Mohon tunggu...
Iska Wahyu Sulistyawan
Iska Wahyu Sulistyawan Mohon Tunggu... Lainnya - Newbie

Aparatur Sipil Negara di Kementerian Keuangan, menyelesaikan pendidikan Sarjana di STIE Perbanas Jakarta dan kemudian melanjutkan program MBA di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta MSc in Strategic Management di Rotterdam School of Management, Erasmus University Rotterdam.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menakar Peluang Pegawai Perempuan dalam Top Management Instansi Pemerintah

10 November 2020   19:35 Diperbarui: 12 November 2020   09:56 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jajaran top management dalam suatu organisasi dianggap sebagai elemen terpenting yang menentukan arah perjalanan organisasi. Peran vital jajaran manajemen secara siginifikan banyak diulas dalam teori manajemen karena keputusan mereka yang akan menentukan kinerja organisasi (Elsaid, 2011). 

Sehingga sejak beberapa tahun terakhir penelitian terkait pergantian top management terus meningkat. Kebanyakan studi dilakukan untuk mengetahui dampak dari pergantian kepemimpinan terhadap pasar saham, pengumuman pergantian CEO dan pergantian CEO yang bersifat insidentil (Lee & James, 2007).

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengidentifikasi pengaruh suksesi CEO terhadap reaksi investor. Khusus untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, efektivitas pergantian CEO dapat tercermin dari berbagai variabel. Menurut Wolfers (2006), respon pasar keuangan mewakili persepsi pasar terhadap nilai perusahaan yang dinilai secara terus menerus, dipengaruhi oleh keyakinan investor tentang kemampuan pria dan wanita yang memegang posisi manajemen senior di Indonesia dalam mengelola perusahaan.

Terkait dengan persepsi bahwa pria lebih kompeten untuk menjadi pemimpin yang efektif daripada wanita, menunjuk pemimpin wanita dapat menghasilkan reaksi pasar yang lebih besar. Pendapat ini didasarkan pada stereotype bahwa posisi pemimpin puncak biasanya dipegang oleh seorang pria. 

Karenanya, menunjuk perempuan sebagai pemimpin puncak dianggap sebagai kejadian langka. Secara umum, wanita masih kurang terwakili di jajaran senior manajemen perusahaan (Shrader, Blackburn, Iles,1997). 

Hal ini mungkin berkorelasi dengan penjelasan pendukung yaitu terkait dengan perbedaan produktivitas antara pria dan wanita yang mungkin tidak teridentifikasi, faktor perbedaan preferensi yang terkait dengan gender atau kemampuan perempuan yang dinilai secara tidak akurat.

Namun demikian, Ryan dan Haslam (2007) berpendapat bahwa merekrut wanita di posisi menengah dan senior manajemen, terutama ketika perusahaan berada dalam situasi krisis, akan mendorong perusahaan untuk mendapatkan kinerja yang lebih baik. 

Perempuan dipandang lebih cocok menangani perusahaan yang kinerjanya kurang baik karena mereka dianggap memiliki keterampilan yang lebih berhubungan dengan kepekaan emosional dan keterampilan interpersonal yang terkait dengan sisi kewanitaan mereka dalam berurusan dengan personel selama tantangan krisis daripada pemimpin laki-laki. Argumen ini didasarkan pada premis bahwa pria dan wanita memiliki cara berbeda dalam hal sifat berpikir dan emosional.

Tulisan ini akan mengulas peluang pegawai perempuan untuk menduduki jabatan eselon I dan II di Kementerian Keuangan sebagai sampel dari instansi pemerintah, dari sisi teori corporate governance dalam bidang ilmu strategic management dan dikombinasikan dengan teori dalam bidang psikologi, sosiologi dan antropologi. Dalam konteks tulisan ini, yang dimaksud dengan top management adalah para Pejabat Eselon I dan II khususnya yang berjenis kelamin perempuan.

Kementerian Keuangan selaku organisasi publik memiliki orientasi yang berbeda dalam hal ukuran kinerja dibandingkan dengan organisasi sektor privat yang mengedepankan laba. Kementerian Keuangan lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat dan kebijakan fiskal yang dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Oleh sebab itu, tulisan ini tidak mengulas tentang respon masyarakat atau reaksi pasar keuangan di Indonesia yang diakibatkan adanya promosi pejabat eselon I dan II perempuan di Kementerian Keuangan, namun lebih cenderung memotret atas kondisi terkini dan melihat lebih dalam peluang pegawai perempuan untuk dipromosikan dalam level top managemet di Kementerian Keuangan.

Teori Pergantian Top Management Perempuan

Pada bagian ini, akan dibahas mengenai beberapa hasil penelitian maupun teori yang terkait dengan pergantian CEO perempuan dari sisi korporasi. 

Dengan pertimbangan bahwa body of knowledge dari keilmuan strategic management lahir dari perubahan paradigma pada pengelolaan organisasi privat, teori-teori mendasar yang terkait hal ini patut menjadi pertimbangan dengan disesuaikan dengan konteks Kementerian Keuangan.

Top management sangat penting karena pada level jabatan ini yang bertanggung jawab penuh atas keberlanjutan suatu organisasi. Tindakan atau rencananya menentukan bagaimana perusahaan akan diarahkan. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa suksesi CEO secara umum dipandang sebagai hal yang krusial untuk pembelajaran dan adaptasi organisasi (Friedman & Singh, 1989; Boeker & Goodstein, 1993). 

Tipe dan karakter CEO yang memimpin perusahaan berpengaruh signifikan terhadap proses pengambilan keputusan strategis perusahaan (Beatty & Zajac; 1987). Atribut dan latar belakang tertentu dari CEO yang baru direkrut mempengaruhi kemampuan dan nilai kognitif mereka, yang pada gilirannya memengaruhi pilihan strategis sebagaimana dinyatakan oleh upper echelon theory (Hambrick & Mason, 1984). Berdasarkan argumen ini, atribut eksekutif puncak perusahaan akan mempengaruhi proses pengambilan keputusan strategis perusahaan yang pada akhirnya mengarah ke hasil/outcome perusahaan.

Keputusan perusahaan untuk menunjuk perempuan sebagai CEO baru mendapat lebih banyak perhatian karena dianggap sebagai kejadian yang langka. Akibatnya, baik pihak internal maupun eksternal termasuk investor menjadi lebih memperhatikan atau bisa juga menjadi lebih skeptis tentang CEO wanita daripada CEO laki-laki (Lee & James, 2007).

Resources dependencies theory mengasumsikan perusahaan memutuskan untuk merekrut perempuan dan etnis minoritas untuk ditempatkan sebagai eksekutif puncak karena mereka memiliki sumber daya baru dan spesifik yang dapat bermanfaat bagi perusahaan (Singh, 2007). 

Dalam hal ini, perempuan dan etnis minoritas yang direkrut oleh perusahaan dianggap memiliki karakteristik pribadi yang unik yaitu dibutuhkan untuk kinerja masa depan perusahaan. Menurut Hillman, Cannella dan Harris (2002), Hillman, Shropshire dan Cannella (2007), karakteristik pribadi mereka seperti pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman (modal manusia) serta koneksi pribadi dan jaringan karier (modal sosial).

Teori lain yang dapat menjelaskan mengapa ada berbagai respon di pasar ketika suatu perusahaan memutuskan untuk mempekerjakan CEO wanita adalah signalling theory. Dalam literatur manajemen, signalling theory telah dibahas secara intensif. Menurut Spence (2002), pada dasarnya, signalling theory terkait dalam meminimalisir informasi asimetris antar pihak. 

Sebuah studi terbaru dalam tata kelola perusahaan, misalnya, sebagaimana dinyatakan oleh Zhang & Wiersema, (2009) bahwa sertifikasi CEO mengirimkan sinyal kredibilitas mereka untuk memastikan validitas laporan keuangan perusahaan sebagai representasi dari kualitas perusahaan yang tidak dapat diobservasi

Sejalan dengan signalling theory, keputusan tegas untuk menunjuk seorang wanita sebagai CEO baru menciptakan beragam sinyal ke pasar. Akibatnya investor mungkin memiliki pendapat berbeda terhadap suksesi CEO wanita. Dalam situasi tertentu, suksesi CEO terlihat akan memberikan lebih banyak nilai manfaat atau penurunan kinerja saham untuk pemegang saham (Akerlof, 1970).

Penelitian tentang bagaimana pasar bereaksi terhadap suksesi CEO wanita tidak konklusif. Beberapa penelitian menghasilkan berbagai temuan tentang bagaimana investor perusahaan bereaksi terhadap suksesi CEO perempuan.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Wolfers (2006) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada pengembalian saham perusahaan yang dipimpin oleh perempuan. 

Dalam paper tersebut disimpulkan ketika seorang wanita ditunjuk sebagai CEO baru, pasar tidak menganggap remeh atau melebih-lebihkan CEO wanita dimaksud. Martin, Nishikawa dan Williams (2009) juga tidak menemukan perbedaan reaksi pasar dalam pengangkatan CEO baik pria maupun wanita. Investor bereaksi positif terhadap pengumuman perubahan posisi eksekutif puncak apakah itu dipegang oleh laki-laki atau perempuan.

Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Lee dan James (2007) menemukan bahwa pasar mungkin lebih skeptis terhadap penunjukan CEO wanita dibandingkan dengan pria. Suksesi CEO perempuan tidak hanya menghasilkan penilaian saham negatif, tetapi juga menghasilkan lebih banyak efek penilaian negatif dari pengangkatan CEO laki-laki. Studi ini juga menemukan bahwa wanita relatif berkinerja buruk dibandingkan dengan laki-laki.

Namun studi yang dilakukan di pasar Asia menggunakan data Singapore stock exchange yang dilakukan oleh Kang et al. (2010) menemukan adanya reaksi positif investor terhadap pengangkatan wanita di dewan direksi. Pasar memang bereaksi sedikit lebih positif ketika direktur wanita yang ditunjuk juga menduduki posisi CEO di perusahaan. 

Selain itu, reaksi positif lemah mengenai abnormal return ditemukan di tanggal pengumuman suksesi CEO perempuan baru pada studi yang dilakukan oleh Gondhalekar dan Dalmia (2007). Mereka juga menyatakan bahwa perusahaan yang menunjuk perempuan pada posisi CEO adalah kebanyakan lebih kecil dari segi ukuran, lebih profitable tetapi memiliki rasio price to book value yang lebih rendah.

Perempuan Bekerja: Kondisi Terkini

Pada tahun 2007 ketika wanita memegang 11 persen kursi di komite eksekutif perusahaan-perusahaan terkemuka Eropa, McKinsey menerbitkan laporan Women Matter pertamanya. Laporan tersebut tidak hanya menginformasikan keragaman gender yang lebih besar dalam manajemen perusahaan tetapi juga menyarankan cara untuk mencapai tujuan tersebut.

Pada tahun 2017, rata-rata, wanita menyumbang 17 persen dari anggota dewan perusahaan (direksi dan komisaris) dan 12 persen dari anggota komite eksekutif di 50 perusahaan G-20 yang terdaftar teratas (Gambar 1).

Sumber: McKinsey Analysis
Sumber: McKinsey Analysis
Menurut penelitian Women in the Workplace 2017, yang dilakukan hampir 50 persen pria berpikir bahwa hal itu sudah cukup ketika hanya satu dari sepuluh pemimpin senior di perusahaan mereka adalah seorang wanita dan sepertiga wanita juga menyatakan setuju atas pendapat tersebut.

Banyak perusahaan berusaha untuk mempromosikan kesetaraan gender karena hal itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Dalam sebuah penelitian, disebutkan bahwa perusahaan yang memiliki unsur perempuan dalam top leadershipnya memiliki kinerja yang lebih baik. McKinsey (2017) juga mengemukakan kasus bisnis dalam penelitian awal. 

Sebuah survei global terhadap 279 perusahaan yang dilakukan pada tahun 2010 menemukan bahwa mereka yang memiliki proporsi terbesar perempuan di komite eksekutif mereka memperoleh laba atas ekuitas 47 persen lebih tinggi daripada mereka yang tidak memiliki anggota eksekutif perempuan.

Tentu saja, korelasi tidak membuktikan sebab-akibat, dan beberapa akademisi telah membantah apa yang mereka anggap sebagai daya tarik intuitif dari hubungan antara keragaman dan kinerja. Namun demikian, semakin banyak penelitian yang dilakukan oleh McKinsey terus memperkuat hubungan itu. 

Pada tahun 2018 melalui studi keragaman lebih dari 1.000 perusahaan di 12 negara menemukan korelasi antara keragaman di tingkat eksekutif dan tidak hanya profitabilitas tetapi juga penciptaan nilai. Perusahaan-perusahaan yang berada di kuartil teratas untuk keanekaragaman gender adalah 27 persen lebih mungkin untuk mengungguli rata-rata industri nasional mereka dalam hal keuntungan ekonomi (ukuran kemampuan perusahaan untuk menciptakan nilai yang melebihi biaya modalnya) daripada perusahaan kuartil bawah (Gambar 2) .

Sumber: McKinsey Analysis
Sumber: McKinsey Analysis
Salah satu alasan bahwa perusahaan dengan proporsi perempuan di level senior manajemen yang lebih tinggi berkinerja lebih baik adalah bahwa pria dan wanita menunjukkan perilaku/gaya kepemimpinan yang berbeda namun sama bernilainya. 

Mengacu pada penelitian dalam psikologi perilaku dan apa yang disebut "kesehatan organisasi" menunjukkan bahwa perempuan cenderung mendorong proses pengambilan keputusan yang lebih partisipatif, seperti meningkatkan kualitas komponen "lingkungan kerja" dari kesehatan organisasi. 

Laki-laki, sementara itu, cenderung mengambil tindakan korektif lebih sering ketika tujuan tidak tercapai untuk meningkatkan komponen "koordinasi dan kontrol" dalam aspek kesehatan organisasi. Berdasarkan penelitian tersebut, telah menunjukkan korelasi yang kuat antara kesehatan organisasi suatu perusahaan dan kinerja keuangan.

Dunia korporasi dewasa ini menganut paham keanekaragaman dan mengakui nilai dari berbagai perspektif, latar belakang, pengalaman, dan bahkan gaya kepemimpinan. Hal tersebut didukung oleh Iris Bohnet, profesor kebijakan publik di John F. Kennedy School of Government di Universitas Harvard, mengatakan “terdapat bukti yang sangat kuat bahwa tim yang heterogen mengungguli tim yang homogen, apakah ini semua laki-laki atau tim yang semuanya wanita. 

Ini terjadi di semua jenis variabel dependen yang berbeda, dari penyelesaian masalah kreatif hingga tugas analitis hingga keterampilan komunikasi. Keragaman membantu karena kita bisa saling melengkapi dari berbagai perspektif, atau yang disebut “collective intelligence”.

Perempuan di Posisi Top Management Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan sebagai salah satu K/L driver Pengarusutamaan Gender (PUG) telah diakui eksistensinya di kancah nasional. Pengakuan tersebut dalam bentuk diperolehnya Anugerah Parahita Ekapraya tingkat Mentor dalam 4 tahun penyelenggaraan secara berturut-turut. Hal tersebut berdasarkan evaluasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terkait dengan tusi Kementerian Keuangan dalam hal pelayanan kepada stakeholder maupun kebijakan yang dikeluarkan dianggap telah responsif gender.

Dalam hal implementasi PUG, Kementerian Keuangan telah sangat diakui di mata stakeholder eksternal. Namun menarik untuk ditelisik dengan implementasi PUG yang berorientasi stakeholder internal khususnya pegawai perempuan dalam hal peluang pengembangan diri maupun carreer path. Dalam pertumbuhan pegawai baik dari sisi jumlah maupun proporsi, pegawai perempuan mengalami peningkatan dalam 3 tahun terakhir. Hal tersebut terlihat dalam tabel berikut ini:

istimewa
istimewa
Hal tersebut merefleksikan kesempatan yang sama bagi setiap masyarakat untuk dapat bekerja sebagai pegawai Kementerian Keuangan baik melalui jalur penerimaan STAN maupun penerimaan umum.

Namun dalam perjalanan karirnya, makin tinggi tingkat jabatan (eselon IV s.d eselon I), makin sedikit pula pegawai perempuan yang menduduki jabatan tersebut. Hal tersebut tercermin dalam grafik berikut:

istimewa
istimewa
Berdasarkan data di atas, terlihat dari segi jumlah proporsi pejabat perempuan pada level eselon IV dan eselon III selalu meningkat setiap tahun. Sedangkan pada level jabatan pimpinan tinggi (eselon II dan eselon I) porsi pejabat perempuan lebih fluktuatif.

Kondisi tersebut seakan mengindikasikan pegawai perempuan menghadapi hambatan yang tak terlihat untuk mencapai posisi puncak karirnya walaupun sebetulnya kesempatan telah dibuka lebar. Hal tersebut sejalan yang dinyatakan oleh Cook A dan Glass (2013) bahwa perempuan menghadapi hambatan yang tak terlihat sehingga mereka dikecualikan dalam posisi senior manajemen atau dalam kebanyakan literatur dikenal sebagai “glass ceiling phenomenon”. 

Dalam konteks di negara Indonesia hal tersebut semakin kompleks karena juga dipengaruhi oleh nilai-nilai kepercayaan, budaya, adat istiadat maupun agama. Perempuan masih dianggap lebih sesuai untuk menangani urusan domestik dalam rumah tangga.

Untuk merespon kondisi tersebut, Kementerian Keuangan telah menerapkan sistem merit. Menurut BKN (2018) sistem merit merupakan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar tanpa membedakan faktor politik, ras, agama, asal usul, jenis kelamin, dan kondisi kecacatan.

Dalam implementasi sistem merit di Kementerian Keuangan, keputusan untuk promosi jabatan telah mengedepankan aspek kinerja dan kompetensi tanpa membeda-bedakan jenis kelamin. Namun di sisi lain, pada saat adanya kesempatan peningkatan karir khususnya pegawai perempuan kembali berpikir ulang dan sebagian menarik diri karena keputusannya dipengaruhi oleh hal-hal yang telah disebutkan di atas.

Adanya pejabat perempuan khususnya yg berposisi pada eselon I maupun II juga terkait dengan pemenuhan threshold yang didorong oleh pemerintah untuk memenuhi implementasi PUG di setiap K/L. Dalam ranah legislatif, terdapat persyaratan kuota 30% bagi anggota parlemen perempuan yang hingga saat ini telah dipenuhi.

Dengan kondisi saat ini, minimal Kementerian Keuangan telah berada pada jalur yang benar dalam mempromosikan PUG yang terlihat dalam beberapa aspek yaitu:

  • Tren penerimaan pegawai dimana jumlah maupun proporsi perempuan semakin besar dibandingkan laki-laki.
  • Implementasi sistem merit yang didukung dengan kebijakan-kebijakan internal yang responsif gender.
  • Proporsi maupun jumlah perempuan yang menjabat semakin besar dalam beberapa tahun walaupun masih terbatas pada pejabat eselon IV dan III.

Apa yang telah dilakukan Kementerian Keuangan sejauh ini dalam hal kesetaraan peluang karir perempuan dan laki-laki sejalan dengan yang disebut “signalling theory” (Spence, 2002). Kementerian Keuangan dapat mengirimkan sinyal baik kepada pegawai internal maupun publik bahwa pemilihan pejabat benar-benar berdasarkan kinerja dan kompetensi yang dimilikinya. 

Sehingga dalam setiap kesempatan promosi jabatan, stakeholder bersikap indifferent karena menganggap setiap orang yang terpilih merupakan yang terbaik tanpa melihat jenis kelaminnya (Cook and Glass, 2011).

Sebagaimana yang disebutkan oleh Powell dan Butterfield (1997), penunjukan perempuan sebagai pejabat tinggi merupakan hal yang jarang terjadi, sehingga hal tersebut dapat menarik perhatian publik dan sebagai tanda dari karakteristik khusus suatu organisasi. Dalam hal ini karakteristik khusus yang telah melekat pada Kementerian Keuangan adalah sebagai K/L yang cukup advance dalam implementasi PUG.

Mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, Kementerian Keuangan dapat dianggap on the right track dalam hal pemerataan kesempatan berkarir bagi pegawai perempuan maupun laki-laki. Hal tersebut juga didukung oleh implementasi PUG yang dapat mendorong pegawai perempuan untuk berkarir lebih tinggi.

Dengan semakin banyaknya pegawai perempuan yang potensial untuk menduduki jabatan tinggi, pembuat kebijakan khususnya terkait SDM di Kementerian Keuangan harus melihat isu ini secara komprehensif. Pergantian kepemimpinan khususnya terkait jabatan eselon I dan II merupakan suatu kejadian yang strategis dan perlu dikelola dengan baik karena di posisi tersebut dapat membuat kebijakan yang mempengaruhi kondisi organisasi secara signifikan.

Tulisan ini dapat berguna untuk mengevaluasi dan memotret kondisi eksisting khususnya terkait peta posisi jabatan pegawai perempuan di instansi pemerintah pada umumnya maupun Kementerian Keuangan. Akan tetapi dengan pertimbangan bahwa tidak seluruh variabel dapat identifikasi, tulisan ini juga memiliki keterbatasan, diantaranya yaitu:

  • Tulisan ini memiliki keterbatasan sampel dan data yaitu hanya jumlah pegawai dan komposisi jabatan
  • Tulisan ini hanya menggunakan data sekunder, tanpa dilengkapi data primer yang bersumber langsung dari pegawai.

Untuk lebih mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif, tulisan berikutnya dapat dipertimbangkan juga untuk melihat aspek kepuasan pegawai dalam berkarir di Kementerian Keuangan maupun nilai-nilai yang dianut oleh pegawai perempuan yang dapat mempengaruhi secara langsung keinginannya untuk berkarir.

Secara umum, banyak kemajuan yang telah dicapai Kementerian Keuangan khususnya dalam hal kesetaraan kesempatan karir bagi seluruh pegawainya. Namun demikian, dikutip dari Mckinsey (2019) terdapat ruang perbaikan untuk mengakselerasi khususnya untuk memperluas implementasi PUG di seluruh instansi pemerintah. Hal tersebut diantaranya:

  • Membuat target/tujuan untuk mendorong perempuan masuk dalam jajaran manajemen senior.
  • Mendorong variasi kandidat untuk rekrutmen maupun promosi
  • Meningkatkan pemahaman evaluator/assessor terkait unconscious bias dalam penilaian pegawai.  
  • Menyusun kriteria evaluasi secara jelas.
  • Menempatkan lebih banyak perempuan dalam posisi menuju tingkat jabatan middle management.
  • Komitmen pimpinan tertinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun