Mohon tunggu...
Iska Wahyu Sulistyawan
Iska Wahyu Sulistyawan Mohon Tunggu... Lainnya - Newbie

Aparatur Sipil Negara di Kementerian Keuangan, menyelesaikan pendidikan Sarjana di STIE Perbanas Jakarta dan kemudian melanjutkan program MBA di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta MSc in Strategic Management di Rotterdam School of Management, Erasmus University Rotterdam.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pasang Surut Perencanaan Strategis Sektor Publik

2 Desember 2020   16:10 Diperbarui: 2 Desember 2020   16:21 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era munculnya teori strategic planning di pertengahan 1960an, pimpinan perusahaan top di dunia meyakini bahwa strategic planning merupakan cara terbaik sebagai alat untuk merancang dan mengimplementasikan strategi untuk menciptakan competitiveness (keunggulan) setiap unit bisnis. 

Didukung oleh ahli scientific management, Frederick Taylor, paradigma tersebut termasuk di dalamnya memisahkan antara aktivitas berpikir dan melaksanakan, yang pada akhirnya mendorong terciptanya suatu fungsi spesialis yang disebut strategic planners

Strategic planning seperti yang telah dipraktekan banyak orang lebih identik sebagai strategic programming; sebagai suatu artikulasi dan elaborasi dari visi atau strategi yang sudah ada. Di sisi lain, pimpinan suatu organisasi perlu memahami perbedaan antara planning dan strategic thinking.

Planning lebih menitikberatkan kepada analisis; bagaimana mendetailkan tujuan atau sasaran dalam tahapan yang formal sehingga hal tersebut dapat diimplementasikan secara otomatis dan mengartikulasikan dampak atau hasil dari tiap tahap. Dalam pendapatnya, Michael Porter menyatakan hal tersebut sebagai “sekumpulan teknik analisis untuk membangun strategi”.

Di sisi lain, strategic thinking lebih fokus pada memadukan informasi atau hal-hal yang telah dipelajari dengan melibatkan intuisi dan kreativitas dengan outcome yang diharapkan adalah perspektif yang terintegrasi untuk mencapai tujuan organisasi.

Di Indonesia sendiri, perencanaan strategis khususnya pada sektor publik diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan pembangunan Nasional. Sedangkan peraturan pelaksanaannya diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) nomor 40 tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional. 

Rencana pembangunan nasional itu sendiri tertuang dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) (25 tahunan), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) (5 tahunan) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) (tahunan) yang kesemuanya ditetapkan melalui Peraturan Presiden (PerPres).

Fungsi planning di negara ini diampu oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/Bappenas) yang selanjutnya akan disebut Bappenas. Instansi ini juga berfungsi sebagai clearing house dalam hal sinergi dan integrasi perencanaan lintas sektoral sehingga diharapkan pembangunan di seluruh sektor yang dilaksanakan oleh seluruh K/L dapat terkoneksi dengan baik dan meminimalisir tupang tindih.

Sebagaimana kita ketahui, pada tahun 2020 ini Bappenas telah menyusun dua dokumen perencanaan strategis tersebut yaitu RPJMN periode tahun 2020-2024 dan RKP periode tahun 2021. Selanjutnya, dalam artikel ini akan menggunakan kedua dokumen tersebut sebagai objek pembahasan dan disandingkan dengan beberapa teori maupun pendapat para ahli.

Menurut para praktisi baik di sektor publik maupun swasta, merencanakan diakui bukanlah suatu hal yang sederhana. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan semisal dari sisi regulasi, informasi dan data yang diperlukan, kemampuan menerjemahkan visi dan misi dari top leader serta membaca dan menganalisa lingkungan internal dan eksternal dari suatu entitas itu sendiri. Bahkan tercipta anekdot di kalangan para perencana bahwa “manusia dapat berencana namun tuhan yang memutuskan” cukup menggambarkan rumitnya menghasilkan perencanaan strategis yang berkualitas.

Berikut ini akan diulas mengenai fallacies yang umum terjadi dalam perencanaan strategis menurut Mintzberg (2007) dengan dikombinasikan dengan contoh kasus praktik yang ada di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun