mi Enak" kali ini membuat saya ingin menceritakan kisah saya yang hampir selama saya hidup selalu mengonsumsi mi instan setiap harinya. Iya, setiap hari.

Umumnya memang orang-orang hanya makan mi instan hanya 1-2 kali dalam seminggu, bahkan dr. Frank B. Hu Profesor nutrisi dan epidemologi Universitas Harvard mengatakan bahwa mi instan hanya boleh dikonsumsi sebanyak 1-2 kali dalam sebulan. (Baca: Berapa Batas Makan Mi Instan dalam Sebulan?)

Mi instan memang tidak boleh dikonsumsi terlalu sering karena tidak baik untuk kesehatan tubuh karena kandungan protein, vitamin, dan mineralnya sangat sedikit dibanding kandungan natrium dan lemaknya.

Ya, saya tahu itu. Saya tahu bahaya konsumsi mi instan berlebihan. Saya tahu, saya sadar, saya takut, dan sialnya saya tidak bisa berhenti.

Kenapa? Karena sepertinya saya memang sudah kecanduan oleh nikmatnya makanan yang menjadi ciri khas makanan anak kos itu.

Ilustrasi anak kecil yang sedang makan mi instan (Foto: Net diambil dari korankaltim.com)
Ilustrasi anak kecil yang sedang makan mi instan (Foto: Net diambil dari korankaltim.com)
Sejak kecil saya memang terbiasa makan mi instan. Hal ini dikarenakan pengasuh saya dulu selalu memberi makan mi instan.

Ibu bapak saya adalah orangtua pekerja yang tidak bisa selalu mengawasi menu makanan anaknya, sehingga dulu mereka tidak tahu kalau makanan anaknya setiap siang adalah nasi dengan lauk mi.

Mereka baru tahu ketika saya berhenti diasuh orang lain dan mulai merawat dan menjaga saya sendiri saat usia saya sekitar  5 tahun.

Karena terbiasa makan mi, saya selalu meminta jatah makan mi kepada Ibu. Jika tidak diberi, maka saya akan merengek seharian.

Orangtua saya bukanlah orangtua yang terlalu keras dalam mendidik anak, mereka cenderung memperlakukan anak dengan lembut hingga taraf memanjakan.

Jadi, daripada melihat saya terus merengek, mereka pasti akan memberikan mi itu kepada saya.

Hal ini terus menjadi kebiasaan hingga saya masuk sekolah. Dari SD sampai dengan SMK, sarapan pagi saya selalu mi instan. Setiap pagi, setiap hari.

Ilustrasi mi instan. Sumber foto: Shutterstock/numlpphoto
Ilustrasi mi instan. Sumber foto: Shutterstock/numlpphoto
Mi instan memang sangat "cocok" untuk sarapan pagi saya. Selain menjadi "makanan pokok", mi instan juga sangat praktis dimakan sebelum berangkat sekolah karena pembuatannya yang mudah dan cepat sehingga Ibu saya tidak perlu repot di dapur subuh-subuh.

Tidak jarang juga saya makan mi instan sebanyak 2 kali dalam sehari. Pertama saat sarapan pagi di sekolah, dan kedua saat jam istirahat di sekolah.

Menu mi instan memang menjadi menu wajib di kantin setiap sekolah dan saya adalah orang yang menjadi pelanggan tetap lapak penjual mi instan di kantin ketika SD, SMP, dan SMK.

Tentu saja kelakuan saya ini tanpa sepengetahuan orangtua. Kalau mereka bertanya "Isky di sekolah tadi makan apa?" maka saya akan menyebutkan nasi goreng, nasi uduk, siomay, gorengan secara bergantian setiap hari. Hehehe...

Tapi kecanduan itu sedikit berkurang setelah saya lulus kuliah. Semenjak saya lebih sering di rumah, saya patuh hanya makan mi instan sebanyak 1 kali dalam sehari.

Ini memang masih buruk, tapi setidaknya ada sedikit perbaikan. Setidaknya saya tidak berbohong lagi ke orangtua.

Terkait dampaknya bagi kesehatan tubuh saya, sejujurnya hingga hampir 20 tahun saya rutin konsumsi mi, saya (belum) tidak pernah terkena penyakit serius yang disebabkan oleh mi instan.

Saya sadar betul bahwa suatu hari nanti mi instan yang sudah bersarang di tubuh saya akan menunjukkan keganasannya.

Tidak merasakan dampak makan mi instan bukan berarti saya bebas dari penyakit yang disebabkan oleh makanan tersebut.

Banyak orang di luar sana yang sudah merasakan dampaknya dan saya belum mendapat gilirannya.

Atau mungkin ada herd immunity yang terbentuk dalam tubuh saya karena sudah terbiasa dengan kandungan jahat mi instan? Haha entahlah.

ilustrasi perut buncit (Sumber gambar: klikdokter.com)
ilustrasi perut buncit (Sumber gambar: klikdokter.com)
Namun ada satu dampak nyata dari konsumsi mi instan yang saya rasakan, yaitu pengaruh mi instan terhadap bentuk badan saya. Badan saya jadi berlemak, perut saya jadi buncit. Bentuk nyata dari overweight tidak sehat yang sengaja dilakukan.

Bagaimana pun, tidak ada pembenaran atas perilaku makan mi instan yang berlebihan. Saya-nya saja yang memang sudah kecanduan.

Dilansir Hello Sehat, setidaknya ada 6 ciri-ciri bahwa kita sudah kencanduan mi instan, yaitu:

  1. Sering muncul keinginan makan mi instan padahal sudah makan dan tidak sedang lapar
  2. Ketika akhirnya makan mi instan, kita makan berlebihan
  3. Merasa bersalah setelah makan mi instan, tapi akan tetap makan lagi setiap ada kesempatan
  4. Mencari-cari alasan untuk makan mi instan
  5. Mencoba menutup-nutupi ketagihan ini dari orang terdekat
  6. Tak mampu mengendalikan diri meskipun tahu bahaya kebanyakan makan mi

Betul saja, semua ciri-ciri di atas pernah dan sedang saya alami saat ini.

Adakah rekan-rekan kompasianer yang bersedia membantu saya dengan memberi saran bagaimana agar saya bisa perlahan berhenti makan-makanan tidak sehat ini?

Sila bantu saya melalui kolom komentar. Terima kasih....

Baca tulisan menarik lainnya:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun